Pemimpin Geng Haiti Bantai Lansia, Diduga Balas Dendam Atas Kematian Anaknya

10 Desember 2024 15:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jurnalis berlindung dari baku tembak antara geng dan polisi di Port-au-Prince, Haiti, Senin, 11 November 2024. Foto: AP Photo/Odelyn Joseph
zoom-in-whitePerbesar
Jurnalis berlindung dari baku tembak antara geng dan polisi di Port-au-Prince, Haiti, Senin, 11 November 2024. Foto: AP Photo/Odelyn Joseph
ADVERTISEMENT
Seorang pemimpin geng yang menguasai pelabuhan utama di Port-au-Prince, Haiti, dituduh melakukan pembantaian brutal terhadap lansia dan tokoh agama di komunitasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan pemerintah dan organisasi hak asasi manusia, lebih dari 100 orang tewas dalam peristiwa tersebut.
Aksi ini diduga dilakukan untuk membalas kematian putranya, yang diyakini tewas akibat kutukan.

Pembalasan atas Kematian Anak

Warga meninggalkan rumah mereka saat terjadi bentrokan antara polisi dan anggota geng di lingkungan Portail di Port-au-Prince, Haiti, Kamis, 29 Februari 2024. Foto: AP/Odelyn Joseph
Dalam pernyataannya, pemerintah Haiti mengonfirmasi tragedi ini dan menyebutnya sebagai “pembantaian tak terbayangkan” di lingkungan Cité Soleil, Senin (9/12).
Mereka berjanji akan mengadili para pelaku. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres juga mengecam kekerasan tersebut, menyebutkan setidaknya 184 orang tewas dalam kurun waktu 6-8 Desember di kawasan Wharf Jérémie.
Pemimpin geng itu bernama Micanor Altès. Menurut laporan kelompok lokal Cooperative for Peace and Development, Micanor menuduh orang-orang tua dan pemimpin Vodou di lingkungannya sebagai pelaku kutukan yang menyebabkan anaknya jatuh sakit dan akhirnya meninggal.
ADVERTISEMENT
Saat melancarkan balas dendam, ia memerintahkan anak buahnya untuk memburu, menangkap, dan mengeksekusi mereka yang ia anggap bertanggung jawab.
“Ia menghukum dengan kejam semua orang tua dan praktisi Vodou yang ia bayangkan sebagai pembawa kutukan buruk kepada putranya,” ungkap organisasi tersebut, seperti diberitakan AP.

Eksekusi Brutal hingga Penahanan Warga

Seorang pria menunggu untuk dirawat oleh dokter di sebuah gereja lokal di distrik Delmas, Port-Au-Prince, tempat sebuah klinik keliling didirikan pada hari itu oleh The Alliance for International Medical Action (ALIMA) (11/6/2024). Foto: Roberto SCHMIDT/AFP
Kelompok bersenjata yang dipimpin Micanor telah menangkap sejumlah tokoh masyarakat dan membawa mereka ke markas geng untuk dieksekusi.
Penduduk yang mencoba melarikan diri ditembak mati, termasuk pengemudi sepeda motor yang tengah menyelamatkan beberapa korban.
Kelompok ini bahkan melarang penduduk meninggalkan wilayah tersebut, dengan dalih ingin mengidentifikasi lebih banyak praktisi Vodou.
Direktur National Human Rights Defense Network, Pierre Espérance, melaporkan sedikitnya 110 orang tewas dalam dua hari.
ADVERTISEMENT
Beberapa korban di antaranya adalah lansia yang diduga mempraktikkan ilmu sihir.
Namun, angka pastinya sulit diverifikasi, lantaran wilayah tersebut dikuasai geng dan aksesnya terbatas.
Orang-orang yang terlantar akibat kekerasan perang geng di Cite Soleil, berjalan di jalan lingkungan Delmas setelah meninggalkan alun-alun Hugo Chaves di Port-au-Prince, Haiti, Sabtu (19/11/2022). Foto: Ralph Tedy Erol/REUTERS
Agama Vodou, gabungan tradisi Katolik dan animisme, merupakan bagian integral budaya Haiti.
Banyak warga mencari bantuan medis maupun spiritual dari pendeta Vodou, atau oungan. Namun, pemimpin geng seperti Micanor memanfaatkan kepercayaan tersebut sebagai pembenaran untuk aksi balas dendam.
Dikutip dari AP, analis International Crisis Group, Diego Da Rin, menyebut aksi Micanor kali ini sebagai eskalasi brutal yang tak biasa, meski ia sebelumnya dikenal sebagai pemimpin geng yang kurang kejam dibandingkan lainnya.
“Biasanya pembunuhan geng di Haiti terdokumentasi di media sosial. Tapi dalam kasus ini, tidak ada video atau pesan apa pun yang muncul. Ini sangat tidak biasa,” ujarnya.
Seorang pengendara sepeda motor melewati barikade yang terbakar, salah satu dari banyak di Port-au-Prince, Haiti 18 Januari 2024. Foto: REUTERS/Ralph Tedy Erol
Krisis Haiti tak terjadi dalam semalam. Kondisi ini adalah akumulasi dari dekade ketidakstabilan politik.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pemilu belum diadakan sejak 2016; presiden terakhir Haiti, Jovenel Moïse, dibunuh pada 2021 lalu.
PBB dan negara-negara pendukung, termasuk AS, tengah mendorong pembentukan misi penjaga perdamaian untuk meredam kekacauan di negara tersebut.
Menurut Human Rights Watch, lebih dari 4.500 orang tewas di Haiti sepanjang tahun ini akibat kekerasan geng.
Warga Haiti hidup dalam ketakutan terus-menerus akan pembunuhan, pemerkosaan, atau penculikan, di tengah perjuangan mereka memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan air.
“Tragedi seperti ini adalah cerminan dari betapa buruknya krisis di Haiti, di mana kelompok-kelompok kriminal semakin intensif menyerang masyarakat sipil,” tegas laporan itu.