Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pengamat: Definisi Terorisme Ciptakan Ketidakpastian Hukum
25 Mei 2018 11:23 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Definisi terorisme memang menjadi pembahasan utama selama pembahasan revisi UU Antiterorisme, sehingga muncul dua alternatif definisi.
"Meski perdebatan telah berlangsung cukup panjang, masih terdapat sejumlah persoalan krusial dalam RUU tersebut, yang berpotensi memunculkan pertentangan dengan perlindungan kebebasan sipil, khususnya terkait dengan definisi terorisme," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyu Wagiman, dalam keterangan tertulisnya yang diterima kumparan, Jumat (25/5).
Wahyu menilai, definisi terorisme yang telah disepakati pemerintah dan DPR berpotensi multitafsir dan karet dalam pelaksanaannya, sehingga berpeluang menciptakan ketidakpastian hukum.
"Rumusan tersebut memunculkan ambiguitas dengan rumusan pasal-pasal kejahatan terhadap negara, sebagaimana diatur oleh KUHP, apalagi dengan tambahan frasa 'gangguan keamanan'," kata dia.
Wahyu menjelaskan, dari sekitar 109 definisi tentang terorisme , hampir semua ahli sepakat unsur-unsur definisi terorisme setidaknya terdiri dari beberapa hal berikut:
ADVERTISEMENT
1. Adanya kekerasan,
2. Sebuah kegiatan yang tidak melibatkan kekerasan,
3. Ancaman kekerasan tidak akan didefinisikan sebagai terorisme (protes non-kekerasan, pemogokan, demonstrasi damai, pembangkangan pajak, dll),
4. Bertujuan untuk mencapai tujuan politik (tujuan ideologis atau agama),
5. Terorisme harus dibedakan dengan kekerasan politik seperti perang gerilya atau pemberontakan sipil.
"Artinya, dalam konteks terorisme, politik, ideologi atau pun agama tidaklah semata-mata ditempatkan sebagai motif, tetapi sebagai tujuan. Perbedaan itulah yang membedakan dengan gerakan atau perjuangan pembebasan nasional yang jelas motifnya adalah politik," ungkapnya.
Tidak hanya itu, Wahyu berpendapat revisi UU Antiterorisme yang sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR gagal untuk mengakomodasi dan mengatur ketentuan mengenai prinsip keadaan normal dan keadaan tertentu, yang akan melibatkan TNI dalam operasi pemberantasan terorisme, karena berubahnya gradasi ancaman. Ia setuju TNI baru dapat dilibatkan dalam situasi tertentu, yaitu ketika kepolisian dinilai tidak mampu lagi mengendalikan situasi.
ADVERTISEMENT
"Sayangnya, RUU ini tidak mengatur mengenai perubahan gradasi ancaman keamanan. Justru terkesan hendak melibatkan militer secara terus-menerus dalam pemberantasan terorisme. Rumusan ini tentu problematis karena berpeluang berseberangan dengan ketentuan Pasal 30 UUD 1945, yang secara tegas telah mengatur pembagian peran, tugas dan fungsi antara TNI dan Polri," tuturnya.
Terkait pelibatan TNI yang nanti akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres), Wahyu mengimbau agar materinya tidak bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU TNI mengenai pelibatan militer harus dilakukan melalui keputusan politik negara.
"Perpres harus secara detail mengatur rule of engagement (RoE) pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme dalam konteks military aid to civil power (MACP). Merespons kesepakatan ini pula, ELSAM memandang seharusnya DPR maupaun pemerintah segera mengajukan inisiatif pembahasan RUU Perbantuan Militer, serta revisi terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, guna menjamin akuntabilitas pelibatan militer dalam konteks kontrol demokrasi sipil," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, definisi terorisme yang telah disepakati pemerintah dan DPR adalah alternatif kedua yang berbunyi:
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.