Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
ADVERTISEMENT
Namanya Slamet Purwanto. Pria bertubuh gempal yang senang tersenyum ini biasa disapa dengan panggilan Pur saja. Dengan semangat, ia membawa rombongan dari YCAB berkeliling di Rumah Batik TBiG yang memang berada di bawah binaan YCAB.
ADVERTISEMENT
Jalan hidup pernah membawanya ke Ibu Kota, ikut arus urbanisasi. Sayangnya, bekal ijazah SMP nya tidak mampu mengundang minat dewi fortuna untuk meliriknya barang sedikit.
"Pernah jualan CD, jadi kuli bangunan, bahkan buruh serabutan bangun jalan tol juga pernah. Terakhir sih jadi tukang permak jeans keliling," ujar pria kelahiran Agustus 1985 ini.
Usaha permak jeans keliling membawanya ke Rumah Belajar Duri Kepa yang sedang bersosialisasi tentang RB. Dengan semangat, Pur tidak mau ketinggalan mendaftarkan diri menjadi salah satu siswa di RB. Tidak butuh waktu lama, Pur yang sempat mengenyam pendidikan hingga 2 SMA akhirnya berhasil mendapat ijazah SMA dari paket C.
Keuletan, semangat dan ketelatenannya membuat Pur ditawari untuk menjadi trainer kursus menjahit di RB Duri Kelapa. Lama kelamaan, ia berhasil menjadi penanggung jawab produksi di RB.
ADVERTISEMENT
"Akhir 2014, saya ditawari mengelola Rumah Batik TBiG (Tower Bersama Group) di Pekalongan," kenang Pur yang mengaku sulit menolak tawaran untuk kembali ke kampung halamannya.
Karena Rumah Batik TBiG bertujuan untuk membina pengrajin dan memberikan edukasi tentang batik bagi anak muda, maka awalnya Pur menyasarkan sosialisasi kepada anak-anak pondok pesantren dan panti asuhan setempat.
"Anak muda di sini lebih suka bekerja menjadi buruh pabrik dibanding pengrajin batik. Miris sekali," ujarnya.
Tidak sedikit yang menolak bahkan meremehkan tawarannya justru membuat Pur semakin bersemangat dan tertantang. Terlebih, cintanya terhadap warisan leluhur membuat semangatnya semakin berkobar.
Bersama timnya, Pur menggiatkan kembali pewarnaan batik menggunakan pewarna alam dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan. Alasannya adalah, ia tidak ingin batik hanya membawa keuntungan materi bagi produsen tetapi juga manfaat bagi alam.
ADVERTISEMENT
"Batik printing dan pewarna sintesis justru yang lebih merusak lingkungan," jelas Pur.
Usaha dan kerja kerasnya tidaklah sia-sia. Hingga hari ini, sudah ada 81 siswa yang dididik oleh Rumah Batik TBiG. Beberapa bahkan sudah sukses membangun usahanya sendiri dengan modal pendidikan yang didapat di Rumah Batik TBiG.
"Di sini kan kita tidak hanya belajar produksi tetapi juga bisnis. Percuma mengantongi skill produksi jika tidak disertai ilmu pemasaran yang baik," pungkas Pur.
Siswa-Siswa Rumah Batik TBiG
Saat ini, terdapat 38 siswa aktif yang terdaftar di Rumah Batik TBiG. Jika awalnya rumah batik ini fokus menyasar dan memberikan sosialisasi di pondok pesantren serta panti asuhan, kali ini siswa yang terdaftar lebih beragam.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah Mesti. Siswi kelas X SMA ini mengaku ikut program Rumah Batik TBiG atas saran dari guru kesenian di sekolahnya yang juga menjadi penanggungjawab ekstrakulikuler seni.
"Seneng aja belajar batik. Apalagi ini kan khasnya sini (Pekalongan)," ujar Mesti sambil mencoletkan warna biru di kain bersama dengan empat temannya yang lain.
Paling tidak setiap tiga kali dalam seminggu Mesti dan teman-temannya datang ke Rumah Batik TBiG. Jika sedang libur atau memanfaatkan malam minggu, meski diluar jadwal mereka akan tetap datang untuk menghabiskan waktu luang.
"Lumayan, buat kegiatan," ujar gadis yang ingin berkuliah di UGM ini diikuti anggukan setuju teman-temannya.
Tidak hanya yang sedang belajar, Rumah Batik TBiG ternyata sudah mampu mencetak lulusan yang akhirnya bisa mengembangkan bisnis batiknya sendiri. Dari 81 siswa binaan Rumah Batik TBiG, Rizal adalah salah satu contoh lulusan yang mampu menerapkan ilmu yang ia dapat dengan baik.
ADVERTISEMENT
Di rumahnya yang tidak jauh dari Rumah Batik TBiG, Rizal membuka workshop batiknya sendiri. Dengan ketelatenan, usahanya berkembang cukup pesat hingga mampu menyerap tenaga kerja dari lingkungan sekitarnya.
"Kita sistemnya borongan ada sekitar 4-5 orang dengan tugas dan upah yang berbeda. Tergantung dari tugas dan tingkat kesulitannya," ujar Rizal menjelaskan.
Dalam menjalankan bisnisnya, ia mengaku harus pintar-pintar memutar otak agar tidak merugi. Pasalnya, dalam satu bulan, tidak semua kainnya bisa laku ketika dibawa ke kota untuk dijual.
"Terkadang, kebutuhan pribadi saya kesampingkan dulu. Yang penting kewajiban membayar pegawai sudah dilakukan," jelasnya.
Di bagian belakang rumah ia manfaatkan sebagai workshop membatik. Lima orang ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumahnya setiap hari, selain hari Jum'at, akan datang dan membatik kain yang sudah dipola oleh Rizal sebelumnya.
ADVERTISEMENT
"Saya sudah membatik dari kecil. Turun temurun. Sudah kerja kemana-mana. Tapi karena faktor umur, sekarang mending kerja di tempat yang deket aja. Daripada nganggur," ungkap Sri, salah satu pembatik di tempat Rizal.