Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Penembak di Swalayan Buffalo New York Alami Radikalisasi Online
16 Mei 2022 15:04 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Sebelum melakukan aksi penembakan massal, Payton Gendron sempat merasa kebosanan selama mengarungi hari-hari awal pandemi corona. Remaja berusia 18 tahun itu kemudian menyelami situs berbagi gambar, 4chan. Bermula dari menelusuri meme, dia menemukan dirinya tertarik pada retorika ekstremis .
ADVERTISEMENT
Penjelajahan Gendron lalu mengantarkannya pada situs-situs ekstremis dan neo-Nazi yang menjajakan teori konspirasi hingga rasisme anti-kulit hitam. Dia membenamkan dirinya dalam campur-baur situs supremasi kulit putih.
Gendron diperkenalkan dengan gagasan bahwa ras kulit putih menghadapi ancaman kepunahan akibat berbagai alasan, dari pernikahan antar ras hingga imigrasi.
Dia kemudian melacak GIF seorang pria bersenjata dan menemukan penembakan Christchurch pada 2019 yang menewaskan 51 orang di dua masjid di Selandia Baru. Dalam aksi keji pelaku, Brenton Tarrant, Gendron menemukan panggilannya.
Gendron membantai 10 orang di swalayan di Buffalo, Negara Bagian New York, AS, pada Sabtu (14/5). Berbekal senapan, dia menyiarkan pembunuhan itu secara langsung di platform Twitch.
Gendron mewakili generasi baru supremasi kulit putih. Mereka terisolasi dalam jejaring internet, teradikalisasi oleh informasi yang salah, dan terinspirasi untuk menyiarkan aksinya dari pendahulu-pendahulu mereka.
ADVERTISEMENT
Great Replacement
Selama bertahun-tahun, AS telah menyaksikan rentetan serangan massal. Penembakan-penembakan tersebut menyasar kelompok korban berbeda, tetapi berakar pada ideologi yang sama. Sebut saja penembakan sinagoge Pittsburgh pada 2018, pembantaian El Paso pada 2019, dan penembakan Charleston pada 2019.
Direktur Pusat Studi Kebencian dan Ekstremisme di Cal State San Bernardino, Brian Levin, telah melacak jejak mereka. Dia mengatakan, pembunuh supremasi kulit putih dan sayap kanan mendominasi pembunuhan ekstremis di AS sejak 2018.
Selama dua tahun terakhir, ada peningkatan bersejarah atas kejahatan kebencian anti-kulit hitam di seluruh AS.
Para pria berkulit putih itu menggunakan bingkai yang sama dalam manifesto mereka. Manifesto-manifesto tersebut berlandaskan teori the great replacement atau penggantian hebat.
Gendron pun merilis manifesto serupa. Dia bahkan mencaplok potongan-potongan dari manifesto Christchurch, tetapi menambahkan bagian lain yang mendukung teori great replacement.
Pertama kali diciptakan oleh penulis nasionalis kulit putih Renaud Camus dalam bukunya Le Grand Remplacement (2011), teori itu telah mengilhami arus pria bersenjata rasis di AS dalam beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Teori itu menunjuk berbagai perubahan sosial sebagai ancaman terhadap angka kelahiran kulit putih. Para pengikutnya percaya adanya komplotan rahasia yang berupaya menggantikan ras kulit putih dengan orang non-kulit putih.
Mereka menuduh imigran, feminis, aborsi, pernikahan antar ras, hingga badan seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Gerakan ini adalah gerakan dengan sejarah yang memanjang. Seluruh pengikutnya memeluk erat keyakinan rasis dan antisemitisme, tetapi generasi terbaru kini telah lahir melalui radikalisasi daring.
Membedakan diri dengan supremasi kulit putih lampau, anggota terbaru umumnya merupakan remaja laki-laki. Mereka melampiaskan amarah atas meredupnya kesempatan ekonomi dan perubahan demografi.
Menyebut dirinya fasis supremasi kulit putih dengan kepercayaan neo-Nazi, Gendron menulis bahwa penurunan tingkat kelahiran kulit putih ialah serangan yang akan menghasilkan penggantian ras dan budaya orang-orang Eropa. Gendron menegaskan, orang non-kulit putih harus dibantai, diusir atau dibunuh.
ADVERTISEMENT
Radikalisasi Daring
Pada Sabtu (14/5), Gendron mewujudkan mimpinya itu. Dia menyiarkan pembantaian massal tersebut kepada para pendukungnya. Sebelum serangan, Gendron menjelaskan mengapa dia memilih untuk melakukan siaran.
