Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pengabdian Nakhoda Rute Pelabuhan Merak, 24 Tahun Tak Berlebaran Bareng Keluarga
15 April 2024 20:48 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Hari lebaran merupakan momen paling dinanti bagi banyak orang untuk bertemu dan berkumpul bareng keluarga tercinta di kampung halaman. Momen itu tak semua orang bisa dapatkan karena berbagai alasan, salah satunya adalah harus menjalankan tugas.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dialami oleh Nakhoda Kapal Motor Penyebrangan (KMP) Sebuku, Kapten Dwi Irianto (51 tahun), yang harus rela melepas momen berkumpul bersama keluarga di saat perayaan lebaran.
Pasalnya, Dwi harus menjalankan tugasnya mengemudikan kapal feri untuk mengantarkan para pemudik yang akan menyeberang dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheuni atau arah sebaliknya di setiap momen lebaran.
Tak tanggung-tanggung, pria yang kini sudah memiliki 2 anak itu mengaku sudah 24 kali lebaran tak pernah merayakan momen hari besar umat Muslim itu bersama keluarganya di Semarang.
"24 kali lebaran, saya gak pernah kumpul bareng keluarga. Selama 24 kali lebaran, saya mengawal angkutan mudik dan balik," kata Dwi di sela-sela tugasnya, Senin (15/4).
Adanya kebijakan dari PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yang melarang nakhoda dan kru kapal untuk libur di momen ramainya orang menggunakan jasa penyebrangan laut, membuat Dwi pun tak memiliki kesempatan untuk bisa pulang meski itu adalah hari raya lebaran.
"Kalau kebijakan perusahaan itu, di hari biasa itu 1 bulan di atas kapal bisa cuti 6 hari, atau diambil 2 bulan bisa cuti 12 hari. Tapi khusus momen lebaran, liburan dan tahun baru itu tidak boleh izin atau cuti, jadi standby di atas kapal," ujar Dwi.
ADVERTISEMENT
Tak ayal, saat memasuki momen lebaran, Dwi pun kerap merasakan kesedihan dan rasa irinya bila melihat para pemudik yang di antaranya menyeberang justru bisa berkumpul dengan keluarga masing-masing, sementara dirinya tidak.
"Sangat-sangat terharu ya, saya 24 jam membantu mereka mudik, tapi gak bisa mudik. Nah itu irinya di situ," ucap Dwi.
"Kalau momen lebaran selalu enggak ketemu (keluarga), nanti ketemunya setelah lebaran. Itu kita mendapatkan yang namanya cuti," imbuhnya.
Meski kerap mendapat sedikit protes dari sang anak lantaran tak pernah pulang saat lebaran, Dwi mengaku beruntung memiliki keluarga yang bisa mengerti dan memahami setiap risiko yang harus ditanggung dari pekerjaannya sebagai seorang pelaut.
"Terutama anak-anak, papa kok gak pernah pulang? Apalagi kalau ada acara, keluarga besar berkumpul, pasti dibilang anggota keluarga saya hilang satu. Itu papanya gak pulang. Dan itu setiap lebaran," ungkapnya.
"Tentu para keluarga pelaut paham, suaminya kegiatannya seperti apa, kapan bisa cuti, kapan bisa bekerja. Protes mungkin, tapi kondisinya harus diterima," lanjut Dwi.
ADVERTISEMENT
Pria yang sudah menakhodai lebih dari 20 kapal feri dengan berbagai rute penyebrangan itu mengaku, dirinya sangat merindukan momen berkumpul bersama keluarga di saat lebaran setelah 24 tahun menghabiskan hidupnya di lautan.
"Ya (kangen banget), kumpul bareng, bisa salat id bareng, bisa buka ketupat bareng. Nah itu gak pernah itu (sejak 24 tahun lalu)," kata Dwi.
Seperti tahun sebelum-sebelumnya, pada momen lebaran kali ini pun Dwi selalu merayakannya dengan cara yang teramat sederhana bersama para kru kapal lantaran keterbatasan waktu yang dimiliki.
Bahkan, menyantap opor ayam yang menjadi menu khas saat hari lebaran seolah menjadi hal langka yang harus dialami oleh Dwi dikarenakan padatnya jadwal kapal yang harus dihadapi setiap harinya.
ADVERTISEMENT
"Sehari 10 kali trip, 5 kali Merak, 5 kali Bakauheuni. Momen lebaran, biasanya kita punya kesempatan pada subuh, itu kapal off. Kemudian salat id bareng kru, setelah itu silaturahmi di atas kapal, setelah itu masuk lagi. Di kapal makan opor ya kalau ada yang mengirimkannya saja," kata Dwi.