Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Penangkaran yang Tak Konservatif Jadi Pemicu Buaya di Sorong Dibantai
17 Juli 2018 7:30 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Warga bernama Sugito belakangan diketahui diterkam buaya saat berada di dekat kawasan penangkaran. Tempat pengembangbiakan hewan buas itu kemudian menjadi sasaran amuk massa. Mereka menghabisi 292 ekor reptil itu dengan dalih tidak ingin peristiwa sama terulang.
Pendiri Indonesia Animal Welfare Society, Marison Guciano, menyebut beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konflik antara satwa dengan manusia bisa terjadi di Sorong. Salah satunya adalah praktik penangkaran yang dianggap tidak memenuhi prinsip konservasi satwa (konservatif).
Menurut Marison, seharusnya penangkaran hewan buas tidak boleh berdekatan dengan permukiman warga. "Ini persoalan teknis, bagaimana penangkaran buaya bisa ada di dekat kawasan permukiman," sebut Marison, Senin (16/7).
Selain itu, Marison menganggap, satwa langka tidak seharusnya ditangkar. Terlebih sampai untuk dimanfaatkan kulitnya. "Seharusnya hewan-hewan itu dibiarkan bebas di habitatnya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Marison mengaku sudah beberapa kali melihat tempat penangkaran buaya. Dari hasil pemantauannya, penangkaran tidak memperhatikan aspek kesejahteraan satwa.
Di beberapa penangkaran, sebut Marison, jumlah buayanya sangat banyak, tapi luas tempat penampungannya sangat terbatas. Padahal, buaya adalah hewan teritorial yang butuh tempat hidup yang luas.
"Akibatnya di penangkaran, buayanya berebut makanan. Kebanyakan buaya di sana, tubuhnya luka-luka," ucapnya.
Setelah pembantaian buaya di Sorong terjadi, Marison meminta pemerintah lebih mengkaji penyebab konflik antara manusia dan satwa. Selama ini, dia menilai , langkah pemerintah tidak sampai ke akar masalah.
"Hewan yang masuk ke permukiman warga sering kali ditangkap dan dibawa ke kebun binatang. Padahal di sana bukan habitatnya," sebutnya.
ADVERTISEMENT
"Seharusnya pemerintah fokus ke akar masalah yaitu semakin terdesaknya habitat satwa karena kebakaran hutan, pembukaan lahan, dan alih fungsi lahan," sambungnya.
Namun, warga yang membantai buaya di Sorong juga tidak bebas dari jerat hukum. Kabid Humas Polda Papua Barat AKBP Hary Supriyono menjelaskan, pembunuh hewan yang dilindungi, termasuk buaya, bisa dijerat pasal 302 KUHP dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 21 ayat 2 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Aturan tersebut mengancam pembunuh satwa langka dengan hukuman penjara paling lama lima tahun penjara dan denda hingga Rp 100 juta.