Pemprov DKI Diminta Kaji Matang ERP, Banyak Negara Besar Gagal Menerapkan

12 Februari 2023 20:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Massa ojek online membawa spanduk saat berunjuk rasa menolak sistem ERP di depan Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (8/2/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa ojek online membawa spanduk saat berunjuk rasa menolak sistem ERP di depan Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (8/2/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemprov DKI bakal menerapkan sistem Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar di 25 ruas jalan. Sistem ERP ini diharapkan mampu mengurai kepadatan kendaraan dan membuat masyarakat beralih menggunakan transportasi umum.
ADVERTISEMENT
Ketua Forum Transportasi Perkotaan MTI, Budi Yulianto, memberikan catatannya sebelum kebijakan ini diterapkan. Menurutnya, kebijakan ini harus benar-benar disiapkan secara matang.
"Pemprov DKI Jakarta dapat mencontoh kota-kota besar di negara lain yang sudah menerapkan ERP, seperti Singapura dan London, Inggris," kata Budi dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu (12/2).
Budi Yulianto sependapat, ERP bisa menjadi salah satu langkah mengurai kemacetan di Jakarta yang semakin parah. Namun untuk menerapkan ERP, dibutuhkan kajian yang sangat panjang dan matang karena kebijakan ini akan memiliki dampak sosial yang cukup luas.
“Namun di tiga kota itu tidak berhasil lantaran masyarakat menolak keberadaan ERP yang diyakini program tersebut tidak akan berhasil mengurai kemacetan,” lanjutnya.
Menurut Budi, penerapan ERP memang tidak selalu mulus. Terlebih ide ini sulit mendapatkan dukungan publik di berbagai kota-kota di belahan dunia, seperti Hong Kong, Edinburgh, atau kota-kota besar lainnya di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
"Bahkan di Hong Kong yang merupakan kota pertama yang memperkenalkan ide ERP, justru gagal mengimplementasikannya karena kurangnya dukungan masyarakat terhadap ide ini," ucap dia.
Kendaraan milik ojek online saat berunjuk rasa menolak sistem ERP di depan Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (8/2/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Namun, Budi mengatakan ada perbedaan di New York City. Meski di sana sudah mendapatkan persetujuan oleh badan legislatif sejak 2019, namun pembahasan teknis yang begitu rumit membuat ERP belum diterapkan hingga 2023.
Berkaca dari beberapa contoh kasus di atas, Budi memprediksi penerapan ERP di Jakarta akan mengalami hal serupa. Akan banyak penolakan dari pengguna kendaraan pribadi karena mereka menganggap dengan ERP, masyarakat dipaksa membayar dan tidak ada pilihan lain ketika hendak melalui ruas jalan tersebut.
"Hal itu dikarenakan fasilitas transportasi yang aman dan nyaman secara ekonomi sebagai kompensasinya belum tersedia. Dan ketika masyarakat memilih menggunakan kendaraan umum berupa taksi online dan ojek online namun tetap terkena ERP tentu juga akan keberatan," kata Budi.
ADVERTISEMENT
“Jadi Pemprov DKI Jakarta harus benar-benar membuktikan kepada masyarakat bahwa program ini akan berhasil dan bisa menciptakan integrasi transportasi strategis yang dapat mengatasi kemacetan dan kesulitan-kesulitan teknikalnya. Nah, ini harus dipahami Pemprov DKI Jakarta karena program ini banyak melibatkan kebijakan,” ucap Budi.
Budi menambahkan, ERP bukan satu-satunya sistem transportasi yang bertujuan untuk mengurai kemacetan. Menurutnya, penanganan masalah transportasi mengacu pada sustainable transportation yaitu transportasi merupakan tujuan utama sebagai penggerak ekonomi wilayah perkotaan dan perkembangan sosial.
Macet di sekitaran Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat, imbas bubaran relawan Jokowi, Sabtu (26/11/2022). Foto: Dok. Istimewa

Konsep Avoid, Shift dan Improve untuk Urai Kemacetan

Dalam dunia transportasi, Budi mengatakan ada istilah ASI yang merupakan singkatan dari Avoid, Shift, dan Improve.
Avoid adalah mengajak masyarakat untuk mengurangi perjalanan sehingga terbentuk konsep mixed land used. Konsep itu menurut Budi memungkinkan berbagai penggunaan lahan termasuk perumahan, komersial, dan industri ditempatkan bersama secara terintegrasi yang mendukung bentuk transportasi berkelanjutan seperti angkutan umum, jalan kaki, dan bersepeda. Dengan begitu, orang akan menggunakan transportasi umum.
ADVERTISEMENT
“Jadi masyarakat tinggal di situ, bekerja di situ, hingga melakukan aktivitas belanja di situ. Dengan konsep ini, masyarakat yang ingin berpergian tidak perlu menggunakan kendaraan pribadi tetapi cenderung menggunakan angkutan umum. Di sinilah tata ruang kota harus sinergi dengan transportasi,” jelas Budi.
Sejumlah kendaraan melintas di kawasan Ganjil Genap di Senayan, Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Konsep kedua adalah Shift. Dalam konsep ini, orang-orang yang masih menggunakan kendaraan pribadi didorong untuk mulai beralih ke angkutan umum.
"Artinya harus ada penyediaan angkutan umum yang komprehensif dan terintegrasi antara satu dengan yang lain, dengan fasilitas pendukung pejalan kaki dan pesepeda," kata Budi.
Sedangkan terkahir Improve adalah pengalihan dari kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil dengan kendaraan low emission.
Namun Budi mengatakan konsep ini baru bisa dilakukan saat program pengurangan kendaraan berbahan bakar fosil memang sudah dijalankan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT