Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Perpanjangan Jabatan Kades Dinilai Bencana Demokrasi dan Rawan Korupsi
23 Januari 2023 18:06 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi 9 tahun masih menuai sorotan usai massa kades berdemo di depan gedung DPR pekan lalu. Presiden Jokowi bahkan mendukung aspirasi tersebut usai membahasnya dengan politikus PDIP Budiman Sudjatmiko.
ADVERTISEMENT
Analis Sosial Politik UNJ Ubedilah Badrun memandang usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun sebagai bencana demokrasi. Menurutnya, argumen 6 tahun jabatan kades tak cukup untuk pembangunan tidak masuk akal.
Menurut Ubed, 6 tahun waktu yang sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa, termasuk untuk mengatasi keterbelahan sosial akibat pilkades. Apalagi, jumlah penduduk desa rata-rata hanya puluhan ribu.
"Jadi problemnya bukan soal kurangnya waktu , tetapi minimnya kemampuan leadership kepala desa untuk melaksanakan pembangunan desa. Dan minimnya kemampuan kepala desa untuk mengatasi masalah keterbelahan sosial pasca pilkades. Itu masalah substansinya," kata Ubed saat dihubungi, Senin (23/1).
"Diperpanjang 9 tahun pun, jika masalah substansinya tidak diatasi, maka kepala desa tidak akan mampu jalankan programnya dengan baik. Termasuk tidak mampu atasi problem keterbelahan sosial itu. Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Argumen dana untuk pilkades lebih baik untuk dana pembangunan sumber daya desa, lanjut Ubed, juga tak bisa dibenarkan. Ia mengingatkan, dana pilkades dari APBN tak seberapa apabila dibandingkan dengan dana pembangunan Ibu Kota Negara baru atau proyek lain.
"Argumenya lemah. Dana pilkades sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya. Dana itu juga tidak menguras APBN dan tidak mengganggu APBN seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN. Angka dana pilkades seluruh Indonesia saya hitung totalnya tidak sampe Rp 50 triliun," jelas dia.
Ubed melanjutkan, jika masa jabatan kades 9 tahun, maka yang mendapat keuntungan hanya kepala desanya karena bertambah hak, otoritas, dan akses. Sedangkan rakyat di desa rugi dan regenerasi kepemimpinan di desa akan sangat lambat.
ADVERTISEMENT
"Anak-anak muda di desa yang punya visi besar membangun desa akan terhambat menjadi kepala desa. Setidaknya lama menunggu giliran menjadi kepala desa. Apalagi jika kepala desa incumbent terpilih lagi selama tiga kali pemilihan. Bisa sampai meninggal statusnya masih menjabat kepala desa," ungkap dia.
"Nah, generasi muda kehilangan kesempatan minimal 9 tahun menunggu. Desa akhirnya terus menerus dipimpin generasi tua yang energi perubahannya rendah bahkan semakin hilang. Akhirnya rakyat di Desa yang dirugikan karena minimnya gagasan-gagasan baru," tambahnya.
Ubed mengingatkan, jabatan publik yang dipilih rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoritarian dan korupsi.
Terlebih, banyak riset tentang desa menemukan tata kelola pemerintahan desa masih banyak menggunakan birokrasi tradisional, sumber daya pegawai di kantor desa juga masih rendah, termasuk rendahnya kapasitas leadership kepala desa.
ADVERTISEMENT
"Bayangkan 6 tahun saja sudah ada 686 kepala desa tersangka korupsi, apalagi 9 tahun? Selain itu menurut pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan Kepala Desa dapat ikut pilkades selama tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Kalau 9 tahun berarti kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun," jelasnya.
"Jabatan 9 tahun hingga berpeluang 27 tahun terlalu lama dan berpotensi besar menjadi absolut. Jadi usulan perpanjang periode menjadi 9 tahun itu ide yang bertentangan dengan demokrasi," tambah dia.
Perpanjangan Masa Jabatan Kades Bermuara ke Perpanjangan Masa Jabatan Jokowi?
Ia memandang jika sebagian kepala desa dan Budiman Soedjatmiko masih ngotot mendukung usul tersebut, pun disetujui Jokowi, maka ini tanda-tanda perusakan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Secara politik, ia memandang bisa saja ada semacam transaksi hasrat kuasa antara kepala desa dengan elite tertentu karena sama-sama ingin perpanjang periode jabatan.
"Jangan-jangan ada benarnya kalau usulan perpanjang periode kepala desa itu cara Jokowi untuk untuk juga memperlancar upaya perpanjang periode kekuasaannya. Ini tanda bahaya demokrasi," ungkapnya.
Misalnya, kata Ubed, kades dapat memberikan dukungan perpanjangan periode kekuasaan Jokowi atau mendukung capres yang didukung Jokowi.
"Ini demokrasi dalam bahaya karena sebagian biaya kepala desa itu dari APBN dan APBD. Jadi memungkinkan menggunakan dana rakyat untuk memberikan dukungan politik. Ini juga patut diduga semacam transaksi politik antara kades dengan presiden," ungkapnya.
"Kades minta dukungan presiden untuk perpanjang masa jabatan dan mungkin juga presiden minta dukungan kades untuk agenda politiknya. Padahal, fungsi kades itu memimpin desa untuk membangun desa, tidak untuk dukung mendukung kontestasi pilpres atau pileg," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Ubed melanjutkan, presiden saat ini didukung lebih dari 80% kursi parlemen. Sehingga ia memandang sangat mungkin presiden mempengaruhi partai koalisinya untuk merevisi UU Desa, apabila benar memiliki kepentingan tersebut.
Kendati demikian, ia yakin kekuatan masyarakat akan menolak usulan perpanjangan masa kepala desa melalui revisi UU Desa.
"Masyarakat di desa secara psikologis sangat tidak suka dengan seseorang yang rakus dan haus kekuasaan. Itu hal etis yang tumbuh kuat secara alamiah sejak berabad-abad lalu," kata dia.
"Meski budaya politiknya parokial dan kaula, tetapi kalau ditanya apakah masyarakat di desa mendukung perpanjang masa jabatan kepala desa? Jawabannya mayoritas tidak mendukung. Itu etik politik desa yang masih terjaga," tandasnya.