Pengamat Hukum soal RUU PRT Belum Terbit: Mereka Hanya Dianggap Pembantu

30 Oktober 2022 20:05 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Riski Nur Askia (18), PRT korban tindak kekerasan yang dilakukan majikannya, sudah kembali ke rumah. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Riski Nur Askia (18), PRT korban tindak kekerasan yang dilakukan majikannya, sudah kembali ke rumah. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Perlindungan hukum untuk pekerja rumah tangga (PRT) turun jadi sorotan usai RNA (18) jadi korban kekerasan majikannya pada Sabtu (29/10) lalu. Ketua YLBHI Muhammad Isnur menyayangkan belum ada payung hukum yang mumpuni untuk melindungi PRT hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
"Belum undang-undang yang mengatur secara tegas, secara jelas, dan komprehensif tentang perlindungan terhadap pekerja rumah tangga," ujar Isnur kepada kumparan, Minggu (30/10) siang.
Akibat belum adanya aturan ini, Isnur menyebut berbagai tindakan pelanggaran HAM terjadi. Mulai dari buruh migran di berbagai negara yang dianggap budak sebab bekerja 24 jam dan diperlakukan semena-mena.
Tidak seperti pekerja, PRT kerap dianggap sebagai pembantu.
"Jadi mereka ini selama ini dianggap istilahnya pembantu, asisten lah, tapi bukan dianggap sebagai pekerja yang memiliki hak yang sama dengan pekerja pada umumnya gitu," jelasnya.
Melihat fenomena kekerasan pada PRT yang berulang kali terjadi, Ketua YLBHI ini berujar RUU PRT harus didorong agar segera disahkan. Harapannya ada perubahan dari perlindungan korban termasuk terjaminnya HAM, jam kerja, hingga upah kerja.
ADVERTISEMENT
"Jadi harus ada perubahan-perubahan pengaturan perubahan residivis bahwa pembantu itu adalah pekerja yang juga punya hak (sama dengan) pekerja buruh yang sama, 8 jam kerja, punya jam istirahat, punya perlindungan hukum terkait bukan hanya fisik ya tapi juga gaji," jelasnya.
Bila PRT dia dianggap sebagai pembantu dan digaji secara domestik, Isnur berujar sulit ada keterlibatan pihak pikun bila terjadi pelanggaran HAM seperti tindak kekerasan. Sebab akan pelaku dapat menggunakan dalih 'rumah tangga'. Prinsip ini sama seperti KDRT, setelah UU PKDRT disahkan, pelakunya dapat dipidana. Harapannya PRT juga bisa memperoleh hak serupa.
"Jadi kalau ada pelanggaran dalam rumah tangga oleh siapapun terhadap pekerja atau pembantu di rumah tangga itu kena pidana yang sama," ujar Isnur.
ADVERTISEMENT
Iya juga menegaskan perlunya RUU PRT ini untuk disahkan agar sebab di dalamnya memuat aturan yang komprehensif.
"Di (aturan) sana termasuk penguatan atas prediksi karena KDRT belum tentu terlalu kuat, kita mendorong adanya PPRT itu untuk mengesahkan memberikan pada paradigma merubah perlakuan gitu," jelasnya.
Sementara itu bila dilihat dari perjalanannya, RUU PPRT sudah berulang kali masuk prolegnas DPR sejak tahun 2004. Akan tetapi hingga hari ini RUU PRT ini tak kunjung disahkan.
Isnur mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam membasmi kekerasan pada pekerja rumah tangga bila RUU ini belum juga ditetapkan sebagai UU.
"Kenapa? Artinya pemerintah dan DPR tidak menganggap serius jutaan orang yang bekerja dalam lingkup rumah tangga sebagai orang yang berhak atas apa namanya hak asasi manusia atas perlindungan. Nah ini kan gara-gara pemerintah tidak serius mengurus kejadiannya terulang terus," pungkasnya.
ADVERTISEMENT