Pengusaha Erwin Arief Didakwa Suap Eks Anggota DPR Fayakhun Andriadi

29 Juli 2019 15:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Manager Director PT. Rohde and Schwarz Indonesia, Erwin Arief (kanan) menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/5). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Manager Director PT. Rohde and Schwarz Indonesia, Erwin Arief (kanan) menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/5). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Managing Director PT Rohde & Schwarz Indonesia, Erwin Sya'af Arief, didakwa menyuap mantan anggota DPR Fayakhun Andriadi, sebesar USD 911.480. Perbuatan Erwin disebut dilakukan bersama-sama Fahmi Darmawansyah selaku Direktur Merial Esa.
ADVERTISEMENT
"Sebagai orang yang turut serta melakukan, yakni bersama-sama dengan Fahmi Darmawansyah dan korporasi PT Merial Esa, telah memberi atau menjanjikan sesuatu, berupa uang," kata jaksa M Takdir Suhan, saat membacakan dakwaan Erwin di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/7).
Menurut jaksa, suap diberikan agar Fayakhun selalu anggota DPR periode 2014-2019, mengupayakan penambahan anggaran di Badan Keamanan Laut (Bakamla), untuk pengadaan proyek satellite monitoring dan drone, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016.
"Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," ujar Takdir.
Fahmi Darmawansyah saat di Pengadilan Negeri Tipikor Bandung. Foto: Okky Ardiansyah/kumparan
Perkara berawal ketika Ali Fahmi Habsyi selaku stafsus Kepala Bakamla, menemui Fahmi dan anak buah Fahmi, Muhammad Adami Okta, di kantor Fahmi, Menteng, Jakarta Pusat, Maret 2016.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Ali menawarkan proyek yang akan dianggarkan pada APBN-P tahun 2016 di Bakamla. Namun, Ali meminta Fahmi mengikuti arahannya termasuk kesepakatan untuk adanya fee.
Pertemuan itu juga membahas peralatan yang dimiliki oleh perusahaan Fahmi, termasuk alat satelit komunikasi. Fahmi kemudian menyampaikan bahwa perusahaannya merupakan agen dari pabrikan PT Rohde & Schwarz Indonesia, yang merupakan perusahaan Erwin.
Ali kemudian berjanji akan mengusahakan agar pengadaan proyek satelit itu dilakukan oleh perusahaan Fahmi. Sementara Adami Okta mengubungi Erwin untuk menanyakan peralatan satelit tersebut. Erwin menyatakan peralatan untuk pengadaan itu tersedia.
Managing Director PT Rohde and Schwarz, Erwin Arief di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, (28/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
"Terdakwa lalu memerintahkan stafnya di PT Rohde & Schwarz Indonesia, yakni Sigit Susanto untuk mempresentasikan produk Rohde & Schwarz berupa satelit monitoring kepada sejumlah pejabat Bakamla, termasuk Ali Fahmi, agar pengadaan satelit monitoring dapat dimasukkan ke dalam penambahan anggaran yang diusulkan Bakamla kepada DPR RI," kata jaksa.
ADVERTISEMENT
Menurut jaksa, Erwin dan Fayakhun berteman sejak awal 2016. Erwin juga disebut menawarkan untuk membiayai keuangan Fayakhun terutama untuk akomodasi politiknya.
Pada April 2016, Erwin menyampaikan permintaan kepada Fayakhun agar mengupayakan proyek satellite monitoring di Bakamla dapat dianggarkan dalam APBN-P tahun 2016 karena proyek itu akan menggunakan barang atau produk dari PT Rohde and Schwarz Indonesia.
"Terdakwa juga menyampaikan bahwa proyek itu nanti akan dikerjakan oleh perusahaan milik Fahmi, dan dijanjikan adanya commitment fee untuk pengurusan anggaran tersebut," ujar jaksa.
Politisi Golkar Fayakhun menjalani sidang putusan terkait proyek pengadaan satelit monitoring dan drone Bakamla di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (21/11/2018). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi menjalani sidang tuntutan di pengadilan Tipikor. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ali juga meminta agar Fayakhun membantunya. Ali disebut berkomitmen akan memberikan fee kepada Fayakhun sebesar 6 persen dari pagu anggaran proyek terkait pengurusan anggaran tersebut. Fayakhun kemudian melaporkan hal itu mantan anggota DPR Setya Novanto.
ADVERTISEMENT
"Pada saat proses pengurusan anggaran yang dilakukan oleh Fayakhun tersebut, terdakwa selanjutnya aktif sebagai perantara dalam hubungan komunikasi antara Fayakhun dengan Fahmi, yakni dengan cara berkirim pesan melalui aplikasi WhatsApp (WA) yang dikirimkan Fayakhun kepada terdakwa dan selanjutnya diteruskan (forward) kepada Adami untuk kemudian diteruskan lagi kepada Fahmi dan begitu pula sebaliknya," papar jaksa.
Erwin kemudian menyampaikan informasi dari Fayakhun kepada Fahmi bahwa respons positif atas pengajuan tambahan anggaran dari Bakamla sebesar Rp 3 triliun dalam usulan APBN-P tahun 2016, yang di dalamnya terdapat proyek satelit monitoring (satmon) dan drone.
Erwin juga sampaikan ke Fahmi bahwa Fayakhun minta tambahan fee 1 persen, sehingga total fee 7 persen. Fahmi menyanggupinya. Erwin lalu mengatakan kepada Fayakhun bahwa bakal ada realisasi fee sebesar 1 persen.
ADVERTISEMENT
"Semua commitment fee sebesar 1 persen dengan jumlah seluruhnya sebesar USD 911.480," kata jaksa.
Menurut jaksa, setelah mendapat kepastian dari Fayakhun bahwa proyek tersebut dianggarkan dalam APBN-P tahun 2016, Erwin mendapatkan keuntungan dari pemesanan (Purchase Order) satellite monitoring produk yang peralatannya ada di perusahaannya.
Pengusaha Erwin Arief menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/7). Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan
Pemesanan itu oleh perusahaan Fahmi pada tanggal 25 Juli 2016, dengan nilai kontrak sebesar EUR 1.750.000.
Padahal, kata jaksa, harga barang sebenarnya hanyalah EUR 8.000.000, sehingga terdapat selisih uang yang disebut akan dinikmati oleh Erwin.
"Terhadap barang tersebut selanjutnya dilakukan pembayaran uang muka (down payment) oleh PT Merial Esa pada tanggal 20 September 2016 sebesar EUR 1.750.000, padahal yang dibayarkan terdakwa ke Rohde & Schwarz Asia Pasific hanyalah sebesar EUR 1.600.000, sehingga terdapat selisih keuntungan yang dibagi untuk terdakwa sebesar EUR 35.000 dan Adami Okta sebesar EUR 115.000, karena sebelumnya pernah meminta jatah komisi (diskon) kepada terdakwa," papar jaksa.
ADVERTISEMENT
Perbuatan Erwin dianggap melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Atau Pasal 5 ayat (1) huruf a jo. Pasal 15 Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.