Perjalanan Ekstradisi Indonesia-Singapura Masih Panjang

28 Januari 2022 11:43 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Riyanto, saat dijumpai wartawan (3/8). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Riyanto, saat dijumpai wartawan (3/8). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Pertemuan Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong dalam Leaders’ Retreat di Bintan, Selasa (25/1), menghasilkan sejumlah kesepakatan.
ADVERTISEMENT
Mulai dari Flight Information Region (FIR), membahas berbagai kerja sama bilateral yang sudah berlangsung hingga situasi di kawasan Asia Tenggara, tepatnya Myanmar serta perjanjian soal ekstradisi.
Bicara soal perjanjian ekstradisi, proses yang dilakukan Indonesia dan Singapura tak singkat. Perjanjian ini sudah diupayakan sejak 1998.
Dalam setiap kesempatan pertemuan bilateral Pemerintah Singapura, pemerintah Indonesia terus menyuarakan pentingnya perjanjian ekstradisi bagi dua negara.
Pada 2007, Indonesia dan Singapura sempat menyepakati perjanjian ekstradisi. Namun tak jalan karena tidak diratifikasi oleh parlemen kedua negara, terkait persyaratan ekstradisi.
Namun kini, kesepakatan ekstradisi terjalin antar tingkat kepala pemerintahan di Bintan 25 Januari lalu. Bahkan pemerintah sudah menarget manfaat dari ekstradisi ini, salah satunya memburu pelaku pengemplang BLBI.
ADVERTISEMENT
"Indonesia akan mampu menuntaskan pelaku kejahatan di masa lampau dan siap untuk mengimplementasikan Keputusan Presiden terkait Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI," kata Menteri Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan, di akun media sosialnya, kemarin, Rabu (26/1).
Namun, jalan perjanjian ekstradisi ini agar bisa diterapkan dinilai oleh Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof Sigit Riyanto, masih sangat panjang.
kumparan berkesempatan berbincang sejumlah hal dengan Prof Sigit terkait dengan ekstradisi Indonesia-Singapura ini. Kami berbincang soal langkah apa saja yang masih harus dilakukan setelah perjanjian disepakati antara Jokowi-Lee Hsien Loong. Berikut wawancaranya:
Pengunjuk rasa Indonesia menampilkan spanduk yang menunjukkan Sjamsul Nursalim (kiri) dan Anthony Salim (kanan) pada 22 Juli 2008. Foto: Adek Berry/AFP
Indonesia-Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi yang sudah diupayakan sejak 1998, Anda melihat ini seperti apa? Apakah mungkin menjerat pelaku pidana, seperti pengemplang BLBI?
ADVERTISEMENT
Kalau kita bicara soal perjanjian ekstradisi itu, karena itu kan kerangka kerja sama hukum yang dibungkus dalam instrumen hukum yang namanya perjanjian internasional. Kita masih harus mencermati lagi, apakah perjanjian ekstradisi ini dalam bentuk traktat (perjanjian internasional), dalam bentuk treaty, yang mensyaratkan ratifikasi atau tidak.
Kalau mensyaratkan ratifikasi, artinya kan harus diratifikasi oleh DPR atau parlemen negara masing-masing. Ini kan perjanjian ini kan baru dilakukan wakil negara, sementara kesepakatan itu dalam prosedur perjanjian internasional masih harus dilihat di situ di dalam substansi perjanjian itu. Apakah mensyaratkan ratifikasi atau tidak.
Kalau mensyaratkan ratifikasi, ini pertanyaannya ada dua. Apakah parlemen Indonesia mau meratifikasi, satu. Yang kedua adalah apakah parlemen Singapura juga mau meratifikasi. Kalau asumsi baiknya, katakanlah kedua parlemen ini masing-masing negara bersedia melakukan ratifikasi, berarti perjanjian itu bisa entry to cost. Tapi kalau tidak, tidak akan berlaku perjanjian itu, gitu.
ADVERTISEMENT
Tidak berlaku sama seperti 2007?
Iya, makanya ini kan harus dicermati satu per satu ya. itu dari segi perjanjiannya dulu. Dari segi substansinya.
Kalau kita bicara instrumen hukum internasional kan akan bicara tentang 3 hal. Satu, soal kerangka hukumnya. Kedua, soal objeknya. ketiga, soal subjeknya. Nah, seperti yang Anda bilang, subjeknya kan pelanggaran hukum pidana, yang bisa dilakukan proses ekstradisi.
