Penjelasan Kabasarnas: Saya Tahu Itu Salah, tapi Outputnya Baik

27 Juli 2023 12:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
56
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana kantor Basarnas, sehari setelah OTT KPK yang menjerat salah satu pejabat Basarnas, Rabu (26/7/2023). Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana kantor Basarnas, sehari setelah OTT KPK yang menjerat salah satu pejabat Basarnas, Rabu (26/7/2023). Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi buka suara usai ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dia diduga 'mengakali' sejumlah pengadaan proyek dalam sistem lelang elektronik LPSE di Basarnas.
ADVERTISEMENT
Dalam konferensi pers, KPK menyampaikan bahwa Henri diduga menerima suap hingga Rp 88,3 miliar. Uang itu diduga merupakan fee dari sejumlah pengerjaan proyek dari hasil lelang di Basarnas. Diduga, ada fee sebesar 10 persen dari setiap proyek.
Dalam proses pemberiannya, KPK mengungkap ada kode suap 'Dako' atau Dana Komando. Uang puluhan miliar itu diduga diterima oleh Henri bersama Letkol Afri Budi Cahyanto selaku Koorsminnya kurun waktu 2021-2023.
Namun demikian, proses hukum terhadap Henri dan Letkol Afri yang sudah dijerat tersangka, dilimpahkan oleh KPK ke Puspom Mabes TNI. KPK hanya mengusut dugaan suap dengan tersangka pihak swastanya saja.
Ketiga swasta tersebut yakni:
ADVERTISEMENT
Perusahaan milik Mulsunadi dan Marilya sebagai pemenang tender untuk proyek Pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan TA 2023. Proyek itu senilai Rp 9,9 miliar.
Sementara perusahaan milik Roni Aidil menjadi pemenang untuk dua proyek besar yakni pengadaan Public Safety Diving Equipment senilai Rp 17,4 miliar dan pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024) senilai Rp 89,9 miliar.
Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi. Foto: Anggi Mayasari/ANTARA
Henri Alfiandi membantah sangkaan bahwa dia menerima uang dari rekanan untuk kepentingan pribadi. Ia menegaskan tidak ada uang yang masuk ke kantong pribadi.
"Saya pimpinan lembaga yang mengatur dana operasional. Jadi bukan unit kepentingan pribadi. Kan sudah dinyatakan tercatat semua penggunaan dana tersebut oleh KPK. Dan catatan itu rapi, karena bentuk dari pertanggung jawaban saya," kata Henri kepada kumparan, Kamis (27/7).
ADVERTISEMENT
Meski demikian, ia tak menampik bahwa dana tersebut ada. Namun, ia kembali menyatakan tidak ada yang masuk ke kantong pribadinya.
"Sistem itu, dana ops (operasional) kantor. Kalau misal mau sembunyi-sembunyi, ngapain saya perintahkan catat rapi. Tanya ke mitra deh. Kalau yang mau terbuka dan jujur sistem kebijakan saya ini. Saya tahu ini salah, tapi baik hasil output-nya," papar Henri.
"Apa yang disangkakan dengan dana tersebut benar adanya. Tapi penggunaannya yang seolah-olah masuk kantung pribadi, semua sangat tidak benar," sambungnya.
Henri menyatakan akan mengikuti proses hukum sesuai prosedur. Ia mengaku langsung menemui pihak Puspom TNI dan berencana bertemu dengan Panglima TNI Laksamana Yudi Margono.
"Sebagai bentuk tanggung jawab moral saya," kata Henri.
ADVERTISEMENT
Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi di Kantor Pusat Basarnas, Jakarta, Kamis (16/2/2023). Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
Berikut penjelasan Marsdya TNI Henri Alfiandi mengenai sangkaan kasus suap yang menjeratnya sebagai tersangka:
Apa tanggapan bapak usai ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK?
Saya akan ikuti semua proses hukum.
Apakah sudah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)?
Saya belum dapat SPDP-nya.
Apakah sudah ada komunikasi atau pemanggilan oleh pihak Puspom?
Saya malah menghadap Puspom saat ini. Dan pimpinan TNI di Cilangkap. Sebagai bentuk tanggung jawab moral saya.
Bertemu dengan Panglima Laksamana TNI Yudo Margono?
Panglima tidak di tempat, yang ada Kasum. Sedang menunggu Beliau dari acara di luar.
Dalam sangkaan KPK, Bapak disebut menerima Rp 88,3 miliar dari sejumlah proyek di Basarnas?
Saya pimpinan lembaga yang mengatur dana operasional. Jadi bukan untuk kepentingan pribadi. Kan sudah dinyatakan tercatat semua penggunaan dana tersebut oleh KPK. Dan catatan itu rapi, karena bentuk dari pertanggung jawaban saya.
ADVERTISEMENT
Kata 'Bapak' (diduga menerima uang) kurang tepat ya. Kalau 'lembaga' mungkin lebih tepat. Saya bukan mau berdalih, ya. Mengapa lembaga? karena itu sistem. Dan saya pengendali sistem.
Bapak ingin menegaskan bahwa uang suap yang disangkakan KPK bukan untuk pribadi?
Jelas dong. KPK juga sumirkan memberikan pernyataan itu. Tanya aja ke anak buah saya deh, bagaimana pengelolaan dana tersebut.
Kalau yang soal sangkaan fee 10 persen dari setiap proyek. Apakah itu lumrah dalam setiap proyek pengadaan di Basarnas? Uangnya masuk ke mana?
Sistem itu, dana ops (operasional) kantor. Kalau misal mau sembunyi-sembunyi, ngapain saya perintahkan catat rapi. Tanya ke mitra deh. Kalau yang mau terbuka dan jujur sistem kebijakan saya ini. Saya tahu ini salah, tapi baik hasil output-nya.
ADVERTISEMENT
Dalam sangkaan KPK, Bapak dkk diduga menerima uang Rp 88,3 miliar. itu dari fee sejumlah lelang proyek sejak 2021-2023. Apakah fee 10 persen dari total kontrak ini baru ada 2021 saat Bapak menjabat atau sebelumnya juga sudah diterapkan?
Rp 88 miliar sejak saya menjabat 2,5 tahun per tahun lamanya jadi bila ambil rata-rata, Rp 35 miliar/tahun dan ini untuk operasional kantor. Tidak bisa pukul rata 10%, tergantung jenis.
Jadi setiap proyek berbeda nilai presentasenya untuk dialokasikan ke unit operasional kantor? klasifikasi jenisnya bagaimana?
Sesuai hitungan team penentu HPS, saya pakai konsultan kok
Bapak menyatakan kalau uang tersebut masuk ke operasional kantor, apakah Basarnas kekurangan alokasi anggaran, sehingga mengambil dari nilai kontrak pengadaan?
ADVERTISEMENT
Ya kalau ditanya kurang, ya kurang.
Apakah setiap HPS dengan konsultan itu, sudah dianggarkan 'dilebihkan' untuk kemudian dialokasikan ke dana operasional?
Konsultan murni nilai. Dari sini, nilainya jadi acuan untuk lelang. Untuk apa ada konsultan kalau masih harus di tambah-tambah.
***
Ramaikan kumparanMOM Festival Hari Anak di 29-30 Juli 2023