Perludem: Pilkada Kembali ke DPRD Cara Selesaikan Masalah dengan Masalah

12 Oktober 2022 17:14 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai wacana MPR dan Wantimpres untuk mengkaji pilkada kembali oleh DPRD hanya menambah masalah. Ia mengingatkan pilkada langsung adalah jawaban dari berbagai masalah saat kepala daerah dipilih DPRD.
ADVERTISEMENT
"Pilkada oleh DPRD merupakan cara menyelesaikan masalah dengan masalah. Lagu lama yang terus coba dinyanyikan dengan argumen yang serupa. Mestinya kita mengingat betul mengapa pilkada lewat DPRD yang dipraktikkan pada awal reformasi lalu diganti dengan pilkada langsung melalui UU 32/2004 pada penghujung era pemerintahan Megawati," kata Titi saat dihubungi, Rabu (12/10).
"Argumennya adalah untuk mendekatkan dengan rakyat dan menghindari praktik transaksional yang banyak terjadi dalam pemilihan di DPRD. Selain itu, DPRD berperilaku seolah-olah kepala daerah adalah bawahannya membuat ketidakharmonisan yang berlarut dalam tata kelola pemerintahan daerah," ujar dia.
Titi mengakui pilkada langsung memang bukan tanpa persoalan. Termasuk alasan MPR dan Wantimpres mengapa pilkada perlu dievaluasi, yakni biaya politik tinggi dan praktik jual beli suara yang masif di sejumlah daerah.
ADVERTISEMENT
Tetapi, ia menilai muaranya terletak pada regulasi yang lemah khususnya dalam mengatur aspek yang berintegritas, penegakan hukum yang tidak efektif, juga pencalonan yang tidak berbasis demokrasi internal partai. Sehingga jika pilkada dipindahkan kembali ke DPRD tetapi persoalan itu tidak diatasi, maka sekadar memindahkan fokus masalahnya saja dari rakyat ke gedung parlemen.
"Masalah yang dihadapi dalam pilkada belum tentu selesai. Sebaliknya, praktik korupsinya bisa makin parah dan yang pasti makin menjauhkan rakyat dari ruang untuk berpartisipasi dalam praktik politik dan berdemokrasi," ujar dia.
Titi kemudian menyinggung polemik Hakim Konstitusi Aswanto yang diusulkan DPR tetapi bisa dicopot tanpa dasar hukum yang jelas. Sebab itu jika kepala daerah eksklusif dipilih legislatif, ia makin meragukan objektivitas bisa terwujud.
ADVERTISEMENT
"Secara biaya dan pengawasan mungkin bisa lebih sederhana. Namun, tidak menjadi jaminan bahwa check and balances dalam tata kelola pemerintahan daerah akan lebih baik. Apalagi mengingat fenomena pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto yang dianggap DPR sebagai perpanjangan tangan kepentingannya," ujar dia.