Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Perjalanan Batik Kudus, Kecantikannya Mempesona Berbagai Kalangan
30 September 2017 18:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Membicarakan batik Indonesia, belum lengkap kalau belum menyebutkan Batik Kudus. Batik Kudus yang terkenal dengan isen-isen rumit dalam proses pembuatannya ini merupakan bagian dari batik pesisir. Ternyata, batik ini punya sejarah yang menarik lho!
ADVERTISEMENT
Batik Kudus berkembang sejalan dengan perkembangan dengan kerajaan di Jawa. Diperkirakan Batik Kudus mulai berkembang pada abad 16 yang merupakan abad permulaan masuknya budaya Islam di tanah Jawa.
Sebagai pusat kota yang berada di sekitar Kerajaan Demak, yang pada waktu itu pemerintahan Kota Kudus berada dibagian barat disekitar komplek Masjid Menara. Ini ditandai dengan munculnya Batik dengan ciri khusus tata warna atau yang disebut Babaran, Langgar Dalem dan Kerjasan. Dua desa ini yang dahulu merupakan daerah pembatikan yang paling tertua dengan warna Soga Kudusan (warna coklat khusus), warna biru dan hitam. Dua daerah ini berada di area Menara Kudus.
Sejalan dengan perkembangan batik di Kudus, munculah kampung-kampung pembatikan dengan ciri khusus, diantaranya adalah Kampung Janggalan dengan corak yang masih mengikuti gaya lama tetapi sudah muncul Batik Cap, sedangkan Kampung Kedung Paso mempunyai ciri khusus yang disebut Babaran Kedung Paso dengan ciri warna keunguan, hijau, biru dan coklat untuk warna ini sering disebut busono kelir. Apabila tiga warna, disebut Tri Busono. Rupanya didaerah Kedung Paso ini adalah daerah yang paling lama berkembang sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Asal muasal pewarnaan Batik Kudus dahulu menggunakan pewarnaan alam diantaranya adalah, Tom atau Indigo Vera digunakan untuk mewarnai warna biru, Kayu Tingi untuk mewarnai kuning sedangkan Soga untuk warna coklat. Sejalan perkembangan Batik Kudus, di awal 19 datanglah istri Residen Pati yang bernama nyonya Van Zuichlend. Beliau memperkenalkan warna-warna kimia. Warna yang paling terkenal adalah Babaran Chungkina, tiga tata warna, coklat hijau dan biru dan dikenal dengan nama Batik Dema'an. Pada perkembangan selanjutnya muncu tiga warna, yakni Kuning Coklat dan Orange. Apabila tiga warna tersebut, coklat hijau dan biru ditambah merah maka disebut Laseman.
Seorang peneliti batik dari Amerika Serikat, Inger McCabe Elliot, dalam bukunya Batik Fabled Cloth of Java, menyebut bahwa batik di Jawa telah ada sejak abad ke 16. Ia menyebut Sir Thomas Raffles sebagai sosok yang luar biasa, karena kedatangannya ke Jawa telah memicu lahirnya industri batik di pulau Jawa. Menurut catatan KRHT Hardjonagoro (Go Tik Swan) ahli batik dari Surakarta, batik mulai menemukan bentuk formalnya pada zaman Sultan Agung yaitu pada awal abad 17.
ADVERTISEMENT
Corak dan motif batik Kudus sangat beragam karena pada masa itu pengrajin batik Kudus ada yang dari etnis keturunan Cina maupun pengrajin penduduk asli. Seorang pengrajin pada masa itu harus mengikuti pakem-pakem warisan leluhur untuk membuat satu buah kain batik, dipercaya dengan mengikuti tahapan-tahapan itu akan tercipta sebuah karya seni tinggi kain batik.
Berdasarkan riset, Batik Kudus mempunyai makna positif diantaranya Gabah Mawur yang melambangkan kesejahteraan suatu bangsa, Moto Iwak adalah simbol yang mempunyai makna kejelian dalam melihat atau berpikir, Mretu Sewu artinya persatuan bangsa, Kembang Randu kemurahan sandang, dan motif Merak Katleya artinya pengaruh dari budaya cina yang melambangkan keanggunan. Makna batik aliran klasik Kudus tak hanya sekedar nilai sejarah. Tetapi lebih kepada filosofi hidup yang mengajarkan manusia tentang nilai-nilai kebaikan untuk dapat dilakukan sehari-hari baik dimulai dari diri sendiri maupun untuk orang lain.
ADVERTISEMENT
Sangat disayangkan bahwa pada tahun 1980an produksi batik Kudus mengalami penurunan. Industri batik rakyat semakin tersingkir oleh membanjirnya batik cap dan printing yang harganya jauh lebih murah dari batik kudus. Jumlah pembuat batik Kudus juga semakin sedikit karena generasi yang lebih muda lebih tertarik untuk bekerja sebagai buruh industri dan pabrik karena pekerjaannya tidak berat dan upah yang lebih tinggi. Batik Kudus hampir tidak dikenal lagi, ditinggalkan oleh komunitas pembuatnya dan pemakainya. Yang tertinggal hanya pembatik – pembatik senior berusia lebih dari 60 tahun, itupun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Memasuki tahun 2011 pengrajin dan produksi Batik Kudus mulai menggeliat lagi. Dari hasil pembinaan pengrajin batik kudus yang dilakukan oleh Bakti Budaya Djarum Foundation, Batik Kudus pun memasuki era baru dengan melakukan pengembangan motif, akan tetapi tetap menjaga pakem kekhasan dari Batik Kudus.
Bakti Budaya Djarum Foundation giat membangun kelompok pembatik muda di Kudus, menggagas pembinaan serta mengadakan pelatihan secara rutin demi mengangkat dan menghidupkan kembli industri dan motif Batik khas Kudus.
ADVERTISEMENT
Usaha ini terbukti berhasil. Batik Kudus bahkan sempat tampil di Inggris dan New York dalam karya Balijava dari desainer papan atas Denny Wirawan. Diharapkan Batik Kudus dapat diterima oleh para pencinta Batik tanah air dan memberikan dampak pada masyarakat Kudus.