Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pengakuan Nelayan Pulau Pari: Plastik Menutup Penyu dan Terumbu Karang
6 Desember 2018 10:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Siang itu matahari tepat berada di atas kepala Suryadi, dengan lincah dia mengemudikan perahunya dari Pulau Pramuka menuju rumahnya di Pulau Pari. Pria yang berprofesi sebagai nelayan Pulau Pari itu baru saja menghadiri hajatan pernikahan rekannya, Selasa (27/11).
ADVERTISEMENT
Di perjalanan pulang, Suryadi menemukan dua ekor penyu mati di perairan. Namun, dia terus bergerak dan tak lantas berhenti. Barulah saat melihat penyu mati yang ketiga, pandangan matanya berhenti.
Suryadi lantas mengambil ponselnya dan memvideokan penyu mati tersebut.
"Ya sudah sering kali sih nemuin itu secara spontan sih ngambil HP terus saya videoin. Biar teman-teman yang lain tahu, biasanya kadang ada penyu suka nyangkut di jaring sampai ada yang mati," cerita Suryadi kepada kumparan saat ditemui di kediamannya di Pulau Pari pada Senin (3/12).
Dari amatan Suryadi, penyu yang sudah berlendir tersebut diperkirakan sudah lama mati. Umurnya mungkin sudah lanjut, yaitu sekitar 10 tahun. Juga, beratnya diperkirakan 3-4 kilogram.
Temuan Suryadi itu kemudian diviralkan oleh ketua RT tempat dia tinggal, Edi Mulyono. Edi mengirim video Suryadi kepada beberapa jurnalis hingga akhirnya viral dan menjadi bahan omongan di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Imbas dari videonya yang viral itu, Suryadi kemudian dicari-cari oleh Bupati Kepulauan Seribu. Bupati bahkan datang langsung ke rumah Suryadi sehari tepat setelah video penyu mati itu beredar.
"Iya bupati nanya juga pas saya mau ke laut, bupati nyamperin ke dermaga. Tanya matinya kenapa Pak Suryadi, ya tahu lah Pak saya enggak tahu. Yang jelas sudah campur-campur sampah di situnya," kata Suryadi sembari tertawa.
Setelah kejadian tersebut, warga Pulau Pari tiga hari bergotong royong melakukan bersih-bersih laut. Mengingat, pada waktu yang sama sampah-sampah plastik datang dan menutupi perairan di Pulau Pari. Sampah plastik itu bercampur dengan limbah pax-semacam minyak berwarna hitam- yang entah datang dari mana.
Dari upaya bersih-bersih laut itu, warga berhasil mengangkat sampah seberat 400 ton per harinya. Warga sekitar tak mengetahui dari mana tumpukan sampah itu datang. Tetapi, Edi sebagai ketua RT menduga sampah itu berasal dari 13 aliran sungai yang ada di Tangerang, Jakarta, dan Bekasi.
ADVERTISEMENT
Belum lama penemuan penyu Suryadi viral, kembali ditemukan hewan serupa mati mengambang di perairan dekat Pulau Pari. Penyu mati tersebut ditemukan oleh seorang nelayan bernama Fajrin Erwin.
Sore itu (2/12) Erwin tengah bersantai melaut sembari memancing. Tiba-tiba, dia melihat ada seekor penyu kecokelatan mengambang.
"Ya nemu itu saya videoin. Enggak saya ambil, buat apa? Kan sudah mati juga. Masak saya bawa bangkai," ungkap Erwin berkelakar.
Erwin menuturkan, penyu yang dia temukan dikelilingi oleh banyak sampah. Ada plastik, eceng gondok, dan ragam jenis lainnya. Tentang kematian penyu tersebut Erwin tak tahu menahu. Yang pasti, dia melihat penyu itu mati mengambang bersama sampah.
Tentu, temuan-temuan warga Pulau Pari ini menjadi potret yang memprihatinkan. Dari keterangan Edi penyu mati menjadi indikator bahwa lingkungan perairan mereka sudah tidak lagi sehat.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya kalau di laut kebetulan semasa lautnya bersih dan enggak ada limbah atau kotoran sampah apa pun insyaAllah hewan enggak akan mati, habitat laut akan terjaga. Tapi kemarin kejadiannya karena pas kebetulan limbah pax, kalau orang sini bilang pax sebenarnya minyak kan. Nah itu yang membuat ekosistem laut terancam sebenarnya," Edi menyebutkan.
Terumbu karang itu kini tak bisa bernapas
Sebelum penemuan penyu mati viral, Edi sudah sering menemukan hewan laut bermasalah akibat sampah, terutama plastik. Beberapa kali menyelam ke dasar laut, Edi melihat sampah-sampah adalah pemandangan yang melintas di setiap mata memandang.
Edi menyebutkan kondisi yang dia temukan adalah ancaman bagi ekosistem bawah laut.
"Karena kalau biasanya dia sudah mengendap turun ke bawah itu akan menutupi terumbunya dan dia (terumbu karang) tidak bisa bernapas. Itu kalau untuk sampah plastik," sebut Edi.
ADVERTISEMENT
Melihat keadaan itu Edi langsung turun tangan. Bersama warga lainnya, dia perlahan mengangkat sampah plastik yang menutupi terumbu-terumbu karang malang itu.
Menurut Edi hal itu kerap dia lakukan karena seolah-olah sampah plastik tidak pernah berhenti datang. Sampah plastik adalah ancaman nyata bagi kehidupan di laut dan juga manusia tentunya.
