Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Pertemuan tiga penggawa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, menuai sorotan luas. Penyebabnya, mereka disebut membahas strategi memenangi Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Setidaknya kritik muncul dari Partai Gerindra. Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono mengatakan pertemuan antara Jokowi dengan PSI adalah abuse of power. Dia menyebut, Jokowi telah mengabaikan prinsip kenegarawanan akibat adanya pertemuan tersebut.
“Penyalahgunaan kekuasaan itu, abuse of power. Artinya bahwa masih Pak Jokowi sekarang memperlihatkan sikap yang kebelet, sehingga beliau mengabaikan beberapa prinsip yang seharusnya sebagai presiden tak dilakukan,” kata Ferry usai menghadiri acara diskusi di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (3/3).
Menurutnya, mengundang salah satu partai untuk membicarakan strategi pemenangan merupakan suatu hal yang aneh. Dia menuding, ada sebuah keistimewaan dari perlakuan Jokowi terhadap PSI. Sebab, Ferry mengaku telah mengetahui bahwa aktor di belakang PSI adalah Sunny Tanuwijaya, selaku orang dekat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Sementara itu, Waketum Gerindra Fadli Zon menilai jika pertemuan Jokowi dengan PSI terkait kepentingan Pilpres atau Pileg 2019, maka seharusnya tak dilakukan di Istana. Menurut dia, harusnya Jokowi dan PSI mencari tempat lain yang netral. Sebab, fasilitas negara tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua DPR ini kemudian membandingkan sikap Jokowi dengan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia menilai SBY tidak pernah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politiknya.
"Pemerintah yang lalu juga, seingat saya Pak SBY kalau ada urusan-urusan yang menyangkut partainya tidak di Istana Negara kan," ujar Fadli di Gedung Bareskrim KKP, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (2/3).
Namun, Fadli menilai pertemuan presiden dengan parpol sebenarnya suatu hal yang sah. Asalkan, presiden bisa berlaku adil kepada semua partai.
Namun, Wasekjen PDIP Eriko Sutarduga menuturkan sikap Jokowi yang mengajak partai lain untuk bertemu di Istana hanya sebatas komunikasi semata. Sehingga, menurut dia, hal itu memang patut dilakukan oleh seorang pemimpin negara.
Dia menilai, anggapan terkait adanya pertemuan antara Jokowi dengan PSI, tergantung pada sudut pandang orang atau kelompok yang melihat.
ADVERTISEMENT
“Pak Jokowi itu baik sekali, artinya mengajak semua partai untuk berbicara dan berkomunikasi. Dan itu patut dilakukan oleh seorang pemimpin,” katanya usai menghadiri diskusi di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (3/3).
Menanggapi kritikan itu, PSI lantas menggelar konferensi pers pada Sabtu (3/3). Ketua Umum PSI Grace Natallie mengatakan, tidak benar apabila pertemuan antara partainya dengan Jokowi di Istana itu membicarakan terkait strategi pemenangan Jokowi pada Pilpres 2019.
Dia mengaku, pertemuan tersebut hanya membicarakan mengenai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Meski ia tak menampik di pertemuan itu mereka saling berbagi tips untuk bisa meraih kemenangan dalam pemilu.
“Terkait tips tentang pemilu. Kami sampaikan bahwa PSI menargetkan untuk menang di Pemilu 2019. Dan beliau (Jokowi) menyampaikan apresiasi dan mendukung PSI menjadi partai yang berbeda dari partai-partai lainnya,” ujar Grace di kantor PSI, Jalan KH Wahid Hasyim, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Usai konferensi pers, Sekjen PSI Raja Juli Antoni mengaku pertemuan dengan Jokowi di Istana itu merupakan pertemuan resmi dan formal. PSI menepis tudingan pertemuan itu didasarkan atas perlakuan istimewa dari Jokowi.
“Kami mengajukan surat kemudian diterima, dan ini resmi, formal. Bukan jalur khusus yang seperti diimajinasikan beberapa media,” tutur Anton.
Meski begitu, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) akan melaporkan pertemuan PSI dengan Jokowi ke Ombudsman. Pertemuan tersebut dianggap sebagai sebuah manuver politik untuk mempersiapkan pemenangan Jokowi di Pilpres 2019.
"Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman, maladministrasi secara garis besar adalah perilaku melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang, untuk tujuan lain yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang menimbulkan kerugian materil dan imateril bagi masyarakat," ucap Sekretaris Dewan Pembina ACTA, Said Bakhri, saat jumpa pers di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (4/3).
ADVERTISEMENT
Ia menilai Istana adalah tempat kerja resmi presiden sebagai kepala negara sekaligus pemerintah. Sehingga, agenda-agenda politik tidak boleh dilakukan di Istana.
"Jadi yang kita laporkan itu peristiwanya. Apa yang bersalah itu presiden apakah Grace Natalie (Ketum PSI), apakah yang bersalah staf presiden, nanti kita serahkan ke Ombudsman," tambah Ketua Dewan Pembina ACTA, Habiburokhman, usai konferensi pers.
Terkait rencana ACTA, Komisioner Ombudsman Alvin Lie mengatakan akan melayani seluruh laporan yang masuk ke Ombudsman tanpa "tebang pilih". Setiap laporan yang masuk ke Ombdusman akan diterima oleh Tim Penerimaan dan Verifikasi Laporan.
Laporan itu, kata dia, kemudian akan dibahas dalam rapat pleno yang dihadiri sembilan anggota Ombudsman. Jika laporan diterima maka akan akan ditindaklanjuti oleh tim yang ditunjuk.
ADVERTISEMENT
"Banyak kasus kental nuansa politis yang masuk. Semua kami layani tanpa kecuali, tanpa diskriminasi. Kami akan terapkan semua parameter dan prosedur baku untuk tentukan apakah suatu laporan masyarakat dapat ditindaklanjuti atau tidak," ucap Alvin, dalam keterangannya, Minggu (4/3).
Live Update