Perjalanan Kontroversial UU Cipta Kerja hingga Diputus MK Cacat Formil

26 November 2021 13:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh melakukan aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI, Jakarta.  Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Buruh melakukan aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI, Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja cacat formil. Dalam putusannya, MK menyinggung UU ini tidak sesuai dengan ketentuan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
MK menemukan adanya sejumlah kesalahan teknis penulisan hingga kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal.
Tak hanya itu, MK juga menyatakan terungkap fakta bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi yang maksimal kepada masyarakat. Meski sudah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat.
Atas sejumlah pertimbangan, MK memerintahkan agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam waktu 2 tahun.
Jika kilas balik pada saat pembuatan hingga pengesahan UU Cipta Kerja ini sudah menuai banyak kontroversi. Mulai dari pembahasannya yang berlangsung kilat, pengesahannya yang menimbulkan aksi demonstrasi, hingga akhirnya dinyatakan cacat formil.

Pembahasan RUU Cipta Kerja

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan surat presiden (surpres) dan draf RUU Cipta Kerja (Cika) kepada pimpinan DPR RI Puan Maharani. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Pengesahan UU 'sapu jagad' Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) dilakukan 5 Oktober 2020. Bisa dibilang, pembahasan RUU Cipta kerja oleh pemerintah dan DPR ini kilat dibandingkan RUU lainnya.
ADVERTISEMENT
Berawal dari dikirimkannya draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah rampung awal tahun 2020 dan langsung dikirimkan ke DPR. Perjalanannya pun terbilang mulus, dan langsung ditindaklanjuti dengan masuk pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Lalu pada Februari 2021. pemerintah melakukan roadshow Omnibus Law RUU Cipta Kerja ke berbagai daerah untuk menyerap berbagai aspirasi.
Selama pembahasannya, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah sampai melakukan 64 kali rapat, termasuk pada akhir pekan hingga larut malam.
“Baleg bersama pemerintah dan dewan legislatif telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali, 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat panja dan 6 kali rapat Timus Timsin. Yang dilakukan mulai hari Senin sampai Minggu, dari pagi sampai malam bahkan reses pun tetap melakukan rapat baik di dalam gedung maupun di luar,” ungkap Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas.
ADVERTISEMENT
Saat itu, RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang disusun dengan menggunakan metode Omnibus Law yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal. Sehingga pengesahan RUU ini berdampak terhadap 1.203 pasal dari 79 undang-undang terkait, dan terbagi dalam 7.197 daftar inventarisasi masalah.
Hingga akhirnya dibawa ke rapat paripurna, pembahasan RUU Cipta Kerja berjalan mulus dan tanpa banyak perdebatan.

Ditolak 2 Fraksi

Suasana Rapat Paripurna Ke-8 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/1). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Saat pengesahannya dalam sidang paripurna, 5 Oktober 2020, hanya PKS dan Partai Demokrat yang menolak UU Cipta Kerja disahkan.
Tujuh fraksi yang menyetujui adalah Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi PPP, dan Fraksi PAN. Namun, PAN menyetujui namun dengan catatan sementara sisanya menyetujui penuh.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Anggota Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman terus menyuarakan penolakan mereka dan akhirnya walk out dari paripurna.
“Kalau begitu Demokrat menyatakan walk out," ucap Benny.

Penolakan Masif RUU Cipta Kerja

Massa aksi saat unjuk rasa menolak Omnibus Law, di kawasan Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (22/10). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Pengesahannya di tengah-tengah pandemi COVID-19 mengejutkan banyak orang hingga memicu terjadinya demonstrasi penolakan di berbagai kota. Aksi unjuk rasa ini dilakukan oleh sebagian serikat buruh dan konfederasi serikat pekerja hingga kelompok mahasiswa.
UU itu dianggap hanya menguntungkan asing, dan tak berpihak pada nasib para buruh. Jokowi pun dianggap tak mendengarkan aspirasi masyarakat luas.
Namun, pemerintah berdalih UU Ciptaker akan sangat bermanfaat bagi iklim investasi di Indonesia. Untuk nasib para buruh, pemerintah mengeklaim justru dengan hadirnya UU itu, nasib para buruh akan lebih mendapat kepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, banyak poin yang meresahkan rakyat, seperti penghapusan upah minimum, jam lembur yang lebih lama, rentan PHK dan kontrak kerja seumur hidup, waktu istirahat mingguan yang dipotong, hingga mudahnya perekrutan tenaga kerja asing (TKA).

