Pengakuan Mahasiswa: Biaya dan Senior Paling Hambat Pelaksanaan PPDS

20 Desember 2024 21:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Direktorat Monitoring KPK mengungkap adanya pengakuan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia terkait permasalahan biaya dan persoalan senioritas selama menjalani pendidikan.
ADVERTISEMENT
Hal itu dibeberkan lewat laporan kajian Identifikasi Risiko Korupsi pada PPDS di Indonesia. Kajian itu disusun pada April 2023 hingga September 2023, dengan ruang lingkup kajian yakni tata kelola pada PPDS yang diselenggarakan pada tahun 2020–2022.
Dalam kajian itu, mahasiswa PPDS mengaku bahwa biaya yang besar dan perilaku senioritas menjadi aspek utama yang menghambat mereka menjalani pendidikan.
"Mayoritas responden menjawab biaya dan senior merupakan dua faktor utama yang paling menghambat pelaksanaan PPDS dengan persentase masing-masing 29,99 persen dan 14,40 persen," demikian bunyi laporan kajian tersebut, dikutip Jumat (20/12).
Laporan kajian itu juga menyebut bahwa sejumlah dokter umum yang baru berencana menjalani pendidikan dokter spesialis menyampaikan terdapat kekhawatiran besarnya biaya yang harus disiapkan untuk menjalani PPDS selain dari biaya resmi yang ditetapkan kampus.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, sejumlah dokter umum itu juga mempertimbangkan program studi yang masih menjalankan budaya senioritas dan favoritisme yang berujung pada perundungan dalam memilih program studi dokter spesialis.
"Mereka enggan untuk memilih program studi spesialis yang masih kuat budaya senioritasnya, meskipun di rumah sakit daerah mereka dokter spesialis tersebut masih jarang atau sangat dibutuhkan," jelas laporan tersebut.
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
Bahkan, budaya senioritas tersebut juga berujung pada pungutan tambahan yang tidak resmi dan tidak jelas akuntabilitasnya. Dalam laporan kajian tersebut, ditemukan bahwa sebanyak 17,64 persen responden menyatakan bahwa mereka mengeluarkan biaya untuk entertainment senior maupun dosen.
Besaran biaya entertainment tersebut pun beragam. Mulai dari sebesar Rp 1 juta hingga di atas Rp 25 juta setiap semesternya.
ADVERTISEMENT
"Menurut keterangan saat pendalaman wawancara, biaya ini biasanya untuk mendanai kegiatan berupa olahraga, seni budaya, acara kekeluargaan bersama para senior dan dosen, termasuk untuk menalangi kebutuhan para senior yang nantinya akan diganti (reimburse) di kemudian hari," paparnya.
Pengeluaran itu pun diakui oleh para mahasiswa PPDS di tingkat awal sebagai beban. Hal itu lantaran mereka yang juga harus mengurusi persiapan dan menyita waktu.
Tambahan biaya itu juga disebut mengganggu kegiatan pendidikan utama. Sayangnya, hal itu justru menjadi tradisi turun temurun dalam PPDS.
"Dari analisis di atas, terlihat bahwa perilaku favoritisme, senioritas, dan diskriminasi dalam PPDS memiliki dampak yang sistemik dalam memunculkan biaya tambahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya," ungkap laporan itu.
ADVERTISEMENT
"Selain itu, hal tersebut juga menyebabkan keengganan bagi calon dokter spesialis untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis yang masih memiliki budaya senioritas yang kuat," lanjutnya.
Laporan kajian itu juga menjelaskan bahwa sejumlah pihak fakultas yang ikut di-sampling juga mengakui adanya praktik bullying tersebut. Bahkan, mereka mengeklaim telah berupaya mencegah praktik tersebut.
Akan tetapi, praktik itu justru makin langgeng. Sehingga, laporan kajian itu menyebut bahwa memang masih membutuhkan waktu untuk menghilangkan praktik perundungan secara keseluruhan dalam PPDS khususnya, maupun pendidikan kedokteran pada umumnya.
Atas temuan itu, KPK menyarankan ada dua rekomendasi, yakni:
1. Menyediakan kanal pengaduan whistleblowing system dan mekanisme tindak lanjut aduannya.
2. Memberikan sanksi bagi:
Pelaku praktik favoritisme, senioritas dan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Tenaga kependidikan yang melakukan pembiaran praktik favoritisme, senioritas dan diskriminasi.
Adapun dalam melakukan kajian ini, KPK melakukan survei kepada peserta PPDS. Dilakukan melalui platform daring dengan google form.
Pemilihan responden menggunakan teknik snowball sampling dalam jangka waktu 30 hari hingga data mencapai saturasinya. Kuesioner disebarkan melalui Asosiasi Fakultas Kedokteran Negeri Seluruh Indonesia (AFKNI) yang menurunkan kepada seluruh dekan fakultas kedokteran penyelenggara PPDS. Serta melalui jejaring mahasiswa dan alumni PPDS di tiap program studi.
Jumlah sampel yang mengisi serta selesai diolah adalah sebanyak 1.417. Proporsinya adalah 1.366 responden peserta yang lulus seleksi PPDS baik sebagai mahasiswa maupun alumni. Jumlah sampel +/-10% dari estimasi total populasi residen/peserta didik sebanyak 13.000, berdasarkan data residen Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia per 2020. Dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% maka didapatkan margin of error sebesar +/- 2.58% yang diharapkan hasil dari survei ini dapat merepresentasikan populasi.
ADVERTISEMENT
Kajian ini menggunakan metode pendekatan campuran (mixed methodology) dari pendekatan kuantitatif dengan kualitatif.
Metode kuantitatif yang digunakan dalam kajian ini dilakukan dengan pengumpulan data primer melalui penyebaran kuesioner survei melalui kanal aplikasi google form yang menggunakan metode snowball sampling.
Bersamaan dengan pengumpulan data primer, dilakukan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan keterangan dan data dukung yang berasal dari focus group discussion, interview, serta telaah dokumen dan regulasi terkait.