Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Perjuangkan Akses Jalan Rumah, Eko Pernah Lempar Surat ke Jokowi
11 September 2018 21:24 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Rumah peninggalan orang tua Riko Purnama (37) di Kelurahan Pasirjati, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung , terisolir setelah rumah-rumah baru di sekelilingnya terbangun. Tak ada satu pun akses jalan yang bisa dilalui Eko dan kelurganya untuk masuk ke dalam rumah.
ADVERTISEMENT
Sejak 2016, keluarga Eko seakan terusir dari rumah yang telah ia tempati sejak 1998. Berbagai upaya dilakoni Eko --sapaan karibnya-- untuk mendapatkan kembali haknya, seperti mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Tata Ruang Kota Bandung. Namun hingga kini, seluruh cara itu tak membuahkan hasil.
Saking frustrasinya, Eko mencoba cara lain dengan menyurati Presiden Joko Widodo. “Waktu Presiden ke Bandung, acara karnaval, saya lempar surat saat presiden lewat. Surat yang saya lempar kena pundak Jokowi. Saya langsung dikejar Paspampres,” kata Eko saat ditemui di rumahnya, Selasa (11/9).
Tak hanya Presiden, ia pun sempat menyampaikan permasalahan itu ke Oded M. Danial saat masih menjabat wakil wali kota Bandung. Bahkan, kata Eko, ia langsung menemui Oded ketika kunjungan di sekitar Ujung Berung.
ADVERTISEMENT
“Saya juga sudah kirim surat keluhan saya ke Pak Oded. Minta dibantu. Tapi surat itu cuma dilihat, terus dikasihkan ke ajudannya. Ajudannya malah simpan surat itu di lantai,” imbuh dia.
Merasa buntu seakan tak dibantu, Eko mencoba jalan terakhir: menjual rumahnya secara online melalui akun Facebook, Rp 150 juta, nego, minus jalan. “Saya niatnya jual rumah dengan memberi keterangan apa adanya. Ya, karena memang betul rumah itu enggak ada jalannya. Postingan saya itu langsung viral,”
Saat ini, Eko tinggal di rumah yang ia kontrak di kawasan Ciporeat, Kota Bandung. Sudah tiga tahun ia berpindah-pindah kontrakan setelah rumahnya terisolir.
Padahal, kata Eko, rumah peninggalan orang tuanya dibeli pada 1982. Namun sejak 2016, tanah di depan rumahnya, dan sekitaran gang yang semestinya menjadi hak jalan, sedikit demi sedikit tertutupi bangunan, hingga membuatnya mau tak mau harus pindah.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, tutur Eko, lahan gang itu dijadikan tanah fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum).
Eko mengaku sempat berselisih dengan pengurus RW di lingkungannya. Untuk meredam konflik, Eko sudah bernegosiasi dengan pemilik rumah yang membangun tepat di depan rumahnya, untuk membeli sebagian tanah pemilik rumah itu seluas 20 meter x 1,5 meter.
Namun, sang pemilik rumah mematok harga tanah Rp 120 juta, terlampau tinggi sehingga Eko tak mampu memenuhi. Rencana awal, tanah yang akan dibeli, akan Eko buat sebagai akses jalan.
“Dari pengukuran BPN, rumah yang dibangun di lahan yang sebelumnya gang, merupakan fasos dan fasum. Jadi (memang) dilarang membangun rumah di situ,” papar Eko.
Saat ini, akses jalan satu-satunya ke rumah Eko hanya melalui sebuah bangunan kontrakan berpagar dan selalu dikunci.
ADVERTISEMENT