Pengadilan PBB Ungkap Dalang Genosida Rwanda Usai Puluhan Tahun Jadi Misteri

29 September 2022 17:56 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembaca melihat surat kabar 12 Juni 2002 di Nairobi yang menunjukkan foto Felicien Kabuga yang buron. Foto: REUTERS / George Mulala
zoom-in-whitePerbesar
Pembaca melihat surat kabar 12 Juni 2002 di Nairobi yang menunjukkan foto Felicien Kabuga yang buron. Foto: REUTERS / George Mulala
ADVERTISEMENT
Pengadilan PBB mengungkap dalang dari Genosida Rwanda 1994 pada Kamis (29/9). Pihaknya mengatakan, orang yang memainkan peran terbesar dalam pembantaian itu adalah konglomerat Felicien Kabuga.
ADVERTISEMENT
International Residual Mechanism for Criminal Tribunals (IRMCT) membuka persidangannya di Den Haag. Taipan Rwanda tersebut terlihat menghadiri persidangan itu dengan kursi roda.
Kabuga pernah menjadi salah satu orang terkaya di Rwanda. Pria berusia 87 tahun itu menghabiskan kekayaannya untuk menyerukan kebencian terhadap suku Tutsi. Selama periode seratus hari, 800.000 orang Tutsi dan kaum Hutu moderat dibunuh di Rwanda.
Karangan bunga untuk korban genosida 1994 yang baru ditemukan saat akan dimakamkan di Nyanza Genocide Memorial, pinggiran ibukota Kigali, Rwanda. Foto: AFP/YASUYOSHI CHIBA
Pembantaian tersebut dilakukan oleh ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe. Jaksa mengatakan, Kabuga memasok parang dan memberikan pelatihan kepada milisi Interahamwe.
"Kabuga tidak perlu menggunakan senapan atau parang di penghalang jalan, melainkan dia memasok senjata dalam jumlah besar dan memfasilitasi pelatihan yang mempersiapkan Interahamwe untuk menggunakannya," ungkap jaksa Rashid S. Rashid, dikutip dari AFP, Kamis (29/9).
ADVERTISEMENT
"Dia tidak perlu mengangkat mikrofon untuk menyerukan pemusnahan Tutsi di radio, melainkan dia mendirikan, mendanai, dan menjabat sebagai presiden stasiun radio yang menyiarkan propaganda genosida di seluruh Rwanda," sambungnya.
Seorang relawan mengeringkan sisa-sisa tulang korban genosida Rwanda yang ditemukan dan dikumpulkan dari lubang-lubang tersembunyi sebelum dimakamkan secara massal. Foto: AFP/YASUYOSHI CHIBA
Kabuga dulunya adalah sekutu partai yang berkuasa di Rwanda. Dia diduga membantu membentuk kelompok militan Interahamwe dan radio yang siarannya menghasut pembantaian oleh mereka, yakni Radio-Television Libre des Mille Collines (RTLM).
Stasiun radio tersebut mengidentifikasi tempat persembunyian etnis Tutsi, sehingga dapat dibunuh oleh Interahamwe. Kabuga juga secara langsung memerintahkan mereka untuk membantai orang Tutsi.
Kabuga kemudian melarikan diri dari Rwanda untuk menghindari surat perintah penangkapan yang dikeluarkan pada 1997.
Salah satu buron paling dicari di dunia itu menggunakan uang dan koneksi untuk bersembunyi. Selama 26 tahun, Kabuga berpindah-pindah ke Swiss, Kenya, hingga Prancis. Penyelidik mengatakan, Kabuga mendapatkan bantuan dari para sekutunya di Rwanda.
Sejumlah relawan mengumpulkan sisa-sisa tulang korban genosida Rwanda yang ditemukan dari lubang-lubang tersembunyi. Foto: AFP/YASUYOSHI CHIBA
Kabuga menjalani kehidupan dengan identitas palsu di Paris saat ditangkap pada 2020 dan dikirim ke pengadilan PBB. Pengacaranya berusaha mengajukan pembelaan tak bersalah dan menghentikan persidangan dengan alasan kesehatan, tetapi menemui kegagalan.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, hingga 62 orang lainnya telah dihukum terkait Genosida Rwanda. Kabuga adalah salah satu tersangka utama terakhir yang diadili atas kejahatan tersebut.
"28 tahun setelah peristiwa itu, persidangan ini adalah tentang meminta pertanggungjawaban Felicien Kabuga atas perannya yang substansial dan disengaja dalam genosida itu," tegas Rashid.
Peti jenazah berisi korban genosida 1994 yang baru ditemukan saat akan dimakamkan di Nyanza Genocide Memorial, pinggiran ibukota Kigali, Rwanda. Foto: AFP/YASUYOSHI CHIBA
Human Rights Watch menyambut baik dimulainya persidangan tersebut. Proses hukum itu juga diawasi secara ketat di negara asalnya, terutama di sebuah desa penduduk asli Rwanda, Nyange.
"Kami menantikan persidangannya. Sudah lama menunggu," ujar kepala distrik asosiasi untuk penyintas genosida IBUKA, Anastase Kamizinkunze.
Para korban menyerukan pengadilan cepat. Sebab, dia bisa menerima asas praduga tidak bersalah bila meninggal dunia sebelum diadili.
Namun, terdapat pula banyak penduduk Nyange yang masih menyimpan ingatan baik tentang Kabuga yang bangkit dengan menjalankan kerajaan kopi, teh, dan real estate di Rwanda.
ADVERTISEMENT
"Dia mengupah kami dengan baik," ujar warga berusia 35 tahun yang bekerja di perkebunan teh itu sejak kecil, Alphonsine Musengimana.