Berbagai Kejanggalan: Halaman Berubah-ubah hingga Typo

Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (28/10). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Tak sampai di situ, setelah disahkan pun masih ada kontroversial, seperti misalnya jumlah halaman naskah UU Ciptaker yang berubah-ubah.
Pada naskah awal yang beredar hanya berjumlah 905 halaman. Namun, pada naskah yang beredar 9 Oktober menunjukkan halamannya berjumlah 1.052, kemudian menjadi setebal 1.035 halaman dan 812 halaman pada naskah yang beredar 12 Oktober 2020. Dan 812 halaman itulah yang merupakan draf final.
Sekjen DPR Indra Iskandar menjelaskan, perubahan halaman terjadi karena ukuran kertas yang berubah pula. Selain itu, menurut Indra, memang ada penyempurnaan redaksi dan typo yang dilakukan oleh Baleg-Sekjen DPR.
ADVERTISEMENT
Setelah ada penyempurnaan redaksi dan typo, akhirnya draf tersebut masuk ke Sekretariat Negara, 14 Oktober 2020. UU tersebut harus ditelaah dan ditandatangani Presiden Jokowi dalam waktu 30 hari setelah disahkan di rapat paripurna DPR RI.
Namun, jumlah halaman UU Cipta Kerja kembali mengalami perubahan, dari yang semula 812 halaman bertambah menjadi 1.187 halaman. Menurut menteri Sekretaris Negara Pratikno, penambahan ini muncul karena ada berbagai perubahan dari segi teknis, ukuran kertas, hingga jenis font.
Meski telah diundangkan, namun rupanya masih banyak salah ketik dalam draf Omnibus Law UU Cipta Kerja. Mulai dari definisi minyak dan gas bumi di Pasal 1 Nomor 3 UU Nomor 11 Tahun 2020 yang tidak perlu hingga Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2020 yang dinilai 'hilang'.
ADVERTISEMENT
Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2020 itu berbunyi:
"Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait".
Sementara Pasal 6 berbunyi:
"Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi."
Pada Pasal 6, ditekankan soal Pasal 5 ayat (1) huruf a yang menjadi landasan Pasal 6. Namun jika kembali melihat Pasal 5, tak ada penjelasan lebih lanjut seperti yang ditulis pada Pasal 6.
Meski masih memicu kontroversi di masyarakat, namun Presiden Jokowi memutuskan untuk tetap meneken Omnibus Law UU Cipta Kerja. UU ini juga ditandatangani Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada tanggal yang sama.
ADVERTISEMENT

MK Nilai Ada Cacat Formil, Diminta Perbaiki dalam Waktu 2 Tahun

ADVERTISEMENT
Dan terbaru, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan terkait Omnibus Law UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja karena dinilai ada cacat formil.
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
"Pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan," bunyi pertimbangan MK dikutip dari situs resmi Mahkamah Konstitusi, Kamis (25/11).
"Maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil," bunyi pertimbangan hakim.
Gugatan ini diajukan oleh Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, Ali Sujito, Muhtar Said, S.H., M.H., Migrant CARE (yang diwakili oleh Ketua dan Sekretaris), Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat (yang diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum), dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau yang diwakili oleh Ketua (Imam) Mahkamah.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatan ini, MK memeriksa terkait formal penyusunan UU Ciptaker Omnibus Law ini. Hasilnya, ada sejumlah hal menjadi temuan.
MK menilai penyusunan Omnibus Law ini bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mulai dari adanya perubahan penulisan di dalam sejumlah pasal dalam UU yang diubah hingga kesalahan pengutipan. Sehingga, UU ini dinyatakan tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang.
MK memerintahkan agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam waktu 2 tahun. Bila dalam jangka waktu itu tidak diperbaiki, UU tersebut akan dinyatakan inkonstitusional.