Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pengadilan di RI Ternyata Pernah Gunakan Poligraf sebagai Alat Bukti, Kasus Apa?
16 Desember 2022 16:49 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hasilnya pun cukup mengejutkan. Baik Sambo dan Putri pun disebut terindikasi berbohong terkait kesaksian soal pembunuhan Brigadir Yosua.
"Mohon izin untuk Bapak Ferdy Sambo, nilai totalnya minus 8," kata ahli poligraf yang juga anggota Polri, Aji Febriyanto Ar-rosyid, di PN Jakarta Selatan, Rabu (14/12).
Sementara untuk Putri, angkanya bahkan lebih besar yakni minus 25.
"Mohon izin, minus 25," kata Aji kepada jaksa.
Namun, Sambo mempertanyakan soal tes tersebut. Mantan Kadiv Propam Polri itu menilai hasil poligraf tidak bisa menjadi pembuktian dalam persidangan.
“Jadi poligraf itu setahu saya tidak bisa digunakan dalam pembuktian di pengadilan, hanya pendapat saja. Jadi jangan sampai framing ini membuat media mengetahui bahwa saya tidak jujur,” kata Sambo.
ADVERTISEMENT
Pertanyannya, benarkah poligraf itu tak bisa menjadi alat bukti seperti kata Sambo?
Berdasarkan penelusuran kumparan, kedudukan poligraf dalam hukum di Indonesia diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009.
Peraturan itu mendudukkan poligraf sebagai salah satu jenis barang bukti yang dapat diperiksa di laboratorium forensik, serta mengatur syarat formal dan teknis pemeriksaannya terhadap tersangka atau saksi.
Secara historis, pengadilan di Indonesia pun pernah menjadikan hasil tes sebagai pertimbangan hakim dalam mejatuhkan vonis. Ada empat kasus pidana yang menjadikan poligraf sebagai bukti sejak 2014 silam.
Kasus itu adalah kasus Ziman, Neil Bantleman, Agustay Handa May, dan Margriet Christina Megawe. Mereka tersangkut kasus pemerkosaan/pencabulan dan pembunuhan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan jurnal Jentera Volume 3 Nomor 1 (2020), hakim pernah menjadikan poligraf sebagai alat bukti pada tahun 2014 silam. Ini terkait dengan terbitnya aturan Kapolri lima tahun sebelumnya.
Berikut beberapa ringkasan kasusnya:
Kasus Ziman
Pada 23 Juli 2014, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis Ziman 5 tahun penjara. Ia dinilai terbukti melakukan pencabulan terhadap AA (bayi 9 bulan).
Kala itu, hakim menilai Bakteri Chlamidya Trachomatis yang ada pada bayi tersebut identik dengan milik Ziman. Selain itu, hakim juga mempertimbangkan hasil poligraf yang mengindikasikan Ziman berbohong. Hasil poligraf tersebut dianggap sebagai alat bukti surat.
Vonis tersebut pun sempat menuai polemik. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai hakim melanggar Pasal 183 KHAP lantaran memutus bersalah tanpa minimum adanya dua alat bukti yang sah. Selain itu, LBH Jakarta juga mengkritik hakim yang menggunakan poligraf sebagai alat bukti. LBH menyebut penggunaan poligraf di dalam KUHP tidak diakui.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, Nurkolis selaku pemeriksa poligraf memberikan 10 pertanyaan untuk Ziman dengan jawaban 'ya' atau 'tidak'. Salah satunya adalah: “Apakah Anda pernah memasukkan alat kelamin Saudara ke vagina korban A?”
Ketika Ziman menjawab pertanyaan itu, layar monitor yang terhubung kabel dan terpasang di tubuh Ziman, akan menangkap perubahan fisiologisnya berupa pola pernapasan, detak jantung, tekanan darah, dan ketahanan kulit. Grafik pada layar monitor pun menunjukkan jawaban Ziman berbohong.
Banding sempat diajukan terkait kasus ini. Namun, Ziman tetap terbukti. Bahkan hukumannya bertambah menjadi 10 tahun penjara.
Hasil poligraf ini tetap dipakai di pengadilan tingkat pertama maupun banding kasus Ziman. Ziman pun tetap dijebloskan ke penjara.
Kasus Neil Bantleman
Neil Bantleman merupakan terpidana kasus pelecehan seksual di Jakarta International Scholl (JIS). Warga Kanada itu terbukti menyodomi tiga anak didiknya di sekolah tersebut pada April 2014 lalu. Ia pun divonis 10 tahun penjara di PN Jakarta Selatan. Vonis itu kemudian bertambah menjadi 11 tahun di tingkat kasasi.
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangannya, hakim menggunakan hasil poligraf sebagai alat bukti.
“Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Poligraf terhadap subjek Neil Bantleman Nomor Lab: 2188/ FDF/2014 dengan kesimpulan: subjek dalam menjawab pertanyaan yang relevan Bab IV.5 “kasus pencabulan M, D dan Ax, apakah anda memasukkan alat kelamin anda ke dubur ketiga anak ini?” subjek menjawab “tidak”, menunjukkan “terindikasi berbohong (Deception indicated)”.
Pada tahun 2019, Presiden Jokowi memberikan grasi terhadap Neil Bantleman. Jokowi beralasan grasi itu diberikan karena alasan kemanusiaan. Grasi itu berupa pengurangan pidana dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan. Neil Bantleman pun bebas pada 19 Juni 2019
Pada kasus Ziman dan Neil Bantleman, misalnya, supaya hasil pemeriksaan poligraf bisa diterima di pengadilan, maka laporan hasil pemeriksaannya harus dikonversi terlebih dahulu menjadi alat bukti surat melalui sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
ADVERTISEMENT
Pro Kontra Poligraf
Sebagian besar negara-negara di Amerika Serikat tidak menggunakan hasil pemeriksaannya sebagai bukti di pengadilan. Hal itu disebabkan pemeriksaan poligraf dinilai memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan pertama adalah landasan teorinya tidak cukup kuat yang mengakibatkan tingkat validitasnya diragukan.
Hasil riset para ilmuwan dari The National Research Council (2002), misalnya, menyatakan landasan teori pemeriksaan poligraf lemah (81-91%). Ini terutama menyangkut soal respons fisiologis yang dapat bervariasi antara satu orang dengan yang lain.
Di samping respon fisiologis, penyebab lain mengenai tingkat akurasi pemeriksaan poligraf yang diragukan karena mesin poligraf tidak mampu secara objektif mengukur tingkat kebohongan orang yang diperiksa.
Penilaian kebohongan tersebut bergantung pula pada manusia, yaitu si pemeriksa poligraf. Ini terkait pula dengan tepat atau tidaknya pertanyaan yang diajukan pemeriksa poligraf. Sehingga respons fisiologis yang dihasilkan sebenarnya berasal dari koneksi antara pemeriksa poligraf dengan orang yang diperiksa.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, kekurangan ini tidak mengurangi penilaian terhadap poligraf sebagai alat deteksi kebohongan yang terbaik sampai saat iniForensic Research, Inc. bahkan mengulas 80 proyek penelitian yang dipublikasikan sejak tahun 1980 yang melibatkan lebih dari 6.380 pemeriksaan poligraf. Tujuannya adalah mengetahui validitas dan reliabilitas dari Poligraf. Hasilnya, tes Poligraf rata-rata akurasinya adalah 98 persen. Ini jelas berbeda dengan temuan The National Research Council yang disebut sebelumnya.
Lantas, apakah menurutmu poligraf ideal sebagai alat bukti?