Perludem Skeptis KPK dengan UU Hasil Revisi Bisa Jaga Pilkada 2020 Bebas Korupsi

22 September 2020 22:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Titi Anggraeni, Direktur Perludem Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Titi Anggraeni, Direktur Perludem Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan
ADVERTISEMENT
Revisi Undang-Undang KPK dinilai ikut berdampak pada pengawasan tindak pidana korupsi di Pemilu Serentak 2020. KPK dinilai tak bisa menangani kasus korupsi terkait pilkada 'seluwes' saat masih dengan UU lama.
ADVERTISEMENT
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, menceritakan bagaimana saat Pilkada 2015-2018 KPK memiliki andil besar. Terlebih pada Pilkada serentak 2018, di mana KPK berhasil mengungkap sejumlah rasuah yang dilakukan calon kepala daerah petahana.
"Khususnya di Pilkada Serentak tahun 2018, bisa dikatakan KPK pada masa itu dia mengisi satu ruang kosong yang tak bisa dipenuhi institusi elektoral yang ada, baik oleh Bawaslu, aparat penegak hukum, atau pun institusi lain," kata Titi dalam acara Malam Sarasehan 'Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK, di akun YouTube Pukat UGM, Selasa (22/9).
Titi mengatakan pada saat itu, KPK berhasil menegakkan hukum kepada para petahana yang maju kembali dalam kontestasi pilkada namun berbuat rasuah. Saat itu, kata dia, KPK melakukan sejumlah OTT dan tak kurang dari 9 calon berstatus petahana dijerat tersangka.
ADVERTISEMENT
"Meski 2 di antaranya tetap terpilih, berstatus kena OTT KPK tapi mereka tetap terpilih," ujarnya.
Ilustrasi gedung KPK Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Titi menilai, ketika itu KPK hadir melengkapi skema penegakan hukum di Pilkada. Sebab, Bawaslu dan KPU serta instrumen hukum lainnya di Pilkada tak diberikan kemampuan oleh undang-undang untuk menindak korupsi di ruang-ruang gelap.
"Contohnya apa? praktik mahar, atau suap menyuap untuk kepentingan pendanaan kampanye pilkada, itu tak bisa dijangkau Bawaslu, selain kewenangan tak ada, kapasitas kelembagaannya juga tak sampai ke sana," ujarnya.
"Nah ketika KPK sebelum revisi UU KPK bisa melakukan itu karena keleluasaan melakukan penegakan hukum tidak hanya harus melalui banyak pintu birokrasi, kita tuh di gerakan demokrasi seperti punya banyak harapan gitu, karena kenapa? karena ruang gelap itu tadi meski secara terbatas yang diisi petahana, itu bisa diisi oleh KPK," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Namun kondisi tersebut, kata Titi, kemungkinan sulit kembali dilihat pada Pilkada Serentak 2020. Sebab, lanjut Titi, saat ini KPK sudah dengan undang-undang yang direvisi sehingga dalam menindak kasus korupsi, ada pintu-pintu birokrasi yang harus dilalui, seperti Dewan Pengawas.
"Kalau sekarang berharap dengan revisi UU KPK di mana beberapa proses penegakan hukum harus melalui persetujuan banyak pintu, nah jadi skeptisme itu muncul, itu yang saya bayangkan semakin gelaplah sebenarnya kemampuan kita melakukan penindakan terhadap korupsi politik terutama yang berlangsung terhadap proses pemilihan berlangsung," ujarnya.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Terlebih kata Titi, dalam Pilkada kali ini, ada 230 petahana yang kembali maju di Pilkada. Makin diperparah dengan kondisi pandemi virus corona yang menyertai pesta demokrasi tersebut.
ADVERTISEMENT
"Apalagi sekarang ada 230 petahana yang maju lagi di Pilkada di situasi pandemi, di mana ruang pengawasan kita, gerak kita jadi sangat terbatas," ujarnya.
"Selama ini ruang kosong itu kita gantungkan kepada progresifitas KPK. Nah ini yang pasca revisi UU KPK saya melihat harapan itu suram," pungkasnya.