"Jelas budidayanya terancam. Kayak rumput laut kalau ketutup sampah mati juga. Terus nelayan tangkap kalau plastik-plastiknya kayak gitu otomatis hasil tangkapannya juga berkurang. Karena pancing jaring kena plastik, ketutup plastik," tambah Edi.
Di samping terumbu karang yang terancam, tanaman mangrove di pesisir Pulau Pari juga terancam. Dengan dilingkupi sampah plastik ditambah hadirnya limbah pax, mangrove di sana banyak yang menghitam, mengering, dan kemudian mati.
Bila sudah demikian, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain mencegah dan selalu membersihkan sampah. Di Pulau Pari sana, untuk mengurangi kuantitas sampah plastik warga sudah diimbau untuk beralih dari sedotan plastik ke bambu. Selain itu warga juga dilarang keras menggunakan styrofoam.
ADVERTISEMENT
Aturan tersebut juga diberlakukan kepada para wisatawan yang berdatangan. Akan diberlakukan denda bagi mereka yang melanggar peraturan itu ke depannya.
"Ya gila, gitu perasaan saya. Kalau bisa dibayangin itu kalau dibiarkan masyarakatnya tidak sadar lingkungan, maka apa yang akan terjadi, lingkungannya akan tercemar dan akan rusak," kata Edi.
Limbah dan plastik pembawa bencana
Menurut Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta, Ida Harwati, dia menduga penyu-penyu itu mati karena plastik sampah dan minyak mentah di perairan tersebut. Pasalnya, banyak juga biota laut yang bernasib sama dengan tiga penyu tersebut, yakni mati karena sampah yang menggenang di laut.
"Informasi dari masyarakat mitra Polhut di Pulau Pari atau sekitar Kepulauan Seribu banyak biota lain seperti ikan yang mati. Jadi kemungkinan ada dua karena plastik dan atau karena minyak mentah. Asal usul limbah minyak/pax belum diketahui, dan limbah tersebut melekat pada sampah yang mengapung di permukaan," tutur Ida Harwati, saat dihubungi kumparan, Selasa (4/12).
ADVERTISEMENT
Soal laporan kematian penyu ini, menurut Ida BKSDA DKI Jakarta sejak awal tahun tidak menerima laporan kematian penyu sampai penemuan penyu mati pada (27/11) sekitar 150 meter dari Pulau Pari.
Kondisi sampah di laut memang sudah memprihatinkan. Hal tersebut diungkapkan oleh LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Menurut WALHI perairan di Indonesia sudah terpapar oleh mikro plastik karena limbahan sampah dari darat. Sampah di Pulau Pari sendiri merupakan kiriman dari Jakarta, bentuknya beragam, mulai dari sampah rumah tangga hingga limbah pabrik.
WALHI menyebut lemahnya pengawasan pemerintah membuat pabrik-pabrik di sekitar laut tidak mementingkan keasrian laut Indonesia. Pemerintah diimbau segera melakukan berbagai upaya agar pabrik-pabrik hingga masyarakat sekitar menjaga kebersihan lingkungannya.
ADVERTISEMENT
"Seharusnya pemerintah DKI Jakarta membuat kebijakan yang berprinsip pada pencegahan. Pencegahan menjadi awal utamanya, kalau itu sudah dicegah kemudian sampah yang beredar itu dikelola dengan baik tentunya dengan siap tanggung jawab," ujar Direktur eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi.
Senada dengan WALHI, Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu Yusen Hardiman juga menyebut cemaran minyak dan sampah di Pulau Pari, merupakan sampah kiriman. Yusen mengatakan dinas sudah mengerahkan petugas untuk membersihkan sampah dari sana.
“Petugas kami setiap hari membersihkan pesisir pantai, sampah akan selalu ada tapi tapi tidak sebanyak pekan lalu, sekarang sudah steril,” ujar Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu Yusen Hardiman saat dihubungi kumparan, Selasa (4/12).
Dosen Analisis Kualitatif Lingkungan, Abdul Rahman menyebut bahwa sampah-sampah yang mencemari lautan tak hanya membahayakan biota laut namun juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsi ikan di laut tersebut.
ADVERTISEMENT
"Tergantung dari dosisnya, kalau lebih sering mengkonsumsi pakan laut yang lebih banyak mengandung zat-zat (dari laut tercemar) tentu itu lebih beresiko. Contohnya biota laut yang hidup di dasar laut atau sedimen, tempat berkumpulnya logam-logam berat dasar laut seperti kepiting, kerang itu lebih berbahaya karena mengandung logam," ujar Abdul Rahman.
Abdul Rahman melanjutkan, pengurangan limbah plastik dalam keseharian masyarakat perlu dilakukan demi laut yang bersih dan sehat.
"Sekarang ini banyak digunakan kemasan-kemasan sekali pakai dan sekali buang kan di situ masalahnya kan. Jadi harus dilihat dari sumbernya. Ada plastik-plastik yang kita butuhkan seperti untuk pemetaan, konstruksi, memang itu lebih baik dibanding logam, itu kita butuh. Tapi kalau hanya untuk sebagai pengganti daun-daunan, yang seperti itu harusnya dihilangkan," katanya.
ADVERTISEMENT
Ikuti cerita lainnya di kumparan tentang hewan-hewan yang mati bergelimang plastik dengan follow topik Mati Bergelimang Plastik .