Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Perludem: Mahar untuk Jadi Caleg Sulit Hilang Kalau Partai Tak Demokratis
13 Juni 2023 19:20 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Partai politik tengah disibukkan dengan pencalegan yang akan menentukan nasib mereka di parlemen. Namun, pencalegan diwarnai isu mahar politik untuk penentuan nomor urut.
ADVERTISEMENT
Adalah Partai NasDem yang diterpa kabar kurang mengenakan. Partai besutan Surya Paloh itu dibuat heboh karena Ketua DPD NasDem Kabupaten Indramayu, Husen Ibrahim, mengaku diminta Rp 3,5 miliar untuk mendapat nomor urut 2 sebagai caleg DPR.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, menyebut mahar politik atau yang dikenal dengan istilah “uang perahu” ini adalah salah satu bentuk pidana yang diatur oleh Undang-Undang. Ia mengatakan seharusnya parpol memiliki aturan atau mekanisme untuk penetapan nomor urut bacaleg.
“Seharusnya partai punya mekanisme dalam penentuan nomor urut kandidat (bacaleg). Di UU disebutkan bahwa penentuan calon dilakukan selama demokratis dan terbuka,” kata Khoirunnisa saat dihubungi pada Selasa (13/6).
Kendati begitu, dalam peraturan perundang-undangan, aturan demokratis dan terbuka itu menurut Khoirunnisa tidak ada indikator pastinya. Maka kebijakan nomor urut caleg dikembalikan ke internal masing-masing parpol.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Khoirunnisa juga menyebut bahwa uang perahu atau mahar politik itu memiliki dampak buruk bagi iklim demokrasi.
“Dampaknya adalah semakin menunjukkan rendahnya kelembagaan partai, karena artinya partai tidak mandiri dalam mengambil keputusannya dalam penentuan nomor urut caleg,” tuturnya.
“Karena kalau ada uang mahar artinya penentuan nomor urut ditentukan uang,” sambungnya.
Kendati begitu, Khoirunnisa tidak memungkiri bahwa caleg dengan nomor urut kecil memiliki peluang lebih besar untuk terpilih meskipun saat ini sistem pemilu di Indonesia masih tetap menganut sistem proporsional terbuka. Artinya pemilih tetap dapat memilih langsung bacaleg yang ada di nomor urut besar.
“Walaupun kita menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka di mana pemilih bisa memilih langsung calegnya dan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, nomor urut masih menjadi penentu keterpilihan,” terangnya.
ADVERTISEMENT
“Di Pemilu 2019 yang lalu sekitar hampir 50% caleg terpilih adalah yang ada di nomor urut kecil,” pungkasnya.
Diminta Mahar Rp 3,5 Miliar
Masalah nomor urut caleg ini sebelumnya ramai dibicarakan setelah Ketua DPD NasDem Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Husen Ibrahim, mengaku diminta Rp 3,5 miliar untuk menjadi caleg DPR RI nomor urut 2. Husen lalu memilih mundur diikuti para loyalisnya di DPD NasDem Indramayu.
Ketua NasDem Jawa Barat, Saan Mustopa, membantah pengakuan Husen soal permintaan mahar itu.
"Itu enggak benar. Proses pencalegan sudah beres, sudah kita daftarkan tanggal 11 Mei, sudah beres termasuk penomoran," ucap Saan kepada kumparan, Senin (12/6).
Saan mengatakan nomor urut caleg dapil Jawa Barat VIII yang mencakup Kab. Cirebon, Kab. Indramayu, dan Kota Cirebon, sudah ditetapkan. Nomor urut 1 untuk petahana, nomor urut 1 pengurus DPP, nomor urut 3 Husen.
ADVERTISEMENT
"Kita enggak pernah janjikan nomor urut karena itu aturan. Dan posisi dia sebagai Ketua DPD dapat nomor 3 itu sudah ya... (lumayan)," tuturnya.
Saan membantah ada permintaan uang Rp 3,5 miliar kepada Husen untuk dapat nomor urut 2 karena proses pencalegan sudah didaftarkan ke KPU.
“Jadi kalau mau terapkan politik mahar di awal saja ketika penyusunan. Dan itu bisa dikonfirmasi ke caleg DPR RI baik nomor urut 1, 2, dan seterusnya. Tidak ada (mahar)," tutur Saan.