Ada syarat-syaratnya dalam hukum internasional, kriminalitas dan lain-lain, dan mereka tidak mendapatkan suaka dan macam-macam. Jadi penjelasannya agak panjang.
Kedua, soal objeknya. Objeknya kan orangnya. Orangnya itu kan namanya manusia, para pelaku, atau para tersangka, yang menjadi target ekstradisi itu, terjadi perubahan status hukum atau tidak.
Anda misalnya tersangka terpidana yang dimintakan ekstradisi, tapi ternyata ada perubahan status, Anda tidak jadi warga Indonesia lagi, tapi menjadi warga negara lain. Whatever negara itu, maka itu tidak akan bisa dilakukan ekstradisi.
ADVERTISEMENT
Artinya apa? dalam hal ini harus ditelisik lagi, pelaku-pelaku atau objek yang menjadi sasaran target ekstradisi itu, harus status hukum, khususnya status kewarganegaraannya seperti apa. Karena misalnya di negara-negara tertentu seperti Negara Amerika atau di Eropa dan Australia itu proses untuk mendapatkan kewarganegaraan itu tidak sesusah atau serumit di Indoensia.
Kalau dia menjadi warga negara di luar Indonesia berarti dia sudah kehilangan status sebagai warga negara Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, maka enggak akan bisa dilakukan ekstradisi. Karena ekstradisi menyangkut warga negara sendiri dari negara yang meminta ekstradisi.
Lalu kita bicara kerangka hukumnya. Kerangka hukumnya dalam artian seperti ini. Ekstradisi ini jangkauannya seberapa jauh, substansi yang diatur seperti itu. Kalau misalnya jangkauannya hanya mengatur mundur retroaktif 18 tahun misalnya, maka yang di luar 18 tahun itu berarti tidak terjangkau oleh aturan hukum itu.
ADVERTISEMENT
(Menurut Menko Marves, perjanjian ekstradisi yang dijalin adalah progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan bentuk dan modus tindak kejahatan di masa sekarang dan masa depan. Selain itu pemberlakukan masa berlaku surut atau retroaktif hingga 18 tahun terhadap tindak kejahatan yang berlangsung sebelum berlakunya perjanjian ini juga telah disepakati bersama, red)
Jerat Pengemplang BLBI?
Kedua, kalau pertanyaan tadi Anda mungkin atau tidak pak (menjerat pengemplang BLBI) mungkin. Mungkinnya apa? kalau 2 negara melakukan ratifikasi, yang berikutnya adalah pada saat pelaksanaan ekstradisi itu kedua negara bisa dilakukan dengan perjanjian et hoc atau mutual legal assistance (MLA). Kalau kedua belah pihak sepakat, ya enggak apa-apa. Jadi ekstradisi itu tidak harus ada perjanjiannya dulu. Bisa dengan MLA, saling membantu.
ADVERTISEMENT
Jadi meskipun dibatasi retroaktif 18 tahun, tapi jika melalui MLA tetap bisa, prof?
Iya, tapi tentu Indonesia harus bisa menjelaskan, buktinya apa, itu menurut hukum Indonesia masih bisa dijangkau atau tidak dengan ketentuan hukum pidana, artinya bisa menjadi tersangka dan kemudian tersangka itu masih punya kemungkinan dibawa ke pengadilan kemudian ancaman hukumannya serius bagi Indonesia dan di negara yang diminta itu, entah Singapura atau entah di mana, sudah katakan bahwa itu kejahatan yang sangat serius bisa saja dilakukan MLA.
Berarti ada celah untuk mengusut pengempang jika masih sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia (masa penuntutan dan lainnya)?
Iya itu, kalau memang dia sepakat dan bisa melaksanakan MLA. Sebenarnya dari dulu masalah ekstradisi itu meski tak ada perjanjian ekstradisi itu bisa dilakukan. Bisa. Yang menjadi persoalan selama ini sebenarnya dari pihak Indonesia itu tidak mampu menghadirkan bukti-bukti yang cukup dan meyakinkan bagi negara yang diminta melakukan ekstradisi itu, satu. Yang kedua, benar enggak, pernah ada permintaan melakukan ekstradisi secara resmi dari pemerintah Indonesia?
