SQR - Cover Collection Kisruh tata kelola bantuan corona.

Pengamat soal Bantuan Pandemi: Kebijakan di Pusat Tak Sama, Bikin Bingung Daerah

2 Mei 2020 20:33 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengemasan paket bansos di Food Station Cipinang, Jakarta. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Pengemasan paket bansos di Food Station Cipinang, Jakarta. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Sebuah video yang menampilkan Sehan Salim Landjar, Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, mendadak viral menjelang akhir pekan lalu. Beberapa hari kemudian, video Indra Zainal Alim, Kepala Desa Jalan Cagak, Subang, Jawa Barat, juga beredar di media sosial.
Video keduanya punya satu benang merah: keluhan terhadap program bantuan sosial bagi masyarakat di saat pandemi sekarang-sekarang ini. Kalau Sehan memprotes aturan di tingkat pusat yang berubah-ubah, Indra mengkritik perihal basis data yang menjadi dasar penentuan penerima bantuan.
Di beberapa daerah, protes-protes juga banyak meletup. Dari ketua RT dan RW yang menyegel pintu kantor lurah, hingga warga terdampak COVID-19 yang mengeluhkan tidak kebagian bantuan.
kumparan mengobrol dengan Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), seputar masalah bantuan di periode pagebluk ini.
Robert yang telah menelurkan belasan analisis terkait pemerintah daerah di berbagai jurnal ilmiah itu berpendapat, tata kelola bantuan harus diubah. Terlebih, saat ini banyak lembaga di tingkat pusat yang menyalurkan bantuan, sehingga membuat koordinasi birokrasi menjadi njelimet.
Lulusan Politik Pemerintahan Fisipol UGM dan pasca-sarjana Administrasi Publik Fisip UI itu punya saran agar pemerintah bantuan pemerintah pusat dan daerah bisa bersinergi. Berikut petikan perbincangan dengan Robert Endi Jaweng:
Robert Endi Jaweng, pakar otonomi daerah. Foto: Dok. KPPOD
Beberapa waktu lalu, Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sehan Salim Landjar, mengkritik aturan penggunaan dana untuk warga di masa pandemi. Bagaimana anda membacanya?
Saya sendiri banyak berkomunikasi dengan para bupati dan wali kota, bahkan bukan baru kemarin. Mereka kerap kebingungan mengambil kebijakan di lapangan karena regulasi yang berbeda-beda dari pusat.
Hulunya kebingungan karena regulasi. Misalnya yang terbaru soal perbedaan kriteria penerima bansos antara kementerian.
Dalam hal bantuan, Kemendes sempat mengatakan dana desa hanya untuk program padat karya, enggak boleh untuk yang lain. (Tapi) Menteri Dalam Negeri bilang, boleh untuk beli sembako.
Ini yang jadi inti komplain Bupati (Sehan). Regulasi yang berbeda-beda dari pusat. Konflik norma antara satu sama lain itu membingungkan daerah.
Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sehan Salim Landjar. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
Apakah ketidakharmonisan regulasi ini begitu mengganggu kinerja daerah di masa sulit seperti sekarang?
Dalam situasi itu, mereka main aman. Ada beras, tapi dia tidak mau salurin, ditahan. Ada duitnya, tapi dia lebih memilih menahan duit, tidak dibelanjakan, ketimbang terpaksa dibelanjakan tapi jadi temuan (audit) di kemudian hari.
Sehingga kemudian masyarakat marah. Masyarakat tahu daerah ada beras berton-ton, tapi kepala daerah bingung (karena kalau) disalurkan nanti jadi temuan.
Kebingungan seperti ini harus diselesaikan sehingga uang dan barang yang ada tidak ditahan hanya karena kepala daerah mau main aman. Tidak mau jadi temuan audit.
Bagaimana meredam kekhawatiran kepala daerah ini?
Saya kira di sini penting duduk bersama antara tiga pihak: aparat pemeriksa keuangan, yakni BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan); aparat pengawas, yakni inspektorat pemprov dan Kemendagri; kemudian aparat penegak hukum, yakni KPK, Polri dan Kejaksaan.
Mereka harus punya satu protokol bersama, protokol monitoring evaluasi, protokol pengawasan, sehingga kepala daerah dan kepala desa tidak merasa takut dikriminalisasi di antara belantara regulasi yang karut-marut.
Sementara itu, agar kebijakan kementerian tak saling berbenturan, Menteri Sekretaris Kabinet (Setkab) harus mengambil bagian mengharmonisasikan regulasi yang dibuat oleh para menteri. Jadi, enggak boleh para menteri selonong boy keluarin peraturan-peraturan tanpa melalui pintu akhir untuk harmonisasi regulasi di Setkab.
Pegawai PT Pos Indonesia bersama para ojek daring di depan Istana Merdeka, Jakarta, bersiap mendistribusikan bansos sembako. Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Pemerintah kelihatan seperti tidak punya pedoman baku dalam hal penanganan bencana...
Sistem kita presidensial, dan menteri jadi pembantu presiden. Itu rujukan. Tidak boleh lagi para menteri selonong boy dengan kebijakan yang berbeda. Katanya visi cuma satu—visi presiden; kebijakan cuma satu—kebijakan presiden.
Tapi kalau setiap menteri tidak memahami atau punya kepentingan yang lain, ya repot. Jadinya tabrakan. Perlu diingat, korban akhirnya adalah para pelaksana di lapangan, dan terutama rakyat. Itu yang harus disadari.
Pemerintah pusat punya banyak jalur untuk memberi bantuan. Menurut anda pendekatan ini tepat?
Memang bantuan itu berbeda skema, berbeda angka, juga berbeda target. Jadi enggak bisa masyarakat diklasifikasi berdasarkan jenis bantuan dari pemerintah.
Buat saya, tata kelolanya perlu diperbaiki. Kita harus punya satu simpul uang masuk ke warga. Jangan kemudian masuk sendiri-sendiri. Setiap kementerian sekarang kan bawa uang sendiri-sendiri sampai ke warga.
Ini yang kemudian warga diklasifikasi berdasarkan jenis bantuan. Kalau sudah dapat PKH (Program Keluarga Harapan), enggak boleh dapat BLT (Bantuan Langsung Tunai), dan lain-lain. Setiap kementerian punya kriteria, padahal yang diurus sama, rakyat yang membutuhkan.
Artinya perlu skema tunggal di masa pandemi ini?
Yang penting adalah masyarakatnya itu ditetapkan dulu, yang disebut penerima yang berhak itu siapa, yang perlu didukung pemerintah itu apanya. Kira-kira tingkat kecukupan dia untuk bertahan hidup sekarang itu apa saja dan kira-kira kalau diangkakan berapa.
Kemudian bantuan pemerintah—PKH, BLT, BPNT, Bansos, dan sebaginya—itu semua mengeroyok objek yang sama. Yang diurus kan bukan bantuan pemerintahnya, tapi rakyatnya. Tinggal rakyatnya diklasifikasi, mana yang butuh, mana yang enggak butuh.
Yang butuh itu seperti apa kriterianya, tingkat kecukupannya berapa. Jangan kemudian bantuan yang punya kriteria sendiri, pintu masuknya berbeda-beda. Yang disasar juga jadi berbeda-beda karena sudah diklasifikasi dan sudah dikecualikan tadi.
Pekerja mengemas paket bansos di Jakarta. Foto: ANTARA/M. Risyal Hidayat
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten