Pelapor ke MKMK: MK Tak Merdeka Lagi, Berhentikan Anwar Usman!

1 November 2023 10:24 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama anggota Wahiduddin Adams (kiri) dan Bintan R. Saragih (kanan) memimpin jalannya sidang di Gedung II Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (31/10/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama anggota Wahiduddin Adams (kiri) dan Bintan R. Saragih (kanan) memimpin jalannya sidang di Gedung II Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (31/10/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Sidang laporan dugaan pelanggaran etik Hakim Konstitusi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) berlanjut hari ini, Rabu (1/11). Kali ini, giliran Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang diperiksa MKMK.
ADVERTISEMENT
Dalam pemeriksaan itu, koordinator Perekat Nusantara Petrus Selestinus melaporkan Ketua MK Anwar Usman terkait uji materi pasal 169 huruf q UU Pemilu dalam permohonan nomor 90 dan 91/PUU-XXI/2023. Sebab, Anwar dinilai punya hubungan keluarga dengan Presiden Jokowi yang dalam perkara itu berperan sebagai 'para pihak'.
"Pemohon perkara 90, 91 itu secara tegas berbicara tentang bagaimana upaya uji materiil ini supaya Gibran putra Presiden Jokowi dan keponakan hakim terlapor bisa ikut kontestasi Pilpres 2024 sebagai capres atau pun cawapres," kata Petrus dalam sidang di MKMK, Rabu (1/11).
"Dalam hubungan seperti itu, kami lihat dan kami yakini betul bahwa hakim terlapor (Anwar Usman) berada pada posisi sebagai melanggar prinsip independensi, prinsip ketidak-berpihakan, dan prinsip integritas dalam peraturan kode etik perilaku hakim MK," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Atas dasar hal tersebut, Perekat Nusantara dan TPDI meminta MKMK untuk memberikan sanksi berat kepada terlapor.
"Meminta kepada majelis kehormatan MKMK agar dalam persidangannya memutuskan dengan memberikan sanksi berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat," ucap Petrus.
Posisi MK di Titik Nadir
Dalam kesempatan yang sama, Petrus menyebut bahwa saat ini posisi MK sudah di titik nadir, sebagaimana yang disampaikan sejumlah pihak akhir-akhir ini.
"Posisi MK hari ini sebagaimana Yang Mulia Majelis Kehormatan MK menyatakan bahwa mahkamah ini berada pada titik nadir bahkan kemarin-kemarin kita dengar suara-suara masyarakat, suara di DPR, bahwa terkait perkara ini mereka melihat ada pelanggaran konstitusi di mana MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman berada dalam posisi sudah tidak merdeka lagi, tidak mandiri lagi," ucap Petrus.
ADVERTISEMENT
Bahkan, kata dia, ada suara-suara yang mengarah kepada pemakzulan Presiden Jokowi akibat MK mengabulkan perkara nomor 90 tentang syarat capres-cawapres tersebut.
Atas dasar tersebut, Petrus meminta kepada MKMK agar mengabulkan permohonan mereka. Supaya, anggapan miring tentang MK juga suara pemakzulan presiden Jokowi bisa dihentikan.
"Supaya permohonan dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Perekat Nusantara, dikabulkan demi menjamin kepuasan publik, kepercayaan publik kembali kepada lembaga ini," kata dia.
"Dan juga mungkin dengan putusan itu apa yang kemarin didengungkan publik yang sekarang ini gaduh bahkan ancam pemakzulan itu dihentikan dengan putusan MKMK," sambungnya.
Gibran Seharusnya Tak Bisa Maju Pilpres
Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka di Pemkot Solo. Foto: kumparan
Dengan putusan Nomor 90, pasal 169 huruf q dalam UU Pemilu berubah. Menjadi: "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah."
ADVERTISEMENT
Salah satu pemohon lainnya, menyinggung soal putusan tersebut. Sebab dinilai seharusnya putusan MK tidak demikian, bila mengacu pada pertimbangan setiap hakim.
"Dari sembilan hakim MK, ada tiga hakim MK itu menyatakan bahwa tidak boleh di bawah 40 tahun tapi dengan ketentuan, ini kami coba simpulkan saja, asal pernah atau sedang menjadi penyelenggara negara termasuk kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum," kata pemohon itu di kesempatan yang sama.
Dia membeberkan, dari lima hakim yang mengabulkan putusan nomor 90, ada dua hakim MK menyatakan dalam putusannya, memperbolehkan seorang maju pilpres sebelum berumur 40 tahun tetapi asal pernah atau sedang menjabat kepala daerah di level provinsi.
"Namun dalam amar putusannya itu dinyatakan 5 yang menerima. Padahal ada dua level provisi, tentunya dengan demikian yang namanya Gibran, apalagi dalam putusan MK nomor 90 ini menyebut nama Gibran, tentunya yang namanya Gibran ini tidak bisa dicalonkan karena dia masih berstatus walkot," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian putusan ini harusnya tidak sah. Karena tidak sah tentu tidak bisa dilaksanakan. Kami berharap Yang Mulia bisa sampaikan nanti dalam putusan kepada KPU, agar KPU tidak tindaklanjuti ini atau menyatakan tidak penuhi syarat untuk Gibran," pungkasnya.