Penelitian Vaksin Nusantara Lanjut Meski Tak Ada Izin BPOM, Apa Konsekuensinya?

16 April 2021 14:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terawan Agus Putranto saat meninjau persiapan uji klinis fase II vaksin Nusantara di RSUP dr. Kariadi Semarang. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Terawan Agus Putranto saat meninjau persiapan uji klinis fase II vaksin Nusantara di RSUP dr. Kariadi Semarang. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Penelitian Vaksin Nusantara seharusnya dihentikan karena sejumlah hal. Menurut hasil inspeksi BPOM, terdapat kejanggalan dalam uji preklinik, Good Manufacturing (GMP), Good Laboratory Practice (GLP), Good Clinical Practice (GCP), dan Proof of Concept yang berkaitan dengan kelayakan proses produksi vaksin.
ADVERTISEMENT
Pengembangan vaksin ini turut menggandeng Balitbangkes, AIVITA Biomedical Inc asal AS, Undip, serta mitra AIVITA di Indonesia, yaitu perusahaan farmasi PT Rama Emerald Multi Sukses atau Rama Pharma yang berbasis di Gresik.
"Ada corrective action (perbaikan) yang harus mereka berikan. Sampai dengan saat ini, sampai dengan sesuai waktu yang diberikan, belum kami terima," kata Ketua BPOM Penny Lukito dalam pernyataannya Rabu (14/3).
Oleh sebab itu, hingga saat ini, BPOM belum mengeluarkan izin Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II untuk vaksin Nusantara.
Apalagi pada uji klinis I, ada 71,4 persen relawan yang mengalami kejadian tak diinginkan. Dari 28 relawan, 20 di antaranya merasakan hal tersebut.
"Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant," ucap Kepala BPOM Penny Lukito dalam pernyatan tertulis BPOM, Rabu (14/4).
ADVERTISEMENT
"Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek, dan gatal," imbuhnya.
Selain pada grade 1 dan 2, KTD menurut Penny, juga terjadi pada grade 3 pada 6 subjek dengan rincian yakni subjek 1 mengalami hipernatremi (konsentrasi kalium tinggi pada darah), 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kadar kolesterol.
Namun, sejumlah tokoh penting menyatakan telah menjadi relawan uji klinik fase II vaksin besutan eks Menkes Terawan itu. Misalnya, Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie mulai proses pengambilan darah untuk uji klinik fase II vaksin Nusantara di Gatot Soebroto pekan lalu, Kamis (8/14).
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bersama sejumlah Anggota Komisi IX usai pengambilan sample darah untuk vaksinasi nusantara di RSPAD. Foto: Dok. Istimewa
Adapun Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo ikut diambil darah sebagai relawan uji klinik fase II vaksin Nusantara, bersama sejumlah anggota Komisi IX DPR pada Rabu (14/4).
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan vaksin Nusantara mengabaikan arahan dari BPOM dan tetap melanjutkan uji klinik fase II.
"Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik, namun berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan Badan POM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut," ucap Penny.
Apakah hal ini dapat dikenai sanksi hukum?
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.9 Tahun 2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik, pihak pelaksanan yang melanggar keputusan BPOM terkait uji klinik dapat dikenai sanksi administratif.
Hal ini tertuang dalam Pasal 22 sebagaimana berikut:
ADVERTISEMENT
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. penangguhan Uji Klinik; dan/atau
c. penghentian pelaksanaan Uji Klinik.
Sebenarnya disebutkan di sini bahwa uji klinik yang dimaksud adalah terkait produk farmasi seperti obat, herbal, dan kosmetika. Namun, BPOM seperti Food and Drug Administration (FDA) AS, juga mengawasi soal uji klinis vaksin.
Kepala Badan POM Penny Kusumastuti Lukito mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Sementara itu, dikutip dari Bunga Rampai Uji Klinik Kemenkes menyatakan, pelanggaran terhadap perizinan akan dijatuhi sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan, pemberhentian sementara kegiatan, sampai dengan pembatalan atau pencabutan izin oleh instansi pemberi izin.
Sanksi dapat juga berupa sanksi pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan terhadap Uji Klinik yang mengakibatkan bahaya bagi keselamatan manusia, kesehatan masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan hidup, kerukunan bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara.
Infografik serba-serbi vaksin Nusantara Terawan. Foto: kumparan
Peraturan yang dimaksud adalah UU Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009, yakni Pasal 196 yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pada Pasal 1 UU tersebut, dijelaskan bahwa Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
Sementara Pasal 98 yang menjadi rujukan Pasal 196 itu berbunyi:
Ayat 2: Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
Ayat 3: Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan
ADVERTISEMENT