Polusi udara - Jakarta

Peneliti BRIN: Sumber Polusi Harus Diatasi, WFH Hanya Solusi Sementara

21 Agustus 2023 17:34 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polusi, polusi, polusi. Jakarta didera polusi udara.
Aubrey (22), seorang karyawan swasta di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, mengaku mulai merasakan suaranya bindeng, batuk, disertai radang tenggorokan. Gejalanya ini muncul di tengah isu polusi yang memburuk di Jakarta dua pekan ke belakang.
“Di kantor aku itu akhirnya banyak yang cuti gara-gara sakit [lantaran polusi], sudah ada tiga orang yang cuti sakit,” kata Aubrey saat melintas di JPO Pinisi Karet Sudirman, Jakarta Selatan, Jumat (18/8).
Bukan cuma rakyat seperti Aubrey yang mengeluhkan polusi. Bahkan Presiden Jokowi disebut sudah 4 pekan batuk-batuk. Menurut dokter, polusi udara jadi salah satu faktor penyebabnya.
“Presiden minta dalam satu minggu ada langkah konkret, sudah hampir 4 minggu beliau [batuk], belum pernah merasakan seperti ini,” terang Menteri Ad Interim ESDM Sandiaga Uno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (14/8).
Berbagai wacana kebijakan pun muncul untuk meredakan polusi di antaranya dorongan bekerja dari rumah (WFH), peralihan ke kendaraan listrik, rekayasa cuaca, hingga pengawasan terhadap industri yang menggunakan batu bara.
Sebenarnya apa penyebab polusi udara Jakarta dan bagaimana mengatasinya? Untuk menjawab itu, kumparan mewawancarai Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Deteksi Radiasi dan Analisis Nuklir, Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Muhayatun Santoso.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Deteksi Radiasi dan Analisis Nuklir, Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Muhayatun Santoso. Foto: Dok. Istimewa
Prof. Muhayatun fokus meneliti mengenai partikulat udara, khususnya partikel udara berukuran 2,5 mikrometer (PM2,5) dan PM10, dalam berbagai publikasi ilmiahnya. Identifikasi mengenai komposisi dan sumber partikulat tersebut penting untuk merumuskan kebijakan dalam pengurangan polusi udara.
Berikut petikan wawancaranya:

Apa penyebab polusi udara di Jakarta menurut kajian Anda di BRIN?

Dari data jangka panjang komposisi kimia PM2,5 yang dilakukan sejak 2010 hingga 2022 di satu lokasi di Jakarta menunjukkan bahwa penyebab utama polusi udara di Jakarta disebabkan oleh beberapa hal, akan tetapi kontributor terbesar adalah emisi kendaraan bermotor, pembakaran biomassa dan bahan bakar fosil, serta emisi kegiatan industri.
Meskipun beberapa sumber yang ditemukan mungkin bersifat lokal, kontribusi regional terhadap konsentrasi partikulat perlu mendapat perhatian. Mempelajari wilayah metropolitan Jakarta yang lebih luas–yang di antaranya mencakup wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi–sangat diperlukan.
Musim kemarau juga menjadi salah satu penyebab tingginya polusi udara di Jakarta akhir-akhir.

Kenapa polusi terpantau lebih banyak pada malam hari ketimbang siang?

Polusi udara cenderung lebih tinggi pada malam hari karena adanya inversi termal. Inversi termal adalah fenomena yang menyebabkan suhu udara lebih dingin pada malam hari.
Inversi termal terjadi ketika lapisan udara yang lebih hangat terperangkap di atas lapisan udara yang lebih dingin di permukaan bumi. Hal ini mengakibatkan dispersi (penyebaran) polutan udara terhalang, sehingga pada malam hari terjadi akumulasi polutan di permukaan dan mengakibatkan kualitas udara yang lebih buruk.

Apakah pemerintah sudah pernah memerintahkan BRIN untuk mengkaji kualitas udara di Jakarta?

Terkait dengan riset yang saya lakukan, pemerintah DKI melalui DLH Provinsi Jakarta telah meminta BRIN untuk melakukan kajian terkait kualitas udara di Jakarta. Sebelumnya kami sudah menjalin MoU dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mewadahi riset lingkungan di kedua lembaga. Selain itu kami juga telah bekerjasama dengan DLH Provinsi Jakarta untuk melakukan pemantauan udara secara rutin di kota Jakarta yang sudah terjalin sejak tahun 2010.
Beberapa alat yang ditempatkan salah satunya selain mengukur tingkat pencemaran partikulat udara halus di Jakarta, juga untuk mengetahui kandungan unsur-unsur pada partikulat halus yang berbahaya bagi kesehatan manusia, serta mengetahui tingkat sumber pembakaran biomassa dan bahan bakar fosil.
Foto kondisi polusi udara Jakarta pada pukul 10:15 WIB pada Jumat (18/8/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Data-data tersebut digunakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber polusi dan membantu memberikan informasi berbasis riset saintifik untuk dapat merumuskan kebijakan bagi pemerintah setempat untuk mengatasi masalah polusi udara di ibu kota.
Yang lebih menjadi perhatian bukan hanya indeks kualitas udara, akan tetapi apa yang terkandung di dalam partikulat udara tersebut yang lebih berbahaya apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat. Untuk itu selain mengkaji konsentrasi massa partikulat, kami juga melakukan karakterisasi komposisi kimia termasuk konsentrasi black-carbon (BC). Pemantauan BC secara kontinu telah mulai dilakukan di Jakarta sejak Mei 2022 yang menunjukkan konsentrasi BC tetap tinggi sepanjang dini hari.

Apa rekomendasi dari BRIN dari hasil kajian/penelitian untuk mengembalikan kualitas udara agar lebih baik di Jakarta?

Berdasarkan hasil kajian mengenai sumber polutan utama di Jakarta, maka beberapa solusi yang seharusnya dilakukan di antaranya dengan meminimalisir sumber utama [polusi] tersebut sehingga tidak memberikan dampak kesehatan yang lebih merugikan.
Rekomendasi di antaranya termasuk pengurangan emisi kendaraan melalui transisi ke bahan bakar bersih, meningkatkan penggunaan transportasi umum sebagai alternatif transportasi di Jakarta, peningkatan teknologi emisi untuk berbagai industri, serta penerapan teknologi hijau yang lebih ramah lingkungan.
Evaluasi kebijakan juga perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitasnya. Salah satu contoh hasil kajian jangka panjang konsentrasi beberapa unsur seperti di antaranya sulfur dan kalium di PM2.5 Jakarta dari tahun 2010-2022 masih belum menunjukkan terjadi penurunan, bahkan terdapat tren peningkatan.
Hasil ini dapat digunakan untuk mengkaji keberhasilan kebijakan yang ada terkait kualitas bahan bakar maupun pembakaran biomassa. Data-data komposisi kimia partikulat halus akan sangat membantu untuk mengetahui efektivitas suatu kebijakan.
Warga beraktivitas di luar ruangan di sekitar Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (14/8/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Apakah WFH dan rekayasa cuaca memang bisa mengurangi polusi udara di Jakarta?

Kerja dari rumah (WFH) dapat mengurangi polusi udara dengan mengurangi mobilitas dan jumlah kendaraan di jalan. Namun, efeknya mungkin terbatas jika sumber utama polusi tidak ditangani secara tepat. WFH hanya akan menjadi solusi sementara untuk mengurangi dampak kesehatan paparan polusi udara bagi masyarakat sekitar, akan tetapi tidak menyelesaikan permasalahan secara permanen.
Tentunya akan lebih tepat, bila dibuat solusi jangka panjang yang lebih tepat sasaran dalam mengurangi sumber polusi udara yang ada di Jakarta.
Rekayasa cuaca dapat memberikan dampak positif, tetapi sekali lagi, ini hanya akan menjadi terapi jangka pendek yang tidak akan bertahan lama, karena sumber polutan utama masih belum diatasi.

Seberapa akurat data dari low-cost sensor untuk mengukur kualitas udara di Jakarta?

Dari namanya low-cost sensor, merupakan sensor untuk kualitas udara dengan biaya rendah, akan tetapi umumnya memiliki presisi yang lebih rendah dibandingkan dengan instrumen yang lebih mahal dan terkalibrasi dengan baik.
Namun, sensor ini masih dapat memberikan indikasi umum tentang kualitas udara di area tertentu. Ini bisa memberikan gambaran untuk daerah-daerah Indonesia yang sangat luas dan tersebar banyak, akan tetapi perlu dilakukan kalibrasi dan perbandingan dengan alat pemantau udara lain yang memiliki akurasi yang lebih baik
Kondisi polusi udara di Jakarta dilihat dari ketinggian pada Selasa (15/8/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Berapa lama udara Jakarta dan sekitarnya bisa bersih lagi, dan dengan cara apa yang paling optimal?

Tidak ada jawaban yang pasti untuk hal ini, karena waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kualitas udara tergantung pada tindakan yang diambil—apakah tindakan tersebut tepat sasaran dan efektif, sehingga bisa menganulir sumber polutan utama.
Langkah-langkah seperti penggunaan transportasi massal, peralihan ke sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan, dan perbaikan teknologi emisi untuk industri, dapat secara bertahap meningkatkan kualitas udara. Kombinasi pengurangan emisi kendaraan dan pindahnya industri berbasis batubara dapat membantu, tetapi hasilnya akan terlihat dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Bagaimana rekomendasi aksi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk pemerintah?

Untuk jangka pendek, pemerintah dapat melakukan pengawasan emisi kendaraan, meningkatkan kegiatan pemantauan kualitas udara, edukasi masyarakat tentang polusi udara.
Untuk jangka menengah, pemerintah dapat menyediakan dan mempromosikan transportasi publik yang nyaman dan ramah lingkungan sebagai alternatif transportasi di ibukota, dan mengimplementasikan regulasi industri bersih, dorong penggunaan energi terbarukan.
PLTU di Jakarta Utara. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dan untuk jangka panjang, pemerintah dapat menekankan dan mengembangkan transportasi berbasis listrik, mendukung inovasi teknologi hijau, meningkatkan pengelolaan limbah dan penggunaan lahan berkelanjutan.
Harap diingat bahwa mengatasi masalah polusi udara adalah usaha bersama yang memerlukan koordinasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat. Solusi yang efektif mungkin memerlukan kombinasi berbagai tindakan di berbagai tingkatan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten