Perintah Eksekutif: Senjata Andalan Trump Penuhi Janji Kampanye

30 Januari 2017 3:30 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Trump tanda tangani perintah soal imigrasi (Foto: Carlos Barria/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Trump tanda tangani perintah soal imigrasi (Foto: Carlos Barria/REUTERS)
Sampai hari ini (30/1), presiden ke-45 Amerika Serikat, Donald Trump, telah mengeluarkan beberapa perintah eksekutif, atau yang secara resmi disebut executive order. Perintah-perintah itu memiliki berbagai tujuan, dari mengakhiri program jaminan kesehatan ObamaCare, perintah pembangunan tembok di batas selatan Amerika Serikat, sampai pelarangan masuknya imigran dari negara-negara muslim atas dasar alasan terorisme.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, apa itu executive order? Apa bedanya dengan executive action lainnya? Sejauh mana kewenangan yang diberikan executive order kepada presiden Amerika Serikat?
Donald Trump menunjukkan isi executive order. (Foto: Jonathan Ernst/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump menunjukkan isi executive order. (Foto: Jonathan Ernst/Reuters)
Executive order hanyalah salah satu dari beberapa kewenangan eksekutif yang dimiliki seorang presiden Amerika Serikat. Setidaknya, ada tiga macam kewenangan eksekutif, yaitu: executive order, presidential memoranda, dan proclamation.
Yang kerap disebut media soal executive order oleh Trump bukan benar-benar hanya executive order semata, melainkan ada juga presidential memoranda.
Executive order yang telah dikeluarkan oleh Trump, misalnya: perintah pembangunan tembok di perbatasan selatan Amerika Serikat. Sedangkan, presidential memoranda yang telah diterbitkan Trump, seperti: penarikan diri Amerika Serikat dari Trans-Pacific Partnership.
Penyebutan keduanya sering disederhanakan sebagai executive action, sebuah kebijakan ekesekutif presiden.
Trump menolak imigran dari 7 negara muslim (Foto: Laura Buckman/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Trump menolak imigran dari 7 negara muslim (Foto: Laura Buckman/REUTERS)
Executive order hampir sama dengan presidential memoranda. Keduanya memiliki kekuatan hukum, dikeluarkan presiden sebagai kepala dari cabang eksekutif pemerintahan kepada agensi administrasi federal. Meski memiliki kekuatan hukum yang sama dengan produk hukum legislasi, keduanya tidak memerlukan persetujuan Kongres untuk diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, executive order dan presidential memoranda kerap jadi pilihan presiden untuk menghemat waktu atau ketika tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari kongres lewat langkah legislasi yang biasa.
Meskipun demikian, tetap ada perbedaan antara executive order dan presidential memoranda.
Trump tanda tangani perintah soal imigrasi (Foto: Carlos Barria/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Trump tanda tangani perintah soal imigrasi (Foto: Carlos Barria/REUTERS)
Setiap executive order yang ditandatangani oleh presiden didaftarkan pada Federal Register, catatan resmi setiap kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Presidential memoranda tidak memerlukan langkah ini.
Executive order harus mengidentifikasi diri bahwa kebijakan tersebut memiliki induk kebijakan dari mana, apakah dari konstitusi ataukah dari sebuah produk hukum. Executive order juga harus menyatakan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Presidential memoranda tidak harus melakukan hal tersebut, kecuali biaya yang dikeluarkan melebihi 100 juta dolar.
ADVERTISEMENT
Selain dua kebijakan tadi, masih ada proclamation. Tapi kewenangan ini biasanya hanya bersifat simbolik dan kerap tidak memiliki kekuatan hukum. Contohnya seperti “Minggu Taman Nasional”, “Bulan Bangga LGBT”, dan “Hari Para Veteran.” Ketiganya lebih bersifat imbauan ketimbang satu perintah yang mengikat.
Seperti “Gerakan Makan dengan Tangan Kanan”, apabila dibandingkan dengan Pemkot Depok.
Protes terhadap Executive Order Trump di Chicago (Foto: Kamil Krzaczynski/ REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Protes terhadap Executive Order Trump di Chicago (Foto: Kamil Krzaczynski/ REUTERS)
Walaupun memiliki kekuatan hukum yang mengikat, executive order dan presidential memoranda dapat dibatalkan kedudukannya. Setidaknya, ada dua cara membatalkan hal tersebut.
Yang pertama adalah oleh presiden Amerika Serikat selanjutnya. Hal tersebut memungkinkan karena apabila sebuah pemerintahan tidak menyukai executive order yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, ia dapat menghapus executive order tersebut.
Selain itu, executive order juga merupakan subjek dari judicial review, di mana Mahkamah Agung mampu menghapuskannya apabila dinyatakan inkonstitusional.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, selain dua mekanisme tersebut, kongres Amerika Serikat mampu menahan eksekusi executive order tersebut, dengan cara mengeluarkan kebijakan yang mempersulit pendanaan perintah presiden tersebut. Kongres juga mampu mengamandemen hukum yang menjadi dasar executive order tersebut, membuat executive order presiden tidak relevan.
Namun demikian, dengan lebih banyaknya Republikan pengusung Trump dibanding Demokrat yang menjadi oposisi, sulit rasanya melihat executive order tersebut dibatalkan keabsahannya.
Protes terhadap Executive Order Trump di Dallas (Foto: Laura Buckman/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Protes terhadap Executive Order Trump di Dallas (Foto: Laura Buckman/REUTERS)