Penerbangan di Atas 37 Ribu Kaki yang Direbut RI Nilai Ekonomisnya Kurang

26 Januari 2022 20:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. Foto: Puspa Perwitasari/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. Foto: Puspa Perwitasari/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Isi perjanjian penyesuaian Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura dikritik oleh sejumlah ahli. Perjanjian ini ditandatangani oleh RI dan Singapura pada Selasa (25/1).
ADVERTISEMENT
Dalam perjanjian, disebutkan RI mendelegasikan Penyediaan Jasa Penerbangan (PJP) di area yang berbatasan dengan FIR Singapura. Areanya terbatas dengan ketinggian 0-37.000 kaki.
Berarti, di atas ketinggian 37.000 kaki bukanlah area delegasi untuk otoritas Singapura, melainkan dipegang sepenuhnya oleh Indonesia. Sedang 0-37.000 kaki dipegang Singapura.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dipilih batas maksimum ketinggian 37.000 kaki untuk area tersebut.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyebut pesawat yang terbang di ketinggian lebih dari 37.000 kaki memiliki nilai ekonomis yang kurang.
Pesawat Singapore Airlines di bandara Changi Singapura. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
“Pesawat [di ketinggian] itu bukan dalam posisi mendarat, tapi dalam posisi terbang dari satu tempat ke tempat lain. Makanya itu, nilai ekonomisnya juga kurang,” kata Hikmahanto saat dihubungi kumparan, Rabu (26/1).
ADVERTISEMENT
“Pesawat itu pas turun itu tidak langsung menukik, kan melandai, nih, jadi kan melewati Kepri dan sebagainya, lalu sampai Changi,” lanjutnya.
Sehingga, pesawat-pesawat yang terbang di ketinggian 0-37.000 kaki—area delegasi otoritas Singapura—memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Menurut Hikmahanto, kondisi ini juga memungkinkan Singapura memperoleh untung. Sebab, mereka bisa tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan.
Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat penerbangan di Arista Indonesia Aviation Center (AIAC), Arista Atmadjati. Menurutnya, ketinggian hingga maksimal 37.000 kaki merupakan ketinggian yang nilai komersialnya tinggi.
Pesawat Singapore Airlines di bandara Changi Singapura. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
“Karena 37.000 kaki itu memang penerbangan komersial. Penerbangan yang ramai itu di ketinggian 0-37.000 kaki. Di atas itu jarang ada karena rata-rata 33.000, 34.000, 35.000 kaki,” kata Arista saat dihubungi, Rabu (26/1).
ADVERTISEMENT

Bandara Changi Untung Besar

Dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (25/1), Hikmahanto paham FIR bertujuan untuk keselamatan penerbangan.
Namun pada kenyataannya, Bandara Changi Singapura dapat mencetak keuntungan besar bila FIR di atas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura.
"FIR atas ruang udara suatu negara yang tunduk pada kedaulatan negara bisa saja dikelola oleh negara lain. Hanya saja bila dikelola oleh negara lain menunjukkan ketidakmampuan negara tersebut dalam pengelolaan FIR yang tunduk pada kedaulatannya," ujar Hikmahanto.
Pertemuan Presiden RI Joko Widodo dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Veranda The Bar, The Sanchaya Resort Bintan, Prov Kepri, Selasa (25/01/2022). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
“Apakah Indonesia rela bila Changi terus berkembang secara komersial karena FIR di atas Kepulauan Riau dipegang oleh Singapura dan tidak Soekarno-Hatta?” imbuhnya.

Tanggapan Dubes Singapura

Meski begitu, Duta Besar RI untuk Singapura Suryopratomo menekankan bahwa dalam sektor keuangan, Indonesia tidak akan merugi akibat pendelegasian sebagian area ini.
ADVERTISEMENT
Pendapatan yang dihasilkan dari biaya jasa pelayanan penerbangan tetap milik Indonesia ketika pesawat yang terbang dari dan menuju Singapura melewati FIR Jakarta.
“Pendapatan milik Indonesia. Jadi, kita tidak ada dirugikan. Itu wilayah Indonesia. Yang penting, Changi-nya bisa bergerak dan ada kepastian keamanan untuk orang bisa mendarat dan take off,” ujarnya.