Pemprov Masih Bahas Pembatalan Sertifikat Lahan di Cengkareng Barat

21 Februari 2019 11:04 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekda DKI Jakarta Saefullah di Monumen Nasional. Foto: Moh Fajri/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sekda DKI Jakarta Saefullah di Monumen Nasional. Foto: Moh Fajri/kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik lahan 4,6 haktare di Cengkareng Barat yang dibeli Pemprov DKI Rp 668 miliar pada tahun 2015 (era Gubernur Ahok) dari Toeti Noezlar, ternyata tanah itu milik Pemprov sendiri, belum juga kelar.
ADVERTISEMENT
Meski sudah diputus lahan itu akhirnya kembali ke Pemprov DKI alias batal dibeli, namun belum ada pengembalian uang atas pembelian lahan yang rencananya akan dibangun untuk rusun itu.
Sekda DKI Jakarta, Saefullah mengungkapkan saat ini pihaknya sedang membahasnya agar pencatatan kepemilikan lahan tersebut tidak berada di dua dinas yaitu Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (DKPKP) dan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman.
“Lagi ditata ulang. Jadi pencatatan tidak double tetap dicatat di DKPKP sesuai hasil belanja pada tahun 57 (1957) dan 67 (1967),” kata Saefullah seusai rapat mengenai paparan dari Badan Pertanahan Nasional terkait permasalahan tanah aset kebon bibit Cengkareng Barat di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis, (21/2).
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Saefullah belum bisa memastikan keputusan tetap dibangun rusun atau tidak di kawasan tersebut. Namun, ia mengungkapkan saat ini Pemprov DKI sedang fokus mengenai kejelasan dokumen kepemilikan tanahnya.
“Jadi yang dokumen kita pegang adalah yang dibeli Dinas Pertanian saat itu. Ini sedang diskusikan bagaimana pembatalan sertifikat yang baru itu,” ujar Saefullah.
Sementara itu Kepala Biro Hukum DKI Jakarta, Yayan Yuhanah mengungkapkan saat ini pihaknya masih menunggu proses administrasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengenai status lahan tersebut.
“Kalau gugatan Bu Toeti mah udah inkracht, sudah ditolak, kita menang gitu istilahnya. Ini kan masalah administrasinya di BPN gimana, sertifikatnya mau diapain nih. Kalau emang mau diganti, ganti,” kata Yayan saat dihubungi.
ADVERTISEMENT
Administrasi yang dimaksud untuk memperjelas status lahan tersebut milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DPKPKP) atau Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman.
“Tetap sih atas nama Pemda, tapi itu BPN yang akan meneliti ulang,” ujar Yayan.
Yayan mengungkapkan Pemprov DKI menginginkan sertifikat nantinya tetap di DKPKP. Meski begitu Pemprov DKI, kata Yayan, akan tetap menagih uang yang sudah dibayarkan oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman sebesar Rp 668 miliar.
“Iya (sertifikat di DKPKP), nanti kita tagih. Tapi itu prosedurnya bukan di saya. Dinas Perumahan nanti menagih, di-guidance oleh inspektorat,” terang Yayan.
Sandiaga Uno semasa masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta pernah menargetkan proses pengembalian tagihan pengadaan lahan sebesar Rp 668 miliar selesai pada Mei 2018. Namun target tersebut belum juga rampung.
ADVERTISEMENT
Kasus pengadaan lahan di Cengkareng berawal dari Pemprov DKI Jakarta yang membeli lahan seluas 4,6 hektare seharga Rp 668 miliar pada 2015. Lahan milik Toeti Noezlar Soekarno tersebut dibeli oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Jakarta (sekarang bernama Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta). Rencananya, lahan dibeli untuk membangun rumah susun di kawasan tersebut.
Masalah muncul saat Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) menemukan lahan tersebut dimiliki juga oleh Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DPKPKP) DKI Jakarta. Pemprov DKI diduga telah membeli lahannya sendiri.
BPK melihat indikasi kerugian negara dengan pembelian lahan itu dan kemudian diselidiki oleh Bareskrim Polri pada 27 Juni 2016.
Setelah itu, Pemprov DKI memutuskan pembatalan pembangunan rusun karena status lahan yang bermasalah. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, sempat diperiksa terkait masalah lahan Cengkareng Barat.
ADVERTISEMENT
Pemprov DKI sempat bermediasi dengan Toeti, tapi tidak menemui titik terang. Toeti kemudian mengajukan gugatan hukum terhadap Pemprov DKI. Toeti tidak terima lahannya disebut-sebut sebagai aset pemerintah dan meminta Pemprov DKI menghapus dari Kartu Inventaris Barang (KIB).
Namun Pemprov menolak permintaan tersebut dan memilih melanjutkan kasus di pengadilan. Pada 6 Juni 2017 majelis hakim yang menangani kasus itu memutuskan perkara tidak dapat diterima. Dengan kata lain, Pemprov menang dan lahan seluas 4,6 hektare itu kembali ke tangan pemerintah.
Meski demikian, BPK menilai adanya kerugian negara akibat pembelian lahan itu. Uang senilai Rp 668 miliar harus dikembalikan terlebih dahulu sebelum Pemprov DKI menggunakan lahan tersebut.