Penjelasan MUI soal Temuan Produk Tuyul, Beer hingga Wine Dapat Sertifikat Halal

1 Oktober 2024 9:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberi penjelasan soal beredarnya video yang menginformasikan soal temuan produk dengan nama tuyul, tuak, beer serta wine, yang mendapat sertifikat halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam, mengatakan pihaknya langsung melakukan investigasi dan menggelar pertemuan terkait temuan ini. Pertemuan itu digelar Kantor MUI pada Senin (30/9) sore.
Niam mengatakan setelah dilakukan pendalaman bahwa informasi tersebut valid. Produk-produk tersebut tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur Self Declare, tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.
"Penetapan Halal tersebut menyalahi Standar Fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut," kata Niam dalam keterangannya, Selasa (1/10).
Lebih lanjut, Niam menegaskan pihaknya akan segera berkoordinasi dengan BPJPH untuk mencari jalan keluar terbaik agar kasus serupa tidak terulang.
ADVERTISEMENT
Kata Niam, dalam rapat tersebut diperoleh informasi bahwa kejadian itu valid, bukti-buktinya jelas terpampang dalam website BPJPH, dan diarsipkan oleh pelapor. Namun, belakangan nama-nama produk tersebut tidak muncul lagi di aplikasi BPJPH.
Ia menyatakan, sesuai dengan ketentuan dalam sertifikasi halal, penetapan kehalalan produk harus mengacu pada standar halal yang ditetapkan oleh MUI.
“Sementara penerbitan Sertifikat Halal terhadap produk-produk tersebut, tidak melalui MUI dan menyalahi fatwa MUI tentang standar halal," ujarnya.
Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh Foto: Dok MUI
Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
"Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, produk halal tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol. Kecuali, produk tersebut termasuk dalam produk tradisi ('urf) dan sudah dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi, bakpia, bakpao.
Atas dasar itu, Pengasuh Pesantren Al-Nahdlah ini mengimbau agar semua pihak yang berperan dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare harus berhati-hati dan lebih teliti, serta memperhatikan titik-titik kritis dalam proses penetapan halal. Niam juga menegaskan akan segera berkoordinasi dengan BPJPH agar kasus-kasus serupa tidak terulang.
ADVERTISEMENT
“MUI akan koordinasi dan konsolidasi dengan BPJPH untuk mencegah kasus serupa terulang. Jangan sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal. Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita. Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai hanya mengejar target kuantitatif jadinya yang keluar adalah halal-halalan," tuturnya.
Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Miftahul Huda, menjelaskan sertifikasi halal melalui self declare mengandung kerawanan, karena itu harus hati-hati sekali.
Label Halal Indonesia. Foto: Kemenag RI
"Pihak-pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, lebih khusus melalui self declare harus berhati-hati dan ekstra teliti, serta mematuhi standar halal yang berlaku. Harus benar-benar memastikan bahwa produk tersebut merupakan produk yang sudah jelas kehalalannya dan proses produksi sederhana. Juga harus memperhatikan titik-titik kritis dalam proses halal," kata Huda.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Direktur Halal Corner Aishah Maharani, dalam kesempatan rapat tersebut menjelaskan, penetapan halal lewat self declare yang tanpa audit dari LPH, seringkali menimbulkan masalah.
“Ini bisa menghancurkan reputasi Indonesia dalam penjaminan produk halal di mata global, gara-gara cara yang tidak profesional. Perlu ada perbaikan. Kalau tidak, metode ini dihapus saja," ujar Aishah.
Lebih lanjut Aisha menyatakan, pada Metode self declare diperlukan manual SJPH bukan sekadar narasi pernyataan dari PU.
“Namun jika tidak bisa, metode self declare sebaiknya dihapus saja, karena sudah nyata mudaratnya. Ini juga tidak sejalan dengan spirit penjaminan yang didahului dengan audit. Sebagai gantinya, dibuatkan sistem sertifikasi halal gratis dengan metode reguler dengan memberdayakan P3H sebagai pendamping usaha mikro sebelum pendaftaran sertifikasi halal, audit halal tetap dilakukan oleh auditor halal, bukan P3H," kata dia.
ADVERTISEMENT
Secara lengkap, Fatwa MUI No.44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, yang ditandatangani Hasanudin Abdul Fattah dan Asrorun Niam Sholeh sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, memuat ketentuan bahwa di antara produk yang tidak dapat disertifikasi halal adalah;
a. Produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif;
b. Produk yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali:
1) yang telah mentradisi (‘urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan;
2) yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut;
3) yang mempunyai makna lain yang relevan dan secara empirik telah digunakan secara umum.
ADVERTISEMENT
c. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya;
d. Produk yang menggunakan kemasan bergambar babi dan anjing sebagai fokus utama;
e. Produk yang memiliki rasa/aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan;
f. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan/atau bergambar erotis dan porno.