"Saya pikir menyiarkan langsung serangan ini memberi saya semacam motivasi dengan cara bahwa beberapa orang akan bersorak untuk saya," ungkap Gendron, dikutip dari New York Times, Senin (16/5).
Aksinya menimbulkan pertanyaan perihal peran dan tanggung jawab situs media sosial yang tak berhasil meredam konten kekerasan dan kebencian berkembang biak.
Para pelaku penembakan massal kerap mengakui, mereka mengadopsi keyakinan rasis dan antisemitis dari forum-forum daring, terutama terdorong oleh penembak lain yang juga menyiarkan serangan mereka secara langsung.
"Ini adalah fakta yang menyedihkan di dunia bahwa serangan semacam ini akan terus terjadi, dan cara kerjanya sekarang adalah ada aspek media sosial juga," kata peneliti senior yang mempelajari moderasi konten, Evelyn Douek.
ADVERTISEMENT
"[Kekerasan] Ini benar-benar tak terelakkan dan dapat diperkirakan akhir-akhir ini. Ini hanya masalah kapan," sambung Douek.
Perdebatan terkait moderasi konten di media sosial semakin memanas. Para pakar mengatakan, respons cepat dari platfom untuk menghapus siaran kekerasan hanya hal terbaik yang bisa diharapkan. Mereka telah berjerih untuk tidak mengedarkan manifesto Gendron.
Pasalnya, setiap manifesto membiakkan serangan dan manifesto lainnya. Terlebih, manifesto-manifesto itu bukan hanya pernyataan ideologis, tetapi juga menulis ajakan kekerasan secara terperinci.
Manifesto supremasi kulit putih kerap mencakup saran hingga instruksi pembantaian. Lokasi, target, serta pemilihan senjata dan perlengkapan pelindung diulas sebagai petunjuk bagi penembak penerusnya.
Usai penembakan Christchurch, para pakar membentuk panel penasihat dengan menggaet perusahaan teknologi. Mereka berupaya lebih tanggap dalam menghapus konten seperti manifesto dan rekaman penembakan massal agar tak menginspirasi serangan lanjutan.
ADVERTISEMENT
Namun, berbagai pihak telah melayangkan kritik terhadapnya. Mereka berpendapat, pihak berwenang tidak bertindak cukup cepat.
Tindakan pencegahan semacam itu pun dinilai tidak mencukupi. Bagaimanapun juga, menghapus konten kekerasan bak menyumbat bendungan bocor dengan plester, mengingat seberapa cepat konten-konten itu tersebar luas.
Reporter investigasi di Proyek Intelijen Pusat Hukum Kemiskinan Selatan, Michael Edison Hayden, mengamini hal tersebut. Hayden mengatakan, pemerintah seharusnya fokus pada donor yang mencari keuntungan dari radikalisasi para pemuda seperti Gendron.
"Ada orang-orang yang sangat kaya di negara ini yang berusaha untuk membuat materi radikalisasi ini tetap bersenandung karena itu menguntungkan mereka," terang Hayden, dikutip dari LA Times.
Era Pasca-Trump
Supremasi kulit putih merupakan ancaman terorisme domestik nomor satu di AS. Namun, kekerasan itu dikatakan menurun akibat pandemi yang telah menutup berbagai fasilitas publik. Penegakan hukum federal yang lebih memperhatikan ekstremisme daring turut berkontribusi.
ADVERTISEMENT
Penganut supremasi kulit putih diradikalisasi secara daring, tetapi mereka juga terhasut oleh pemberontakan pada 6 Januari 2021. Saat itu, ribuan pendukung mantan presiden AS Donald Trump menyerang Gedung Capitol di Washington.
Mereka berupaya membatalkan kekalahan Trump dalam pilpres 2020. Serangan itu adalah tindak radikalisasi yang meningkatkan aktivitas supremasi kulit putih secara daring.
Liga Anti-Fitnah (LAF) mencatat, sekitar 60 persen dari keseluruhan pembunuhan ekstremis di AS antara 2009 dan 2019 dilakukan oleh orang-orang yang mendukung ideologi supremasi kulit putih seperti great replacement. Generasi terbaru penembak massal pun memadukan ideologi great replacement dengan lelucon ironis di internet.
"Pembunuhan massal sebagai pertunjukan adalah fenomena khusus era pasca-Trump," jelas asisten profesor sejarah yang mempelajari ekstremisme di University of Chicago, Kathleen Belew.
ADVERTISEMENT
"Manifesto adalah bagian dari pertunjukan, representasi fisik, pertumpahan darah membawa meme ke kehidupan nyata," imbuhnya.