Pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Harus Transparan

25 April 2017 21:42 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Migrant Care rapat terkait buruh migran di DPR. (Foto: Dok. Migrant Care)
zoom-in-whitePerbesar
Migrant Care rapat terkait buruh migran di DPR. (Foto: Dok. Migrant Care)
Migrant Care diundang ke DPR. Organisasi yang khusus menangani buruh migran ini meminta agar dalam pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia harus memihak kepada buruh.
ADVERTISEMENT
"Pembahasan RUU harus iknlusif, transparan, dan jauh dari politik uang," kata aktivis Migrant Care Wahyu Susilo dalam keterangannya, Selasa (25/4).
Wahyu dan Direktur Migrant Care Anis Hidayah menghadiri rapat dengan Komisi IX DPR. Migrant Care menyampaikan pokok-pokok pikiran melindungi buruh migran.
Berikut penjelasan lengkap Migrant Care:
Pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia Di Luar Negeri (adapula yang menyebut RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) merupakan salah satu proses legislasi yang hingga saat ini berlangsung lamban dan bertele-tele, memperlihatkan ketidakseriusan para pihak (DPR-RI dan Pemerintah Indonesia) untuk mewujudkan adanya mekanisme dan kelembagaan perlindungan buruh migran Indonesia yang sekarang makin mengalir ke luar negeri dengan menghadapi berbagai kerentanan yang semakin problematik.
Dari sisi proses, Migrant CARE mendorong seluruh pembahasan RUU ini hingga nanti saat pengambilan keputusan berlangsung inklusif, transparan dan tidak terkontaminasi dengan politik uang. Oleh karena itu, perlu berlangsung adanya konsultasi-konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan (terutama komunitas buruh migran) di daerah-daerah basis buruh migran serta dengan organisasi-organisasi buruh migran Indonesia di negara tujuan.
ADVERTISEMENT
Penyelesaian pembahasan RUU ini seharusnya juga untuk semakin menyempurnakan dan mengimplementasikan komitmen DPR-RI dan Pemerintah Indonesia yang sejak tahun 2012 bersepakat menjadi bagian (state party) instrumen internasional mengenai perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya dengan UU No. 6/2012 mengenai Ratifikasi Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Komitmen implementasi Konvensi yang belum dijalankan oleh Pemerintah Indonesia adalah pelembagaan mekanisme perlindungan buruh migran yang inklusif.
Dalam perspektif pemerintahan Jokowi-JK yang mengusung prinsip “negara hadir dalam perlindungan warganegaranya” seperti yang tercantum dalam visi-misi Nawacita, penyegeraan adanya UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia adalah hal yang mutlak mengingat landasan hukum yang lama yaitu UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri sudah tidak sangat memadai untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sekarang ini kita dihadapkan pada setumpuk persoalan buruh migran Indonesia, mulai dari buruknya tata kelola penempatan perlindungan buruh migran, absennya (tidak hadirnya) negara dalam perlindungan buruh migran, tingginya biaya penempatan, rendahnya kualitas penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan calon buruh migran, berlangsungnya praktek monopoli ugal-ugalan dari PPTKIS, adanya praktek penempatan buruh migran yang sudah menyerupai perdagangan manusia hingga perumusan kebijakan operasional yang bias gender dan berkecenderungan mengkriminalisasi (calon) buruh migran. Situasi kerentanan inilah yang menimbulkan/memunculkan kasus-kasus buruh migran Indonesia mulai dari tahap perekrutan hingga di negara tujuan.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada lemahnya kinerja kelembagaan yang seharusnya bertanggungjawab dan memegang mandat untuk penyelenggaraan penempatan dan perlindungan buruh migran. Banyaknya kementerian dan lembaga yang memiliki mandat (dan tentunya anggaran) seharusnya memberi kontribusi yang positif bagi upaya perbaikan mekanisme pelayanan penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun menurut pantauan Migrant CARE, yang terjadi adalah sebaliknya, miskoordinasi (lagu lama birokrasi) dan saling lempar tanggungjawab. Kompetisi antara Kementerian Ketenagakerjaan dan BNP2TKI menyebabkan ketidakefektifan mekanisme monitoring dan ketidakpastian pemberian sanksi terhadap tindak pelanggaran administrasi (bahkan tindak pidana) yang dilakukan oleh PPTKIS. Berlarut-larutnya penyelesaian persoalan buruh migran Indonesia di sektor kelautan (ABK/pelaut di kapal asing) juga disebabkan tidak adanya satu pandangan mengenai tata kelola penempatan dan perlindungan buruh migran di sektor kelautan antara Kementerian Ketenagakerjaan, BNP2TKI, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Di negara tujuan, perwakilan Indonesia di luar negeri (KBRI, KJRI, KDEI) juga belum maksimal untuk mengimplementasikan mandat citizen services (pelayanan warga negaranya) meski mandat ini telah menjadi prioritas politik luar negeri yang telah dicanangkan oleh Menteri Luar Negeri, ibu Retno Lestari Marsudi. Kasus korupsi yang dilakukan Atase Imigrasi di KBRI Kuala Lumpur malah menunjukkan bahwa langkah-langkah pemudahan pelayanan dokumen bagi warga negara malah dimanfaatkan untuk upaya memperkaya diri dengan suap dan korupsi. Fungsi-fungsi diplomasi perlindungan warga negara harus dimaksimalkan dengan penugasan adanya atase ketenagakerjaan (tidak sekedar tenaga teknis ketenagakerjaan/kekonsuleran) di negara-negara yang menjadi tujuan buruh migran Indonesia.
ADVERTISEMENT
Migrant CARE mendorong RUU ini menjadi instrumen legal untuk mengakhiri praktek monopoli penempatan buruh migran yang selama ini dalam kendali sektor swasta menjadi bentuk layanan publik sebagai perwujudan pemenuhan hak warga negara untuk bekerja, terutama untuk mereka yang selama ini terjauhkan aksesnya antara lain karena jenis kelamin, tingkat pendidikan dan keterpencilan (keterkucilan) wilayahnya. Oleh karena itu mekanisme asuransi yang menjadi perangkat pelindungnya juga merupakan mekanisme perlindungan sosial yang dikelola oleh negara. Dengan mewujudkan pelayanan publik untuk warga negara yang ingin bekerja ke luar negeri diharapkan menekan tingginya biaya migrasi karena selama ini migrasi berbiaya tinggi untuk menopang bisnis penempatan buruh migran dan bentuk dari praktek pengambilan keuntungan yang sewenang-wenang dari pelaku bisnis penempatan buruh migran.
ADVERTISEMENT
Dengan menetapkan layanan migrasi untuk bekerja ke luar negeri sebagai bentuk pelayanan publik maka pelibatan aktif pemerintah lokal (mulai dari tingkat desa) adalah mutlak. Migrant CARE sendiri telah memulai inisiatif ini dengan mendorong pembentukan Desa Peduli Buruh Migran (DESBUMI) di 5 propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Demikian sikap dan posisi Migrant CARE dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Secara terpisah Migrant CARE juga menyampaikan usulan yang tertuang dalam lampiran mengenai beberapa point yang hingga kini menjadi perdebatan dalam DIM DPR dan DIM Pemerintah.