Penyelidikan Atas Penyerbuan Gedung Capitol AS Tuntut Tanggung Jawab Trump

22 Juli 2022 12:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pendukung Presiden AS Donald Trump berkumpul saat aksi protes di depan Gedung Capitol AS di Washington, AS, Rabu 6 Januari 2021. Foto: Stephanie Keith/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung Presiden AS Donald Trump berkumpul saat aksi protes di depan Gedung Capitol AS di Washington, AS, Rabu 6 Januari 2021. Foto: Stephanie Keith/REUTERS
ADVERTISEMENT
Komite DPR Amerika Serikat (AS) yang menyelidiki penyerbuan terhadap Gedung Capitol pada 6 Januari 2021 mengeluarkan dakwaan-dakwaan tajam, terhadap mantan Presiden AS, Donald Trump, pada Kamis (21/7/2022).
ADVERTISEMENT
Pihaknya mengecam kelambanan dan kelalaian atas tugas kepresidenan Trump. Dia dinilai bertindak lamban dalam menghentikan maupun mengutuk kekerasan tersebut.
"[Trump] dengan ceroboh menciptakan jalan bagi pelanggaran hukum dan korupsi," tegas Ketua Komite Khusus AS Atas Penyerbuan 6 Januari, Bennie Thompson, dikutip dari AFP, Jumat (22/7/2022).
Thompson menggambarkan tindakan itu sebagai serangan terhadap demokrasi. Anggota Kongres Mississippi itu lantas mendesak pertanggungjawaban dari Trump.
Pendukung Presiden Donald Trump mencoba menerobos penghalang polisi di Capitol, Washington, saat kemenangan Joe Biden sebagai Presiden AS, pada 6 Januari 2021. Foto: Julio Cortez/AP Photo
Dengar pendapat tersebut berlangsung hingga dua setengah jam. Para anggota parlemen menyerahkan kesaksian dari para asisten pribadi Gedung Putih.
Mereka menjelaskan, Trump menyaksikan serangan itu melalui televisi. Namun, dia mengabaikan permintaan mereka untuk mendesak para pendukungnya agar berhenti.
"Dari kenyamanan di ruang makannya, dia menonton serangan meningkat di televisi," ujar salah satu anggota Partai Republik di komite itu, Adam Kinzinger.
ADVERTISEMENT
"Dia membuat cuitan yang memanaskan situasi. Selama tiga jam, dia menolak untuk membatalkan serangan itu," sambung dia.
Kinzinger menekankan, perilaku tersebut merupakan pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan kewajiban presiden terhadap negara.
Presiden AS Donald Trump berbicara dalam rapat umum untuk memperebutkan sertifikasi hasil pemilihan presiden AS 2020 oleh Kongres AS, di Washington, AS, Rabu (6/1/2021). Foto: JIM BOURG/REUTERS
Peristiwa itu bermula ketika Trump menolak hasil pilpres pada November 2020. Presiden AS, Joe Biden, memenangkan pertarungan tersebut. Namun, Trump berupaya membatalkan hasil pemilu.
Pada 6 Januari 2021, ribuan pendukungnya kemudian menyerbu Gedung Capitol. Mereka mengganggu sesi bersama Kongres yang akan mengesahkan kemenangan Biden.
Aksi tersebut menewaskan lima orang dan melukai ratusan lainnya. Selama dengar pendapat, anggota parlemen mengungkap laporan tindakan-tindakan Trump.
Trump dikabarkan memberikan pidato berapi-api kepada pendukungnya di dekat Gedung Putih. Dia mengeklaim adanya kecurangan dalam pemilu tersebut.
ADVERTISEMENT
Trump enggan menginstruksikan pasukan keamanan untuk mengendalikan massa. Dia kemudian meminta para pengunjuk rasa untuk pulang ke rumah. Tetapi, Trump juga memuji mereka sebagai patriot di saat yang bersamaan.
"Saya tidak ingin mengatakan pemilihan sudah selesai," ungkapnya dalam bukti rekaman yang ditampilkan dalam dengar pendapat.
Pendukung Presiden AS Donald Trump berkumpul saat aksi protes di depan Gedung Capitol AS di Washington, AS, Rabu 6 Januari 2021. Foto: Stephanie Keith/REUTERS
Mantan Wakil Juru Bicara Gedung Putih, Sarah Matthews, dan mantan Wakil Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Matthew Pottinger, turut memberikan kesaksian mereka.
Kedua mantan pejabat itu mengundurkan diri pada 6 Januari. Pottinger menggambarkan hari itu sebagai salah satu hari tergelap dalam sejarah bangsanya.
"Presiden Trump memperlakukannya bak acara perayaan," terang Pottinger.
"Penolakannya untuk bertindak dan menghentikan massa hari itu dan penolakannya untuk mengutuk kekerasan tidak dapat dipertahankan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Trump sempat membuat cuitan yang menyerang mantan Wapres AS, Mike Pence. Pasalnya, Pence menolak permintaan untuk memblokir pengesahan kemenangan Biden. Menurut Pottinger, unggahan itu merupakan bahan bakar yang mengobarkan kekerasan.
Pendukung Presiden AS Donald Trump berkumpul saa aksi protes di depan Gedung Capitol AS di Washington, AS, Rabu 6 Januari 2021. Foto: Shannon Stapleton/REUTERS
Dengar pendapat teranyar itu merupakan yang kedelapan dan terakhir. Anggota komite mengatakan, pihaknya akan melanjutkan proses tersebut pada September.
Dengar pendapat sebelumnya berpusat pada upaya Trump untuk mempengaruhi pejabat pemilihan di negara bagian dan menekan Pence.
Komite itu juga menyelidiki dampak cuitan Trump pada Desember 2020. Unggahan tersebut mendesak para pendukungnya untuk turun ke Washington pada 6 Januari 2021.
Para anggota parlemen mengatakan, kelompok militan pendukung Trump menganggap cuitan itu sebagai seruan untuk mengangkat senjata.
Pendukung Presiden AS Donald Trump berkumpul di depan Gedung Capitol AS di Washington, AS, Rabu 6 Januari 2021. Foto: Leah Millis/REUTERS
Thompson mengatakan, Trump melakukan segala cara untuk membatalkan pemilu. Alhasil, dia mengkhianati sumpahnya. Wakil Ketua Partai Republik, Liz Cheney, memberikan pernyataan serupa.
ADVERTISEMENT
Trump sedang mempertimbangkan pencalonan dirinya dalam pemilihan pada 2024. Cheney mengatakan, masyarakat harus mengingat penyerbuan itu sebelum memberikan suara dalam pemilu mendatang.
"Setiap orang Amerika harus mempertimbangkan ini: 'Dapatkah seorang presiden yang bersedia membuat pilihan yang dibuat Donald Trump selama kekerasan pada 6 Januari dipercaya menempati posisi kekuasaan apa pun di negara kita lagi?'" tanya Cheney.
Trump dimakzulkan untuk kedua kalinya oleh DPR AS setelah kerusuhan Gedung Capitol. Tetapi, Senat AS kemudian membebaskan pria berusia 76 tahun itu. Hanya ada segelintir anggota Partai Republik yang memilih untuk menghukum Trump.
Komite DPR tersebut akan menyerahkan laporan mereka kepada Kongres AS. Pihaknya dapat mengeluarkan rujukan kriminal pula ke Kementerian Kehakiman AS.
Jaksa Agung AS, Merrick Garland, dapat memutuskan apakah Trump harus dituntut atas upaya untuk membatalkan hasil pemilu pada 2020.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada seorang pun yang kebal hukum di negara ini," tegas Garland pada Rabu (20/7/2022).