Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Pemimpin redaksi Rappler terancam enam tahun penjara setelah divonis bersalah atas tulisan yang dianggap fitnah di media Filipina tersebut. Namun pegiat HAM menuding kasus ini adalah manipulasi pemerintah karena Rappler kerap mengkritik kebijakan Presiden Rodrigo Duterte.
ADVERTISEMENT
Diberitakan Reuters, pada pengadilan Senin (15/6) di Manila, Maria Ressa dinyatakan bersalah atas artikel di Rappler pada 2012. Dalam artikel itu, Rappler mengaitkan seorang pengusaha dengan kasus pembunuhan, perdagangan orang, dan narkoba.
Pada artikel disebutkan informasi diperoleh dari laporan intelijen dari lembaga yang dirahasiakan. Hakim memenangkan pengusaha penggugat dalam kasus ini atas tuduhan fitnah oleh Rappler.
Ressa sebagai pemred Rappler dan penulis artikel tersebut Reynaldo Santos Jr terancam hukuman penjara hingga enam tahun di bawah Undang-undang kejahatan siber Filipina tahun 2012.
Sebenarnya artikel Rappler tersebut tak bisa digugat karena terbit sebelum UU kejahatan siber disahkan. Namun pada 2014, redaksi Rappler melakukan perbaikan typo pada kata "evation" menjadi "evasion", sehingga dianggap pengadilan telah melakukan publikasi ulang dan masuk cakupan UU kejahatan siber.
Setelah menjatuhkan vonis, Hakim Rainelda Estacio-Montesa mengatakan kebebasan pers jangan dijadikan tameng. Ressa membantah seluruh tuduhan tersebut dan membayar jaminan yang membuatnya tak dipenjara selama menunggu vonis hukuman.
ADVERTISEMENT
Ini adalah salah satu dari banyak kasus yang sebelumnya pernah menjerat jurnalis kawakan berusia 56 tahun ini. Ada dua kasus lagi yang masih berjalan, yakni tuduhan pendanaan asing dan pengemplangan pajak.
Pada 2018, akibat dua kasus tersebut izin Rappler dicabut oleh pemerintahan Duterte.
Berbagai organisasi HAM mengecam vonis terhadap Ressa yang menurut mereka adalah manipulasi dan pengekangan kebebasan pers.
"Vonis terhadap Maria Ressa menunjukkan kemampuan pemimpin Filipina yang kejam dalam memanipulasi hukum untuk menangkap suara-suara media yang kritis dan dipercaya," kata Phil Robertson, wakil direktur Asia di lembaga Human Right Watch. deputy Asia director at Human Rights Watch (HRW).
Vonis terhadap Ressa dijatuhkan sebulan setelah pemerintah menghentikan siaran media ABS-CBN dengan alasan izin yang telah habis. Rappler dan ABC-CBN terkenal dengan kritikannya terhadap kebijakan Rodrigo Duterte , terutama terkait pemberantasan narkoba yang menewaskan ribuan orang.
ADVERTISEMENT
Duterte juga beberapa kali menyerang media-media tersebut. Pada 2018, Duterte menyebut Rappler sebagai "fake news" dan melarang Ressa dan jurnalisnya datang di acara kepresidenan. Duterte bahkan mengatakan Rappler disponsori CIA.
Ressa adalah jurnalis veteran yang malang melintang melakukan peliputan di berbagai negara selama lebih dari tiga dekade. Pada 2018 dia menerima penghargaan dari Komisi Perlindungan Jurnalis (CPJ) atas keberaniannya mengkritik kebijakan anti-narkotika Duterte yang brutal. Di tahun yang sama dia mendapatkan titel Person of the Year dari majalan Time.
"Kami akan melawan setiap bentuk serangan terhadap kebebasan pers," kata Ressa.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona
ADVERTISEMENT