Pengamat: Lewat Buku How Democracies Die, Anies Sindir Mundurnya Demokrasi di RI

23 November 2020 23:11 WIB
comment
28
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tiba di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (17/11). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tiba di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (17/11). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengunggah foto dirinya berpakaian putih dan bersarung cokelat sedang membaca buku karangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 'How Democracies Die'. Foto itu ia unggah di Twitter pada Minggu (22/11) pagi.
ADVERTISEMENT
Gestur tersebut dinilai sebagai sebuah sindiran, atau pesan Anies pada situasi yang tengah ia hadapi. Anies baru saja dipanggil polisi terkait kasus kerumunan di Petamburan dan Tebet, padahal DKI Jakarta masih dalam status PSBB Transisi.
Pengamat politik, Muhammad Qodari, menyampaikan analisisnya. Jika dianggap sebuah sindiran, Anies seakan ingin menyampaikan kemunduran demokrasi.
"Sebetulnya enggak boleh duga-duga orang enggak boleh baca buku, enggak boleh, ya, apalagi Pak Anies notabene latar belakangnya peneliti, pernah di lembaga penelitian, di Kampus Paramadina, dan pada hari ini beliau adalah politisi, pejabat publik," kata Qodari saat dihubungi kumparan, Senin (23/11).
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, membaca buku 'How Democracies Die' Foto: Twitter @aniesbaswedan
"Kalau dianggap sindiran, itu bisa dikatakan [dia] penunggang kritik dari elemen, atau analisis dari penulis dari dalam negeri dan luar negeri bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami penurunan atau kemunduran," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Qodari membedah, buku tersebut memang menceritakan bahwa sistem demokrasi bisa mati di sebuah negeri, cepat atau lambat. Sedangkan gestur Anies adalah sebuah pesan, seakan ingin mengonfirmasi bahwa kondisi demokrasi di Indonesia sedang menuju ke arah tersebut.
Soal kasus Petamburan, Qodari membeberkan, sebagai pemimpin publik, Anies punya dua elemen, yakni elemen rasional teknokratis dan elemen emosional politis. Menurut Qodari, seharusnya Anies bertahan pada elemen rasional teknokratis.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
"Seharusnya dan idealnya dalam menjalankan pemerintahan, Pak Anies strict saja pada rasional teknokratis, beliau sebagai gubernur bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan-permasalahan publik Jakarta gitu, ya, bagaimana cara mengatasi banjir dan macet, serta masalah lain, termasuk COVID-19," kata Qodari.
Namun, Qodari mengingatkan, ada elemen emosional politis yang bisa membawa Anies meraih kursi DKI-1. Ia dekat dengan kubu yang berlawanan dengan petahana (Basuki Tjahja Purnama alias Ahok kala pemilu 2017).
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Foto: Yuddy Cahya Budiman/REUTERS
"Dalam konteks naiknya Pak Anies, di mana terjadi pembelahan kubu pro-kontra dengan Pak Ahok, yang didalamnya ada elemen teknis teknokratis, dan elemen ini ketika bercampur dengan emosional politis bisa mengalami kekaburan," kata Qodari.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, Anies mendapatkan dukungan politis meski kadang menimbulkan dilema pada saat ia harus membuat kebijakan publik yang rasional.
"Misalnya penanganan pengelolaan banjir, Kali Ciliwung, mana yang dilanjutkan Anies dan tidak dilanjutkan dari era sebelumnya," kata Qodari.
Sedangkan untuk melihat takaran dua elemen ini pada kebijakan Anies, Qodari tidak bisa menjawab. Menurutnya, hanya Anies yang bisa tahu apakah kebijakannya didasarkan pada rasional atau emosional politis saja.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tiba di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (17/11). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
"Saya kira nanti soal takaran saja, kebijakan publik berapa persen elemen rasional teknokratik dan elemen rasional politiknya, ya, tentunya yang bisa jawab adalah pak Anies sendiri," pungkas Qodari.
Buku setebal 320 halaman itu terbit pada tahun 2018. Levitsky dan Ziblatt ingin menggambarkan tentang bagaimana pemimpin terpilih memiliki kekuatan untuk mengubah demokrasi demi memperkuat kekuasaan. Salah satunya dengan membuat sebuah sistem untuk memperlemah kelompok bertentangan atau oposisi.
ADVERTISEMENT
Buku ini dirilis atas polemik di Pilpres AS 2016 hingga awal pemerintahan Presiden Donald Trump.
***
Saksikan video menarik di bawah ini.