Pengamat: WNI jadi Kambing Hitam Pengeboman Gereja di Filipina

3 Februari 2019 14:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang anggota Angkatan Darat Filipina memeriksa kerusakan di dalam Gereja usai ledakan bom di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina. Foto: Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Seorang anggota Angkatan Darat Filipina memeriksa kerusakan di dalam Gereja usai ledakan bom di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina. Foto: Reuters
ADVERTISEMENT
Pengamat mengatakan warga negara Indonesia kembali jadi kambing hitam dalam aksi teroris Abu Sayyaf di Filipina. Kali ini, WNI dituding pelaku pengeboman gereja di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina Selatan. "(Filipina) cari kambing hitam dan ada dimensi kepentingan politik di kawasan regional," kata Pengamat terorisme dan direktur The Comunity of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya kepada kumparan (3/2). Pengeboman di Jolo terjadi pada Minggu (27/1), menewaskan 22 orang dan melukai 100 lainnya. Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano pada Sabtu (2/2) mengatakan pelakunya adalah suami-istri asal Indonesia yang menyerang dengan bom bunuh diri. Menurut Harits, klaim yang disampaikan pemerintah Filipina ini tidak bisa dibuktikan secara fakta. Ini juga bukan kali pertama warga Indonesia dituduh terlibat terorisme di Filipina, tapi tidak terbukti. "Kenapa filipina mengkambinghitamkan WNI, sebab produk intelijen mereka lemah hanya membangun hipotesa yang basisnya adalah analogi," ujar Harits.
Seorang anggota Angkatan Darat Filipina berjalan di dalam sebuah Gereja usai ledakan bom di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina. Foto: Reuters
Harits menjelaskan, sebelumnya ada beberapa kasus terorisme Abu Sayyaf yang dituduh melibatkan WNI. Salah satunya adalah ketika anggota Abu Sayyaf tanpa identitas ditangkap dan mengucapkan bahasa Melayu sebelum meninggal dunia, sehingga dikira warga Indonesia. "Sebelum meninggal dia ucapkan satu kata atau istilah bahasa Melayu yang juga digunakan orang Moro. Nah, dengan ucapan itu disimpulkan dia WNI, padahal dia asli Moro," lanjut Harits. Harits menduga, tuduhan kepada WNI kali ini datang karena serangan gereja juga pernah terjadi di Indonesia tahun lalu. Ketika itu, simpatisan ISIS meledakkan diri di tiga gereja dan kantor polisi, menewaskan 28 orang. "Mungkin mereka menyamakan dengan kasus Surabaya dan mereka meyakini masih terdapat beberapa WNI pasca Marawi yang masih di sana, ini kan asumsi yang minus data," ujar Harits, menyinggung penyerbuan kota Marawi oleh teroris di Filipina yang berlangsung selama lima bulan pada 2017. Pemerintah Indonesia sebelumnya juga telah memprotes penyebutan WNI dalam pengeboman gereja di Jolo. Menurut Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Kemlu, Lalu Muhammad Iqbal, pernyataan pemerintah Filipina itu tidak melalui proses verifikasi terlebih dahulu. “Sejauh ini aparat keamanan Filipina belum punya bukti bahwa itu adalah WNI karena pengecekan DNA juga belum selesai,” kata Iqbal kepada kumparan.
ADVERTISEMENT