Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Pengakuan Manusia Gerobak di Mampang Jelang Lebaran dan Pak Haji Misterius
28 Maret 2025 13:45 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Fenomena manusia gerobak marak terjadi selama bulan ramadan di Jakarta. Salah satunya di kawasan Mampang Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Mereka mangkal dengan gerobak selama momentum ramadan guna mengais belas kasihan pengendara yang melintas. Lantas bagaimana ceritanya?
Berikut kisah warga asal Cibubur yang mangkal di kawasan Mampang Prapatan.
Mereka adalah pasangan suami istri Hanifah (36) dan Aziz (38). Keduanya mangkal bersama 2 gerobak di pinggir jalan 200 meter sebelum flyover Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Ketika dijumpai, Hanifah tengah tidur menggunakan kardus sebagai alasnya di atas trotoar jalan. Meski terlihat santai, Ia mengaku sebenarnya was-was kepada Satpol PP yang melakukan razia.
Hanifah mengatakan ke kumparan telah sebulan hidup di jalan. Ia mengaku terpaksa menjadi manusia gerobak karena bangkrut setelah membayar biaya berobat suami.
"Aku sebenarnya kemaren-kemaren jualan sayur. Tapi kemaren suami sakit, tabungan habis. Yaudah lah turun ke jalan," ujar Hanifah kepada kumparan, Jumat (28/3).
Hanifah dan suami mengontrak di Cibubur bersama 6 orang anaknya, namun menunggak. Akhirnya, mereka bersama 2 orang yang masih kecil hidup di jalan sebagai manusia gerobak.
ADVERTISEMENT
Anak mereka yang lain tinggal bersama saudara di Kalibata.
Hanifah mengatakan tak manfaatkan belas kasih di momen ramadan. Tujuan menarik gerobak karena ingin mencari barang bekas, yang hasilnya buat makan.
Akan tetapi, Hanifah mengaku, berkat bulan penuh kasih ini, kini tunggakan mereka sudah bisa dilunasi.
"Sudah (Dapat uang sampai satu juta) tapi sudah dibayar buat kontrakan. Cuma gitu, lagi diuber-uber kontrakan. Alhamdulillah dapet buat dibayarin," katanya.
Hanifah mengatakan akan di jalan sampai hari Lebaran nanti. Dia masih berharap barkah lainnya agar bisa merayakan Idul Fitri di kampung halaman, yakni di Purwakarta.
"Ya kan kata saya buat kontrakan sudah kebayar. Tinggal nyari buat pulang dan buat beli sesetel [Baju Lebaran] buat anak-anak," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Selama hidup di jalan, Hanifah dan keluarga tidur di gerobak, mandi di masjid atau gedung perkantoran yang memperbolehkan. Untuk makan, kebanyakan dari pemberian orang lain.
Ia mengaku beratnya hidup di jalan tak membuat dia gagal berpuasa sehingga hanya makan di sahur dan saat berbuka.
"Yang ramai itu dari Kamis. Malam Jumat. Malem, pokoknya Kamis, Jumat, Sabtu, [Dan] Minggu. Biasanya nasi. Nasi aja dulu. Uang atau sembako bonus ya," ungkapnya.
Hanifah menceritakan ada sosok Pak Haji yang rutin memberikan mereka uang. Dia tidak kenal, namun tahu uang itu selalu datang di siang hari.
"Ada alhamdulillah. [Rp] 50 ribu, Pak haji yang kasih. Pak haji seminggu 2 kali. [Rp] 50 ribu satu orang. Dilempar dia (Saat melintas dengan kendaraan. Semua yang orang jalan tau Pak Haji kalau dateng dilempar. Pak Haji memang rutin. Ketemu di jalan. Entar jam 12," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Hanifah sebenarnya lebih memilih untuk berdagang sayur seperti sebelumnya. Sebab hidup di jalanan dihantui dengan ketakutan, salah satunya razia.
"Pernah sih (Kena razia), waktu itu ditegur. Masuk ke dalem [Gang-gang perkampungan]. Pagi enggak boleh. Siang kita keluar [Ke pinggir jalan utama Mampang arah Kuningan]. Kata Satpol PP-nya. Makanya di sini waspada. Mata harus jeli," kata Hanifah.
Hanifah tidak sendiri
Hanifah bukan satu-satunya yang hidup bersama gerobak di sepanjang Jalan Mampang sekitaran flyover arah Kuningan.
Kumparan melihat sekitar 10 kali pemandangan manusia dengan gerobaknya. Akan tetapi kebanyakan mengaku, tak memiliki niat yang sama seperti Hanifah.
Mereka mengaku memang sebagai pemulung yang keliling mencari rongsokan.
Asal mereka beragam, ada yang dari Karawang, Bobotsari, dan Purwakarta. Semuanya mengaku sudah memiliki KTP Jakarta.
ADVERTISEMENT
Selain Hanifah, tak ada yang mengaku manfaatkan momen ramadan hingga Lebaran untuk penghidupan.
Meski demikian, mereka tak memungkiri sering tiba-tiba mendapatkan sumbangan dari pengendara yang kebetulan melintas.
Ada Marni (55) dan Jumadi (42), yang mengaku sehari-hari memulung. Mereka mengatakan lebih sering dapat sembako daripada uang selama ramadan.
Sementara Jack (52), pemulung yang tinggal di Duren Tiga, mengatakan dalam sebulan pernah sekali mendapatkan uang sebesar Rp 200 ribu dari pengendara yang melintas di sepanjang Jalan Mampang.
"Ada 200 ribu, sebelum puasa kurang 2 hari. Kalo pas puasa ada paling 50 ribu dari pedagang. Saya dagang mantel juga, kalo ujan tinggalin gerobak," kata Jack.