Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menanggapi adanya warga non-muslim yang ditolak tinggal di Pedukuhan Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Sekretaris Daerah DIY Gatot Saptadi menginstruksikan Pemerintah Kabupaten Bantul membuat surat edaran agar kejadian seperti ini tidak kembali terjadi.
ADVERTISEMENT
“Gubernur itu kan pembina wilayah yang punya wilayah kabupaten kota mestinya kabupaten kota menyelesaikan secara teknis di lapangan. Gubernur sebagai pembina wilayah, ya memberikan intruksi dan arahan. Intruksi ya buat edaran intruksi bahwa tidak boleh gini gitu (melarang bagi non-muslim tinggal). Kita lihat nanti perkembangan,” kata Gatot, Selasa (2/4).
Gatot menjelaskan, kasus tersebut sementara ini masih diserahkan ke Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah (Forkopimda) Bantul. Nantinya, provinisi akan melangkah sesuai kewenangan, salah satunya dengan surat edaran tersebut.
Dia juga menjelaskan tidak ada larangan bagi setiap warga negara tidak untuk tinggal di mana pun.
“Yang perlu kita cermati adalah aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pihak tertentu itu yang mestinya jadi perhatian kita,” kata dia.
Bupati Bantul Suharsono juga turut menyayangkan adanya penolakan keluarga non-muslim yang menyewa rumah di permukiman muslim. Peristiwa di Pedukuhan Karet RT 8, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, disebutnya tidak boleh terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Kita bukan negara Islam, jadi semuanya warga negara beda suku ras dan budaya tidak ada masalah,” kata Suharsono di kantornya, Selasa (2/4).
Mengenai aturan dusun soal larangan warga non-muslim tinggal di permukiman itu, disebut Suharsono sebagai aturan yang keliru. Kepala Dusun yang membuat aturan tersebut juga sudah mengakui kesalahannya.
“Awalnya itu tadi bahwa yang non-muslim dilarang karena ada aturannya. Aturannya dilihat, dicek, melanggar hukum itu. Dan yang membuat aturan sudah mengakui salah dan tidak dipakai lagi, karena itu tadi untuk kebhinekaan kita harus saling menghargai menghormati walau beda suku ras dan agama,” ujarnya.
Suharsono berharap peristiwa semacam ini tidak terjadi lagi. Perangkat desa dan dusun diminta berkonsultasi dengan pemerintah kecamatan atau kabupaten setiap membuat aturan agar tidak melanggar regulasi yang lebih tinggi kedudukannya.
ADVERTISEMENT
“Silakan kalau bikin aturan konsultasi dulu ke kabag hukum," tambahnya.
Terkait penolakkan keluarga Slamet karena berbeda agama dengan warga di tempatnya menyewa rumah, Suharsono meminta, masalah itu bisa dimusyawarahkan. Meski Suharsono menegaskan, selagi tidak membuat keributan, Slamet seharusnya bisa tinggal di mana saja.
Slamet Jumiarto (42) mendapatkan perlakuan diskriminatif ketika hendak mengontrak rumah di Pedukuhan Karet. Dia telah membayar uang kontrak selama satu tahun, tapi ternyata di pedukuhan tersebut terdapat aturan tertulis warga bukan muslim tidak boleh tinggal di situ.
Slamet kemudian mengadu ke Sekda DIY juga Sekda Bantul. Kemudian digelarlah mediasi dengan warga setempat. Di situ diputuskan Slamet diperbolehkan tinggal hanya selama 6 bulan saja.
“Terus yang 6 bulan lagi (sisa kontrak) dikembalikan dalam bentuk uang. Kalau tidak satu tahun saya mending minta uangnya lagi full satu tahun ke saya. Kalau hanya 6 bulan kan buat apa. Sama saja penolakan secara halus kepada saya. Kalau memang boleh ya boleh kalau enggak, ya nggak gitu saja,” ujarnya.
ADVERTISEMENT