Pemicu Arek Suroboyo Gigih Bertempur Lawan Sekutu pada 10 November

10 November 2018 12:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peringatan Hari Pahlawan. (Foto: Dok. gahetna.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan Hari Pahlawan. (Foto: Dok. gahetna.nl)
ADVERTISEMENT
Pada dekade 30-an Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan praktik diskriminasi geografis kepada penduduk Surabaya. Mereka membagi lingkungan permukiman menjadi dua, yaitu elite untuk golongan Belanda dan kumuh untuk kaum pribumi, penduduk asli Surabaya.
ADVERTISEMENT
Belanda pun melantangkan peraturan demikian: “Verboden voor honden en inlander.” Artinya, dilarang masuk untuk anjing dan pribumi.
Disejajarkannya pribumi dengan anjing tentu adalah hal yang menyakitkan.
“Itu salah satunya yang menumbuhkan dendam-dendam arek Suroboyo--sebutan populer untuk pemuda Surabaya--ini satu generasi terhadap orang-orang Eropa khususnya Belanda,” kata sejarawan Universitas Indonesia, Didik Pardjoko, kepada kumparan, Kamis (8/11).
Sejarawan UI, Didik Pradjoko (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejarawan UI, Didik Pradjoko (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
Selain diskriminasi, Belanda juga semena-mena terhadap rakyat Surabaya. Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Roeslan Abdulgani, yang turut melihat penderitaan rakyat Surabaya menyebut siksa Belanda tak kenal tempat dan waktu.
Di tempat-tempat umum, Belanda tak segan menempeleng pemuda Surabaya yang terlihat melawan. Hal itu terus terjadi hingga pada akhirnya masyarakat Surabaya jengah dengan derita kolonialisasi.
ADVERTISEMENT
Tahun 1942 angin segar sedikit berembus. Jepang datang dan Belanda terdepak dari Indonesia. Tentara-tentara Belanda pun dijadikan tawanan perang saat itu.
Dengan semboyan Nippon Tjahaja Asia, Surabaya dijadikan pangkalan laut yang vital oleh Belanda karena letaknya yang strategis. Oleh sebab itu, wajar bila di Surabaya ramai diduduki oleh tentara Nippon.
Disebut sejarawan Australia Frank Palmos, tentara Nippon di sana melatih puluhan pelajar dan anak muda Surabaya dalam hal pertahanan fisik. Mereka juga diajari teknik militer dasar, bahkan sampai ke cara menggunakan senjata api maupun senjata sederhana semisal bambu runcing.
Barisan-barisan militer pribumi pun dibentuk oleh Jepang. Sebut saja, PETA, Heiho, Keibodan, Seinendan, dan lain sebagainya. Hal-hal inilah yang sebelumnya tidak dilakukan oleh Belanda. Indoktrinasi anti-Barat turut gencar dilakukan oleh tentara Jepang kepada arek-arek Suroboyo.
ADVERTISEMENT
Namun, ternyata kebaikan hati Jepang itu menyimpan niat terselubung. Jepang terus mengeksploitasi benda dan tenaga masyarakat Surabaya. Pada pengujung 1943, Jepang meningkatkan permintaan akan bahan pangan dan baku mentah untuk memutar mesin roda perang mereka. Hal inilah yang membuat darah memberontak bergumul di nadi arek-arek Suraboyo. Pekik "merdeka" acapkali digemakan setelah jengah dengan penjajahan berkepanjangan.
Beruntungnya Jepang tumbang setelah kalah dalam Perang Pasifik. Tak ada lagi Jepang, tapi Sekutu atas nama Inggris kemudian datang.
Pemuda Surabaya saat itu sudah lebih bersiap. Pelatihan yang diberi oleh Jepang sebelumnya tampak ada gunanya. Dengan bekal tersebut, arek-arek Suraboyo selalu siap turun ke jalan, bertempur melawan Sekutu. Terlebih lagi saat itu masyarakat Surabaya diuntungkan dengan kebaikan komandan angkatan laut Jepang, Laksamana Shibata.
ADVERTISEMENT
“Laksamana Shibata jadi membuka gudang senjata Jepang untuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR),” ungkap Didik.
Di gudang-gudang itu masyarakat Surabaya bisa mengambil senjata-senjata milik Jepang dengan bebasnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kekuatan militer republik di Surabaya adalah yang paling kuat pada masa tersebut.
“Bahkan nanti gerbong-gerbong kereta senjata itu dikirim ke Jawa Tengah, ke Jawa Barat. Kita punya tank, tank-tank ringan itu. Kita punya meriam-meriam, semua dari Jepang,” Didik menyebutkan.
Peringatan Hari Pahlawan. (Foto: Dok. gahetna.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan Hari Pahlawan. (Foto: Dok. gahetna.nl)
Bekal yang cukup itu membuat arek-arek Suroboyo bergerilya dengan gigihnya. Keangkuhan tentara Inggris saat itu juga membuat perlawanan semakin menjadi-jadi.
Padahal, saat Inggris datang--mulai September 1945--Indonesia sudah merdeka. Tetapi, dengan seenaknya, sekutu Amerika Serikat dan Belanda itu menyebar pasukannya ke seluruh kota dan menjadikan bekas gedung-gedung HBS (Sekolah lanjutan zaman Belanda) dan gedung penjara sebagai markas mereka.
ADVERTISEMENT
“Itu yang memicu kemarahan, ini kok orang asing masuk-masuk wilayah republik. Oleh karena itu, terjadilah konflik bersenjata di situ sehingga dikenal dengan pertempuran 3 hari, 28-30 Oktober. Itu ekskalasinya tinggi sekali,” urai Didik.
Perang terus berkecamuk. Pada awalnya arek-arek Suroboyo berhasil menekan pasukan Inggris yang diwakili tentara India pada awalnya. Namun, setelah Inggris kembali mendatangkan pasukan dalam jumlah yang besar, yaitu sekitar 24 ribu tentara, jumlah korban tewas dari pihak republik pun berjatuhan.
Pun, Inggris terus menerus mempercanggih senjata perang mereka. Tapi itu tak menjadi alasan bagi arek-arek Suroboyo untuk menghentikan perang.
Surabaya yang digempur oleh pasukan Inggris berhasil dipertahankan oleh pemuda Surabaya selama tiga pekan. Sektor demi sektor dipertahankan secara gigih walaupun pihak Inggris terus meninggikan tensi.
ADVERTISEMENT
Hingga pada akhirnya, pertempuran terakhir terjadi di Gunungsari pada 28 November 1945. Meski begitu, perlawanan sporadis masih acap kali dilakukan oleh pemuda Surabaya.
-------------------------------------------------
Simak story menarik lainnya mengenai Pertempuran Surabaya dalam topik 10 November 1945 .