Perlukah Ada Larangan Truk Berat Melintas di Tol Cipularang?

13 November 2024 16:48 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Truk pemicu kecelakaan beruntun di Tol Cipularang KM 91. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Truk pemicu kecelakaan beruntun di Tol Cipularang KM 91. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah truk pengangkut kardus menjadi penyebab kecelakaan maut di Tol Cipularang KM 92 pada Senin (11/11). 17 mobil terlibat dalam tabrakan beruntun ini. Lebih dari 20 orang terluka, dan 1 orang dinyatakan tewas.
ADVERTISEMENT
Insiden ini pun memicu ragam pendapat publik. Salah satunya soal pelarangan truk berat (lebih dari dua sumbu) melintas di ruas Tol Cipularang KM 65 hingga 120 karena medannya yang curam dan bobot truk yang berat.
Menanggapi isu ini, Pengamat Transportasi Budiyanto berpandangan pelarangan akan menjadi hal yang kompleks. Sebab, truk pengangkut sendiri berhubungan dengan urusan distribusi barang dan rantai pasok kebutuhan masyarakat.
Jika masalahnya soal kecelakaan, maka menurut Budi kecelakaan yang pernah terjadi di sana bukan hanya karena truk saja, tapi kendaraan pribadi juga.
“Kalau menurut saya dievaluasi saja,” ucap Budi saat dihubungi, Rabu (13/11).
Kecelakaan beruntun di Tol Cipularang KM 91-92 arah Jakarta, Senin (11/11/2024). Foto: Dok. Istimewa
Langkah evaluasi ini menurutnya bisa dilakukan dengan sejumlah cara. Misalnya dapat diterapkan batasan jam operasional bagi truk untuk melintas di area yang dianggap rawan.
ADVERTISEMENT
“Kemudian, karena itu daerah rawan, mesti banyak petunjuk-petunjuk, seperti rambu-rambu. Misal marka speed reducer untuk mengurangi kecepatan-kecepatan,” sambungnya.
Di sisi lain, sikap disiplin sopir maupun pemilik transportasi di perusahaan jadi hal yang tak kalah penting diperhatikan, menurut Budi. Misalnya dalam hal mengurus kondisi kendaraan yang digunakan agar laik jalan dan sesuai standar persyaratan teknis.
“Kejadian di Cipularang, dugaan rem blong. Sistem rem itu kan bagian dari kelancaran kendaraan juga,” ucapnya.
Petugas Kepolisian melihat kondisi kendaraan rusak akibat kecelakaan beruntun di Kantor PJR Tol Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (11/11/2024). Foto: Raisan Al Farisi/ANTARA FOTO
Sehubungan dengan isu sopir truk yang tak melakukan engine brake, dia pun menyinggung soal perlunya keterampilan setiap sopir yang layak. Baik dalam urusan menyetir maupun mengenali medan.
“Itu kalau sopir terampil, bisa dilakukan juga engine brake sehingga kita tidak menggunakan selalu rem utama. Karena kalau selalu gunakan rem utama, itu bisa panas bisa blong, rem bisa tak berfungsi baik,” jelas dia.
ADVERTISEMENT
Kelayakan sopir, kata dia, lazimnya dibuktikan dengan proses uji sertifikasi mengemudi hingga mendapatkan SIM. Oleh karena itu dia pun menyinggung soal perolehan SIM yang mesti dilaksanakan sesuai SOP.
“Memang keterampilan-keterampilan tersebut harus dilakukan. Termasuk juga dengan perolehan SIM itu harus dilakukan dengan SOP yang benar,” katanya.
Kendaraan memasuki pintu keluar Tol Gedebage di KM 149 Jalan Tol Cipularang, Bandung, Jawa Barat, Senin (24/4/2023). Foto: Raisan Al Farisi/Antara Foto
Kembali ke masalah pelarangan truk, mantan Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya ini mengatakan, perlunya pengkajian yang melibatkan banyak pihak.
“Karena ini menyangkut distribusi barang, rantai pasok, termasuk juga masalah-masalah ekonomi,” ujar Budi.
Truk pemicu kecelakaan beruntun di Tol Cipularang KM 91. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan