Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Peneliti Media ANU: Buzzer Tak Cuma di RI, Butuh Transparansi untuk Mengatasinya
12 Februari 2021 20:24 WIB
ADVERTISEMENT
Setelah Presiden Jokowi meminta warga aktif mengkritik, fenomena buzzer kembali jadi sorotan. Musababnya, sejumlah pihak menilai warga takut mengkritik pemerintah karena takut diserang buzzer.
ADVERTISEMENT
Keberadaan buzzer dalam ruang lingkup politik memang bukan hal baru. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) mencatat keterlibatan buzzer dalam politik tercatat pada gelaran Pilgub DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014.
Peneliti Media Indonesia dari Australian National University (ANU), Ross Tapsell, melihat buzzer di Indonesia telah menjadi industri profesional dalam dunia digital. Jasa mereka digunakan oleh partai politik maupun kelompok kepentingan.
"Kala buzzer mendorong agenda politik dan narasi yang muncul tidak dihasilkan dari masyarakat, tapi berasal dari pekerja digital yang terorganisir (organized digital labor). Dan itu akhirnya yang membuat orang kecewa terhadap politik," kata Tapsell kepada kumparan, Jumat (12/2).
Tapsell tidak menampik jika apa yang dilakukan buzzer dapat mendiskreditkan media. Dalam masyarakat yang melek informasi, buzzer bisa memanipulasi informasi dengan mengerahkan narasi tertentu, dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja.
ADVERTISEMENT
"Di Filipina mereka disebut troll, di Malaysia mereka disebut pasukan digital (cyber troops), sehingga buzzer juga dinamai di Indonesia untuk apa yang dirujuk sebagai pekerja digital. Ini juga terjadi di negara-negara lain, secara khusus di Asia Tenggara," kata dia.
Untuk mengatasi keberadaan buzzer tersebut, usulan yang diajukan Tapsell ialah menggalakkan transparansi. Menurut Dosen Asian Studies ANU itu, masyarakat berhak tahu siapa-siapa saja buzzer yang dibayar untuk membuat narasi di media sosial.
Selain itu, Tapsell menekankan masyarakat Indonesia perlu tahu siapa saja pihak yang menyewa jasa buzzer. Termasuk jumlah uang yang dianggarkan dalam kampanye digital saat pemilu. Sehingga tidak ada tim kampanye bayangan yang menggelar black campaign atau mendiskreditkan kelompok kepentingan tertentu.
ADVERTISEMENT
"Seperti sebelumnya saat Anda harus mendeklarasikan anggaran yang digunakan untuk TV, iklan, dan sekarang kita juga harus mendeklarasikan berapa banyak uang yang dihabiskan untuk kampanye digital, termasuk influencer dan buzzer, dan semua bentuk kampanye digital lainnya," ujar Tapsell yang berbicara dari Canberra, Australia.
Lantas kenapa sebagian aktor politik justru menggunakan buzzer meskipun ada media arus utama? Tapsell menilai bahwa para aktor mencoba mengontrol narasi di tempat yang kini telah lumrah jadi media kritik pemerintah dan kebijakannya, yakni media sosial.
"Jika Anda dapat merekrut orang untuk menarik keluar kritik tersebut atau memanipulasi dengan sejumlah cara, mengubah topik pembicaraan, maka kemudian itulah tujuannya, itulah apa yang ingin mereka (buzzer) lakukan. Dan tentunya ini adalah tentang dominasi media sosial yang membuat penggunaan buzzer kian populer," terangnya.
ADVERTISEMENT
Sebagian pihak menilai buzzer menyerang dengan cara yang kurang elok. Namun, menurut Tapsell, apa yang dilakukan buzzer di media sosial bukan tentang sopan atau tidak sopan.
"Mereka tidak hanya mungkin kasar atau kurang berkenan, tapi mereka memang mendorong agenda politik dengan melakukan itu," kata dia.
Selain menggalakkan transparansi, cara lain yang diajukan Tapsell untuk mengantisipasi buzzer yakni publik harus aktif dan kreatif mendorong agendanya di media sosial. Menurutnya reformasi penting telah banyak terjadi di Twitter dan Facebook.
"Mereka (masyarakat) harus menemukan cara baru untuk melakukan reformasi tersebut saat ini. Hal tersebut untuk mengatasi buzzer yang selalu menegasi opini populer," katanya.
Tak kalah pentingnya, literasi juga perlu didorong. Menurut Tapsell banyak orang Indonesia sudah mengetahui tentang buzzer dan berita hoaks . Namun itu belum cukup.
ADVERTISEMENT
"Literasi bukan hanya bagaimana warga tahu tentang isu (buzzer) ini, tapi tentu saja kamu harus mendorong literasi di sekolah-sekolah tentang literasi digital agar dikembangkan," tutupnya.