Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Pemprov DKI Jakarta: Penurunan Kualitas Udara Saat Ini Seasonal (3)
19 Juni 2023 15:10 WIB
·
waktu baca 9 menitKualitas udara Jakarta tiga pekan ke belakang memburuk. Platform pemantau kualitas udara IQAir dan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan kualitas udara Jakarta berstatus tidak sehat.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyebut penurunan kualitas udara Jakarta akibat berbagai faktor, mulai dari aktivitas peningkatan penggunaan emisi (kendaraan), industri, dan akibat dari faktor fisik (meteorologi dan klimatologi).
Namun, menurut Pemprov DKI Jakarta, kondisi kualitas udara Jakarta yang buruk memang kerap terjadi di musim kemarau. Fenomena kondisi kualitas udara Jakarta akhir-akhir ini tak berbeda jauh jika dibanding saat sebelum pandemi.
Lalu apa saja yang telah dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk menyelesaikan isu polusi udara di Jakarta?
Berikut wawancara kumparan dengan Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Erni Pelita Fitratunnisa.
Sudah 2 pekan berturut-turut indeks kualitas udara di Jakarta memburuk. Data IQAir, platform pemantau kualitas udara real time global, bahkan menempatkan Jakarta di deret teratas kota paling polutif sedunia. Mengapa bisa begitu?
Penurunan kondisi udara disebabkan beberapa faktor, antara lain peningkatan aktivitas sumber emisi dan faktor fisik (meteorologi dan klimatologi). Dengan asumsi aktivitas sumber emisi konstan, penurunan kualitas udara saat ini lebih disebabkan oleh faktor alam atau seasonal.
Kombinasi curah hujan dan kecepatan angin yang rendah dengan kelembapan udara yang tinggi menyebabkan konsentrasi polutan termasuk PM2,5 terperangkap dan terakumulasi di permukaan.
PM2,5 adalah partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (sepersejuta meter) atau 130 diameter rambut manusia. Partikel mikron ini tidak berbau dan tidak berasa, serta bersumber dari pembakaran batu bara, minyak bumi, vegetasi, juga peleburan logam.
Kualitas udara Jakarta secara periodik mengalami peningkatan konsentrasi polutan ketika memasuki musim kemarau, yaitu bulan Mei hingga Agustus, dan akan menurun saat memasuki musim penghujan di bulan September–Desember.
Hal tersebut terlihat dari tren konsentrasi PM2,5 tahun 2019 sampai 2023. Konsentrasi rata-rata bulanan PM2,5 bulan April 2023 sebesar 29,75 g/m3 menjadi 50,21 g/m3 pada bulan Mei 2023. Tapi konsentrasi tersebut masih lebih rendah dibanding Mei 2019 saat kondisi normal, yaitu sebesar 54,38 g/m3.
Namun seminggu terakhir ini konsentrasi PM2,5 di hampir semua stasiun pemantauan kualitas udara milik Provinsi DKI Jakarta berada di bawah Baku Mutu Udara Ambien PP22/21 [tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup] kecuali di Stasiun Lubang Buaya Jakarta Timur yang masih melebihi BM (> 55 ug/m3).
Sumber emisi di suatu wilayah akan berpengaruh ke wilayah lain karena adanya pergerakan polutan akibat pola angin yang membawa polutan bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain, sehingga meningkatkan potensi konsentrasi polutan di lokasi tersebut.
Terlepas dari kondisi alam tersebut, aktivitas sumber emisi Jabodetabek tentu harus dapat ditekan atau dialihkan. Akan tetapi, untuk melakukan intervensi itu kita harus membangun kesiapan ekosistem. Ini tidak mudah, tapi pemerintah bertahap menuju ke arah sana.
Dari kajian Pemprov DKI Jakarta, sumber polusi yang dominan itu apa saja?
Untuk polutan SO2 (sulfur dioksida), sumber terbesarnya berasal dari sektor industri; sedangkan untuk NOx (nitrogen oksida), CO (karbon monoksida), PM10 dan PM2,5 didominasi dari sektor transportasi.
Karena kualitas udara sangat dipengaruhi oleh sumber pencemar selain meteorologi dan rotasi aliran, bila sumber pencemar—dalam hal ini kendaraan bermotor—semakin banyak, terlebih masih menggunakan bahan bakar yang kurang ramah lingkungan, maka polutan yang dikeluarkan juga akan tambah banyak sehingga memengaruhi kualitas udara jadi kurang baik.
Saat sejumlah warga sipil menggugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat terkait polusi ibu kota pada 2019, hanya Gubernur DKI Jakarta yang tidak mengajukan banding dan menerima putusan majelis hakim bahwa tergugat (pemerintah pusat dan provinsi) telah melakukan perbuatan melawan hukum atas pencemaran udara tersebut. Sikap itu lantas diapresiasi. Kini, sejauh apa Pemprov DKI telah melaksanakan putusan hakim?
Terdapat 7 amar putusan dari Gugatan Polusi Udara terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta:
a. Melakukan uji emisi untuk kendaraan bermotor tipe lama.
Realisasi: Telah dilakukan sejak Januari 2021 berdasarkan Pergub No. 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor yang terdata dalam aplikasi e-uji emisi.
b. Melaporkan evaluasi penataan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe lama.
