Penjelasan Ketua KPI soal Banyak Orang Beralih dari TV, Masalah Kualitas Konten?

7 Februari 2022 15:25 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (17/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (17/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, merespons soal isu yang mengatakan siaran TV makin ditinggalkan karena menurunnya kualitas konten yang ditawarkan. Namun menurut Agung, justru bukan itu yang menjadi alasannya.
ADVERTISEMENT
Agus mengatakan, kemudahan akses yang ditawarkan media platform global atau yang dikenal dengan sebutan Over The Top (OTT), yang membuat masyarakat Indonesia perlahan mulai meninggalkan tayangan TV. Apalagi, 50 persen masyarakat Indonesia adalah generasi milenial.
"Jadi saya melihat bahwa orang kemudian melihat OTT (Over The Top) karena lebih mudah untuk mengakses, di mana pun mereka berada bisa mengakses, bisa maju mundur bisa berulang kali. Jadi kemudian itu yang mereka dapatkan dan ini memang sesuai dengan keinginan dari generasi milenial itu lebih dari 50%, ya," ujar Agung dalam acara Hari Pers Nasional 2022 secara daring, Senin (7/2).
Ilustrasi menonton Youtube. Foto: Shutter Stock
Over The Top adalah layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet. Contohnya, media sosial, layanan streaming online, hingga percakapan online.
ADVERTISEMENT
Agung memastikan kondisi tersebut tak hanya terjadi di Indonesia saja. Hampir seluruh negara, menurutnya, mengalami kondisi serupa. Masyarakatnya perlahan mulai beralih dari media konvensional yang ada dalam mendapat informasi.
"Nah, ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di luar negeri juga seperti itu. Kecenderungan orang menonton OTT itu lebih banyak daripada menonton televisi. Termasuk juga radio, orang lebih suka mendengar podcast daripada mendengar radio dan ini terjadi di semua negara bukan hanya Indonesia, ya," ucap Agung.
Agung memastikan kondisi tersebut tak bisa dihindari, hanya saja pemerintah dan lembaga terkait dapat mengatur regulasi tersebut. Pertama dan paling utama kenapa dibutuhkan regulasi untuk mengatur kesetaraan.
"Kalau kita merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 itu ada tujuan dari Negara Republik Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian kalau kita melihat Undang-Undang 32, kan dari undang-undang dasar ke undang-undang itu ada turunannya, itu yang membentuk generasi beriman dan bertakwa, kan begitu. Jadi perlakuan setara itu agar bangsa ini mencapai pada tujuannya, itu yang pertama," ujarnya.
Ilustrasi Netflix. Foto: REUTERS/Dado Ruvic
Opsi lain yakni dengan membatasi jumlah konten asing di tayangan atau acara yang disiarkan media konvensional. Meski terdengar sepele, kata Agung, hal itu sebagai langkah untuk memberikan pembelajaran kepada penikmat tayangan TV bahwa apa yang disiarkan dan disajikan media konvensional memiliki kualitas sama baiknya.
ADVERTISEMENT
"Secara umum maksimum 40% konten asing ada di televisi, enggak boleh lebih. Kita pernah memberikan sanksi kepada TV yang kontennya itu konten asingnya melebihi 40% hampir mencapai 50%, kita berikan sanksi. Kemudian yang kedua 10% konten yang ditayangkan di wilayah lain siaran seperti misalnya di Sultra di sini, itu mesti ada 10% konten lokal. Bahasanya memakai bahasa lokal kalau memungkinkan," ungkap Agung.
Kondisi tersebut dinilainya cukup efektif dilakukan media konvensional di Eropa. Banyaknya pilihan konten atau acara berbau kewilayahan dapat menumbuhkan kecintaan masyarakat
"Banyak negara itu diatur, di Eropa, bahkan 30% konten harus diproduksi di Eropa, ada bahasa-bahasa Eropa di situ. Kita sekarang kalau nonton TV streaming itu bukan hanya mendengar bahasa Inggris, ada bahasa Belanda, bahasa Prancis, bahasa Italia," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi menonton TV. Foto: Tomas Urbelionis/Shutterstock
Regulasi tersebut menurutnya bisa saja diatur dan diberlakukan bagi platform global. Selain dapat memunculkan kecintaan pada produk dan kebudayaan sendiri, tayangan yang lebih berbau Indonesia diyakininya dapat menopang kebudayaan dalam negeri.
"Kenapa Indonesia tidak membuat regulasi seperti itu? Saya ingin menamakan strategi ini, ya, yang tadi digambarkan untuk menegakkan kedaulatan kita dengan nama strategi kebudayaan," kata Agung.
"Bahwa platform ini, ya, tidak kita musuhi, OTT tidak kita musuhi, namun kita atur sedemikian rupa agar kebudayaan kita bisa eksis melalui media OTT tersebut," tutupnya.