Peraih Nobel Maria Ressa Ungkapkan Beratnya Jadi Jurnalis Perempuan

14 Oktober 2021 17:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jurnalis Maria Ressa. Foto: Eloisa Lopez/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Jurnalis Maria Ressa. Foto: Eloisa Lopez/REUTERS
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang pemenang penghargaan Nobel, bagi jurnalis Filipina Maria Ressa, adalah kehormatan tersendiri. Prestasi itu menjadi lebih berarti, mengingat Ressa adalah wanita pertama yang dianugerahi Nobel di tahun ini.
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi interaktif bersama media-media Indonesia, Ressa mengungkapkan sulitnya menjadi seorang wanita, terlebih di dalam lingkungan kerja dan masyarakat.
“Ini sudah menjadi suatu kebudayaan, dan ini tersebar di seluruh dunia: wanita selalu harus berjuang lebih keras untuk bisa melakukan pekerjaan mereka,” ungkap Ressa pada Kamis (14/10) dalam IDN Media A Conversation with 2021 Nobel Peace Prize Laureate Maria Ressa, Founder and CEO Rappler.
“Anda tahu, ketika saya masih menjadi wartawan, saya selalu mendapat pertanyaan: Apakah rasanya lebih sulit, meliput di area konflik? Saya bilang, tidak. Ini harus dilawan,” lanjutnya.
Ressa mengungkapkan, dari hampir 1.000 anugerah Nobel yang diberikan sejak 1901 hingga 2021, hanya 58 wanita yang pernah memenangkannya.
Pemimpin Redaksi Rappler di Filipina, Maria Ressa. Foto: Eloisa Lopez/REUTERS
Dikutip dari New York Times, Ressa merupakan wanita ke-18 yang pernah memenangi penghargaan Nobel Perdamaian selama 126 tahun. Wanita pertama yang pernah menyabet penghargaan ini adalah Bertha von Suttner, seorang penulis Austria, pada 1905.
ADVERTISEMENT
“Bagian yang harus Anda sadari adalah, kesuksesan Anda akan membantu wanita-wanita lainnya. Editor wanita akan membantu wanita-wanita lain,” ungkapnya.
Ia juga memaparkan soal ganasnya media sosial Filipina bagi wanita. Yang kerap kali menjadi korban di media sosial, di samping wanita, juga kaum minoritas dan mereka yang termarginalisasi.
“Di Filipina, kami memiliki data ekosistem [media sosial] Filipina, wanita diserang setidaknya 10 kali lipat lebih sering dibandingkan pria. Wanita, kita, masih harus berjuang untuk bisa memperoleh tempat kita,” kata Ressa.
Bagi dia, isu ini akan sulit ditangani jika hanya lewat kritik keras. Oleh karenanya, Ressa mengajak seluruh wanita di dunia untuk bangkit dan mulai bergerak.
Jurnalis Maria Ressa. Foto: Caitlin Ochs/REUTERS
“Saya pikir, apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah mengajak wanita-wanita dunia untuk bangkit. Anak Anda, teman Anda, [ajaklah] untuk bercita-cita. Mereka mampu melakukan apa pun yang telah mereka tuju.
ADVERTISEMENT
“Dan kita dapat membantu menciptakan lingkungan yang mengizinkan mereka untuk mencapai itu semua,” tegas Ressa.
Ressa, bersama satu jurnalis asal Rusia Dmitry Muratov, memenangi Nobel Perdamaian 2021. Ini menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi dunia jurnalistik, mengingat terakhir kali seorang jurnalis menyabet Nobel adalah pada 1935 silam.
Kemenangan Ressa dan Muratov didasari oleh jasa mereka dalam menjaga kebebasan berpendapat di negara masing-masing.
Maria Ressa adalah pendiri dan CEO dari Rappler, media Filipina yang terkenal sebagai kritikus tajam rezim Presiden Rodrigo Duterte.
Indonesia pernah menjadi rumah serta lapangan Ressa pada era 1990-an. Ia pernah menjadi Kepala Biro CNN International di Manila dan Jakarta. Selama bertugas di Jakarta, Ressa mengkhususkan diri pada pemberitaan terorisme.
ADVERTISEMENT
Dia mereportase dan menginvestigasi jaringan terorisme Al-Qaeda dan milisi radikal di Asia Tenggara.