Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Pengacara Tom Lembong Sebut Kejagung Tebang Pilih: Menteri Lain Tak Diperiksa?
5 November 2024 13:39 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Menteri Perdagangan RI 2015–2016 Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan.
ADVERTISEMENT
Pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mendesak Kejagung juga turut memeriksa Menteri Perdagangan setelah kliennya menjabat. Hal tersebut bukan tanpa sebab.
Dalam surat penetapan tersangka yang dikeluarkan oleh Kejagung, dituliskan bahwa kasus impor gula yang diusut tersebut terjadi dalam kurun 2015–2023.
Artinya, dalam kurun itu, ada sebanyak empat menteri yang menjabat pasca Tom Lembong. Mereka adalah Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, Muhammad Lutfi, dan Zulkifli Hasan.
Ari Yusuf Amir pun menduga Kejagung justru tebang pilih dalam mengusut kasus impor gula ini.
"Betul [tebang pilih], karena dalam surat resminya penyidikan itu disebutkan, 2015 sampai 2023. Pak Tom hanya [menjabat] sampai 2016," ujar Ari kepada wartawan di PN Jakarta Selatan, Selasa (5/11).
"Berarti menteri selanjutnya harusnya diperiksa dong. Ada kesalahan juga enggak? Ada mekanisme yang salah enggak? Ada korupsi enggak di sana? Setelah itu baru tetapkan sebagai tersangka," sambung dia.
Ia mengaku heran bahwa Kejagung hanya memeriksa Tom Lembong dalam kasus yang diduga terjadi 2015-2023 tersebut. "Ini belum diperiksa semua, sudah tetapkan sebagai tersangka," tuturnya.
ADVERTISEMENT
"Sampai saat ini hanya Pak Tom Lembong yang diperiksa. Kawan-kawan bisa cek, tidak ada menteri lain yang diperiksa," jelas Ari.
Dengan kondisi itu, pihaknya pun menduga ada perlakuan berbeda yang diterima kliennya. Padahal, kebijakan impor gula juga dilakukan oleh menteri-menteri lain.
"Nah, kalau betul kejaksaan menyidik periode itu, maka sudah layaklah mereka memeriksa menteri-menteri yang lainnya. Ini sama-sama kita tunggu, nih," ucap Ari.
"Sampai Pak Thomas Lembong sebagai tersangka dan sampai ditahan, belum ada menteri-menteri lain yang diperiksa. Artinya apa? Silakan diterjemahkan sendiri," pungkasnya.
Adapun dalam kasus tersebut, Tom Lembong dijerat bersama tersangka lainnya. Dia adalah Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI 2015–2016. Diduga, kasus itu mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 400 miliar.
Sekilas soal Kasus Importasi Gula
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penuturan dari pihak Kejagung, pada 2015 terdapat rapat koordinasi antar kementerian yang telah menyimpulkan Indonesia surplus gula sehingga tidak perlu impor.
Namun, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku menteri diduga mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP. Kemudian gula kristal mentah itu diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, untuk memenuhi kebutuhan gula kristal putih hanya BUMN yang boleh mengimpor, bukan swasta. Izin itu diduga dikeluarkan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Kemudian, pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di Kementerian Bidang Perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu yang dibahas yakni Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal sebanyak 200 ribu ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.
ADVERTISEMENT
Pada November-Desember 2015, Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia --BUMN), memerintahkan staf senior manager bahan pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.
Perusahaan gula swasta yang dimaksud yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI. Pertemuan terjalin sebanyak empat kali.
Pertemuan itu, guna membahas rencana kerja sama impor Gula Kristal Mentah yang diolah menjadi Gula Kristal Putih. Pihak Kejagung menyebut pembahasan itu atas sepengetahuan Direktur Utama PT PPI saat itu.
Kemudian Januari 2016, Tom Lembong menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula. Hal itu melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih sebanyak 300.000 ton.
ADVERTISEMENT
Lalu, PT PPI ini membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT KTM.
"Meskipun seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP (gula kristal putih) secara langsung, dan yang dapat melakukan impor tersebut hanya BUMN (PT PPI)," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar dalam keterangannya 29 Oktober 2024.
"Atas sepengetahuan dan persetujuan Tersangka TTL (Tom Lembong), Persetujuan Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta," sambung Harli.
Menurut Kejagung, seharusnya untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga yang diimpor adalah Gula Kristal Putih secara langsung. Selain itu, Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, kedelapan perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP memiliki izin industri sebagai produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi.
Setelah delapan perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi Rp 13.000/kg.
"Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp 105/kg," ucap Harli.
"Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara/BUMN (PT PPI)," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, saat dikonfirmasi terpisah apakah Tom Lembong menerima fee atau aliran dana atas dugaan korupsi tersebut, pihak Kejagung menyebut masih mendalaminya.
"Apakah harus ada aliran dana dulu, baru disebut sebagai tindak pidana korupsi?" kata Harli kepada wartawan di kantornya, Kamis (31/10).