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya benar enggak ada permintaan ekstradisi dari negara Indonesia atau pemerintahan Indonesia? kalau belum kan kita hanya berwacana saja gitu kan. Kalau memang bener-benar ada permintaan ekstradisi, lakukan permintaan secara resmi, berikan surat permintaan resmi dari negara Indonesia ke Singapura, bahwa tersangka X,Y,Z diminta diekstradisi, terkait dengan bukti-bukti yang diminta yang mencukupi.
Selama ini pertanyaannya apakah sudah ada langkah seperti itu? atau pernah ada langkah seperti itu? setahu saya belum pernah ada.
Terkait perjanjian ekstradisi di Bintan 25 Januari lalu, meski belum diratifikasi, apakah itu menguntungkan atau tidak buat Indonesia?
Ini kan baru di atas kertas kesepakatan, belum ada formalisasi lebih jauh apakah perlu ratifikasi atau tidak, kalau perlu ratifikasi kan artinya harus diratifikasi, itu kan harus dilihat lagi.
ADVERTISEMENT
Lalu yang kedua, langkah operasionalisasi dari perjanjian itu seperti apa, kan kedua belah pihak harus melaksanakan tindakan lebih lanjut. Seperti yang saya katakan apakah benar negara Indonesia mengajukan permohonan ekstradisi untuk tersangka tertentu kepada Singapura? Itu kan ada perjanjian ini. Kalau Indonesia tidak melakukan langkah apa pun untuk ekstradisi kan tidak akan pernah terjadi.
Kita sudah pernah pengalaman 2007, waktu itu ada penandatanganan ekstradisi, akan tetapi tidak jalan. Saat itu DPR tak meratifikasi perjanjian, apakah kita patut belajar dari situ?
Iya itu kan ada syarat-syarat yang tidak disetujui oleh kedua belah pihak kan, Singapura meminta konsesi defense operation di salah satu wilayah Indonesia dan sebaliknya gitu kan yang itu merupakan isu yang sangat sensitif karena berkaitan dengan kedaulatan teritorial kan.
ADVERTISEMENT
Daya tawar yang sekarang prof lihat bagaimana, jika dilihat ada beberapa kesepakatan yang disertakan dengan ekstradisi ini, seperti FIR. Ada yang menilai Indonesia tak banyak untung juga dengan adanya kesepakatan itu?
Ya kalau dibilang untung atau tidak nanti harus dilihat operasionalisasinya. Seperti yang saya katakan tadi, ini kan masih kesepakatan awal yang menunjukkan bahwa kedua belah pihak menunjukkan itikad baik, paling tidak menunjukkan itikad baik. Tapi nanti akan dibuktikan dengan perjanjian yang lebih formal tindakan hukum yang lebih lanjut bahkan dengan politik hukum, penegakan politik hukum yang konsisten terhadap kesepakatan awal ini apakah tidak.
Karena kan, ini sekali lagi saya katakan, ini kan kesepakatan tentang adanya ketentuan normatif. Tapi tindakan operasionalisasinya masih perlu dilihat lagi.
ADVERTISEMENT
Saat ini perjanjian ekstradisi nampak terlalu diglorifikasi, padahal baru tahap awal?
Iya, biasa saja ketika ada kesepakatan-kesepakatan ini banyak sekali upaya-upaya untuk mempromosikan, mengglorifikasi. Harus dilihat substantif dan oeprasionalisasinya, apakah menunjukkan hal-hal yang esensial seperti yang saya katakan atau tidak.
Persiapannya apa saja yang harus dilakukan oleh Indonesia jika nantinya terealisasi?
Saya kira Indonesia harus melakukan tindakan operatif, operasional. Apa? Indonesia harus mengidentifikasi siapa yang menjadi subjek atau tersangka yang akan dimintakan permintaan ekstradisi itu. Yang itu kemudian disampaikan ke Singapura disertai dengan persyaratan-persyaratan dan bukti-bukti yang mencukupi seperti diminta dalam perjanjian ekstradisi itu atau pun sesuai dengan prosedur hukum yang ada di Singapura.
Itu harus disiapkan dari sekarang prof?
ADVERTISEMENT
Bukan dari sekarang, harusnya dari dulu kalau serius.
Apa lagi prof yang harus disiapkan?
Saya kira kita lihat dulu, ini kan belum ada tindakan apa pun toh. Baru wacana kita sudah sepakat, kesepakatannya baru di tingkat kepala negara (pemerintahan, red). Tapi apakah publik, apakah Anda semua, melihat dokumen itu ditandatangani presiden dan DPR? itu belum kan.