Realisasi: Telah dilakukan sejak Januari 2021 berdasarkan Pergub No. 66 Tahun 2020.
c. Menyusun rekapitulasi sumber pencemar tidak bergerak yang kegiatan usahanya mengeluarkan emisi dan memiliki izin lingkungan dan izin pembuangan emisi dari Gubernur DKI Jakarta.
Realisasi: Telah dilaporkan pengawasan terhadap 114 kegiatan usaha yang berpotensi pencemar emisi sumber tidak bergerak pada 2020; dan pengawasan pemasangan CEMS (continuous emissions monitoring systems/alat pemantauan emisi berkelanjutan) terhadap industri wajib pasang CEMS (2 pembangkit dan 6 peleburan besi baja), serta pengukuran emisi sumber tidak bergerak sebagai pemenuhan KSD (Kegiatan Strategis Daerah) 71 tahun 2020.
d. Mengawasi ketaatan standar dan/atau spesifikasi bahan bakar yang ditetapkan.
Realisasi: Telah dilakukan pembatasan penggunaan bahan bakar tidak ramah lingkungan (oktan kurang dari 90, KSD 71 2021); dan pengawasan kendaraan bermotor berdasarkan emisi yang dibuang (uji emisi).
e. Mengawasi ketaatan larangan pembakaran sampah di ruang terbuka yang menyebabkan pencemaran udara.
Realisasi: Sudah dilakukan. Pengaduan mengenai pembakaran sampah dapat dilakukan melalui kanal CRM (Cepat Respons Masyarakat, kanal pengaduan resmi Pemprov DKI Jakarta)
Apa saja isi Strategi Pengendalian Pencemaran Udara tersebut?
Dalam SPPU terdapat 3 Strategi, 16 Program, dan 70 Rencana Aksi untuk menurunkan beban emisi pada tahun 2030 sebesar 56% untuk PM10, 41% PM2,5, 41% BC (black carbon), 34% NOx, 16% SO2 , 40% CO dan 31% NMVOC (emisi senyawa organik volatil non-metana.
Tiga strategi tersebut yaitu peningkatan tata kelola, pengendalian pencemaran udara, serta pengurangan emisi pencemar udara dari sumber bergerak dan sumber tidak bergerak.
Tantangannya adalah udara tidak mengenal batas administrasi sehingga upaya pengendalian pencemarannya harus dilakukan baik di Jakarta serta wilayah sekitar secara bersama-sama.
Lalu mengapa SPPU tersebut tidak disahkan saja menjadi Pergub agar dapat menjadi payung hukum bagi langkah-langkah mengatasi pencemaran udara?
Pada awalnya SPPU disusun dalam bentuk Pergub. Namun karena isi SPPU menargetkan aksi dari internal SKPD/UKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, maka berdasarkan masukan dari Biro Hukum, SPPU diubah dalam bentuk Keputusan Gubernur. Saat ini masih dalam perubahan format ke dalam bentuk Keputusan Gubernur.
Dalam perspektif yang lebih luas, SPPU tidak berarti apa-apa tanpa rekognisi atas pentingnya isu bahwa ‘Pengawasan Kesehatan Lingkungan’ terkait iklim dan kualitas udara menjadi bagian tak terpisahkan dari desain ‘Sistem Kesehatan Indonesia’.
Pemprov DKI Jakarta melalui program Breathe Jakarta dengan Vital Strategies, organisasi pelaksana Bloomberg Philanthropies, mulai menjalankan fase pertama tahun ini untuk menghubungkan data dari sistem pemantau kualitas udara, baik SPKU (stasiun pemantau kualitas udara) maupun sensor lokal, dengan data surveilans kesehatan.
Ini akan menjadi titik awal untuk mengedukasi publik dan menyiapkan langkah-langkah preventif maupun mitigasi.
Secara konkret, apa saja langkah-langkah yang telah dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk menangani polusi udara di ibu kota?
Upaya Pemerintah Jakarta dimulai dengan mengeluarkan regulasi sebagai landasan dari segala upaya yang akan dilakukan; kemudian dilanjutkan dengan aksi, yakni pengendalian emisi dari sumber bergerak dan tidak bergerak, serta peningkatan Ruang Terbuka Hijau oleh pemerintah daerah yang berkolaborasi degan seluruh stakeholder.
Regulasi pengendalian pencemaran udara telah dimulai sejak 2005 dengan terbitnya Perda 2/2005 yang mengatur pengendalian pencemaran dari sumber bergerak, tidak bergerak, dan di dalam ruangan (KDM).
Penyusunan kajian regulasi tersebut dilakukan lewat kerja sama dengan para akademisi, praktisi, dan NGO peduli lingkungan.
Sebagai upaya percepatan mengendalikan pencemaran udara, dikeluarkan Ingub 66/2019 di mana terdapat 7 aksi yang tercantum dalam Ingub tersebut, yaitu:
Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor juga dikeluarkan untuk mengendalikan emisi dari sumber bergerak.
Grand Design Pengendalian Pencemaran Udara juga telah disusun tahun kemarin dan akan dituangkan dalam Keputusan Gubernur tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara.
Di dalamnya termasuk uji emisi kendaraan bermotor, pengenaan disinsentif tarif parkir tertinggi bagi kendaraan yang tidak lulus uji emisi, penanaman pohon oleh komunitas dalam program Kampung Iklim, pengawasan terhadap sumber emisi tidak bergerak (cerobong), dan penegakan hukum terhadap kegiatan usaha yang melanggar aturan.