Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Belum Berlaku, Masih Harus Diratifikasi DPR

27 Januari 2022 14:16 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. Foto: Widodo S. Jusuf/ANTARA
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. Foto: Widodo S. Jusuf/ANTARA
ADVERTISEMENT
Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura masih belum berlaku. Menurut Guru Besar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, meski telah ditandatangani, perjanjian tersebut masih perlu diratifikasi oleh DPR dan diundangkan agar bisa dimanfaatkan oleh penegak hukum.
ADVERTISEMENT
"Setiap penandatangan perjanjian ekstradisi masih harus diikuti dengan proses pengesahan (ratifikasi) oleh DPR," kata Hikmahanto dalam keterangannya, Kamis (27/1).
"Setelah itu dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara Indonesia dan Singapura baru kemudian perjanjian ekstradisi berlaku," sambung dia.
Hikmahanto mengatakan, pada 2007, Indonesia-Singapura juga sempat menandatangani perjanjian ekstradisi. Namun, saat itu ekstradisi tersebut tak diratifikasi sehingga tak diberlakukan.
Hikmahanto menyebut, hal serupa bakal kembali terjadi apabila DPR nantinya tak meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut.
"Sekarang karena sudah ditandatangani bolanya ada di DPR. Karena harus proses ratifikasi," kata Hikmahanto.
"(Bila tak diratifikasi) ya enggak jadi. Enggak ada meski sudah ditandatangani. Kayak 2007 sampai hari ini kan, enggak ada, enggak efektif," pungkas dia.
Diketahui, ekstradisi berdasarkan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1979 adalah: penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Menkumham Yasonna Laoly saat konferensi pers terkait ekstradisi buronan pelaku pembobolan Bank BNI Maria Pauline di Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (9/7). Foto: Kemenkumham RI
Perjanjian Ekstradisi 2007
ADVERTISEMENT
Dalam keterangan yang dibagikan Menkumham Yasonna Laoly, tanggal 27 April 2007, bertempat di Istana Tampaksiring, Bali, Indonesia, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Hasan Wirajuda, dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo menandatangani Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura yang disaksikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura yang ditandatangani pada tahun 2007 tersebut tidak dapat diberlakukan oleh kedua negara karena Pemerintah Indonesia dan Singapura belum meratifikasi perjanjian tersebut.
Alasan negara belum meratifikasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura tersebut adalah karena pemerintah Indonesia dan Singapura sepakat agar pengesahan perjanjian ekstradisi dilakukan secara paralel dengan pengesahan perjanjian kerja sama keamanan Indonesia-Singapura.
Dalam perkembangannya, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2004-2009 dalam rapat kerja dengan menteri luar negeri pada 25 Juni 2007, menolak untuk mengesahkan perjanjian kerja sama keamanan yang telah ditandatangani sehingga berdampak pada proses ratifikasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura yang tidak bisa dijalankan.
ADVERTISEMENT
Sementara, menurut Hikmahanto, pada tahun 2007 Presiden tidak mengirim surat Presiden ke DPR untuk pembahasan perjanjian ekstradisi karena publik tidak setuju dengan perjanjian pertahanan. Atas alasan tersebut perjanjian ekstradisi tidak pernah mendapat pembahasan, apalagi pengesahan dari DPR.