Pesan Hakim MK: Pimpinan KPK Harus Bisa Hidup di Tempat Sunyi, Silent Profession

13 November 2024 20:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang perdana permohonan uji materi yang dilayangkan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata terkait pasal 'berhubungan dengan pihak berperkara' dalam UU KPK, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (13/11/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sidang perdana permohonan uji materi yang dilayangkan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata terkait pasal 'berhubungan dengan pihak berperkara' dalam UU KPK, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (13/11/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberi nasihat bahwa Pimpinan KPK adalah profesi yang mulia sekaligus profesi yang diam. Profesi yang harus bisa 'hidup di tempat yang sunyi'.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan Arief Hidayat saat memberikan nasihat dalam sidang gugatan yang dilayangkan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Alex menggugat Pasal 36 huruf a UU KPK.
Isi aturannya ialah larangan Pimpinan KPK untuk berhubungan dengan pihak berperkara. Alex meminta pasal tersebut dihapus karena membawa kerugian konstitusional baginya.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat pun menegaskan bahwa memang semestinya ada risiko yang diemban oleh komisioner KPK dalam menjalankan tugasnya. Sebab, lanjut dia, KPK merupakan lembaga yang sangat terhormat. Sama halnya dengan MK.
"Saya ingin menyebut begini, KPK-MK itu adalah lembaga yang saya sebut sebagai noble profession, profesi yang sangat terhormat, sehingga harus dikenai atau harus dipersyaratkan yang ketat kayak begitu," kata Hakim Arief dalam sidang perdana gugatan Alex di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (13/11).
Sidang perdana permohonan uji materi yang dilayangkan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata terkait pasal 'berhubungan dengan pihak berperkara' dalam UU KPK, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (13/11/2024). Foto: Mahkamah Konstitusi RI
Tak hanya itu, Arief menekankan bahwa KPK dan MK juga sebagai silent profession atau mesti menjalankan tugas dalam diam.
ADVERTISEMENT
"Selain itu, KPK termasuk MK itu dianggap juga sebagai silent profession, profesi diam, artinya apa? Hakimnya, Komisioner KPK, itu harus bisa hidup di tempat yang sunyi, enggak boleh berhubungan dengan siapa pun," jelas dia.
Arief pun mencontohkan bagaimana Hakim MK jika memasuki musim Pemilu atau Pilkada. Ia menyebut, saat Hakim MK melakukan perjalanan dengan pesawat, tak akan memilih kelas bisnis seperti biasanya.
"Kalau naik pesawat, kalau kita biasanya di bisnis, para Hakim itu bisa di bisnis. Wah kalau di bisnis ini ketemu bos-bos, bos-bosnya itu apa? Para ketua partai atau orang yang menjadi calon-calon bupati, wali kota, kepala daerah," kata dia.
"Oleh karena itu, Hakim enggak di bisnis, nanti ketemu. Kita duduk di belakang saja sendiri, gitu. Yang namanya disebut sebagai silent profession," paparnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, Arief menekankan bahwa Komisioner KPK pun mesti menerima konsekuensi dan risiko pekerjaan tersebut. Termasuk dengan dikenai persyaratan yang ketat.
"Mau tidak mau, kalau menjabat jabatan-jabatan yang disebut silent profession atau noble profession itu, ya harus ada persyaratan yang ketat," ungkapnya.
Lebih lanjut, Arief menjelaskan bahwa KPK adalah lembaga yang menjalankan fungsi luar biasa.
"Kalau ini KPK adalah extraordinary function, syaratnya ketat sekali. Kalau MK punya yang disebut dengan Bangalore Principle, kode itu lah," ucap Arief.
"KPK juga hampir mirip dengan itu, sehingga syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 36 dan 37 [UU KPK] itu sangat ketat, yang berbeda sebagaimana penegak hukum yang lain," pungkasnya.

Gugatan Alex Marwata dkk

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait Ketua KPK Firli Bahuri yang menjadi tersangka, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Permohonan uji materi itu dilayangkan oleh Alex bersama dengan dua orang pegawai KPK. Mereka adalah: Lies Kartika Sari selaku auditor muda KPK (pemohon 2) dan Maria Fransiska selaku pelaksana pada unit sekretaris pimpinan KPK (pemohon 3). Gugatan tersebut didaftarkan ke MK pada 4 November 2024.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatan itu, Pemohon juga menggugat Pasal 37. Dalam gugatannya, disebut bahwa penerapan Pasal 36 kolektif dengan Pasal 37 juga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon 2 dan Pemohon 3 selaku pegawai KPK.
Menurut Alex, dua pasal itu dinilai jadi alat untuk mengkriminalisasi insan KPK.
"Apa urgensinya? Pasal itu bagi kami (pimpinan dan pegawai) bisa dijadikan alat untuk mengkriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK," ujar Alex kepada wartawan, Kamis (7/11) lalu.
Alex menyebut, rumusan kedua pasal itu tidak jelas. Meskipun, dalam penjelasan UU KPK telah dinyatakan dengan cukup jelas.
Ketidakjelasan itu lantaran adanya batasan yang tidak pasti di dalam normal Pasal 36 huruf a UU KPK. Selain itu, juga banyak kejanggalan di norma Pasal yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
"Kalau dengan tersangka sudah jelas perkara sudah di tahap penyidikan dan tersangka sudah ada. Tapi, pihak lain itu siapa? Batasan perkara itu di tahap apa? Dengan alasan apa pun itu apa maknanya?" tutur Alex.
"Kalau tidak ada penjelasannya bisa jadi penerapannya pun akan semau-maunya penegak hukum. Apakah laporan masyarakat yang bahkan belum penyelidikan juga dianggap perkara?" lanjut dia.
Tak hanya itu, Alex juga memaparkan penafsiran frasa 'dengan alasan apa pun' di dalam Pasal 36 huruf a tersebut.
"Bagaimana kalau dalam rangka melaksanakan tugas? Bagaimana kalau pertemuan/komunikasi dilakukan dengan iktikad baik atau misalnya pada saat bertemu tidak tahu status orang yang ditemui?" tutur dia.
"Kalau tanpa pengecualian berarti bertemu di kondangan pun bermasalah, sekalipun tidak ada hal penting yang dibahas," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Alex menegaskan, mestinya ada penjelasan konteks pertemuan yang dimaksud di dalam pasal tersebut. Misal, yang mengakibatkan munculnya konflik kepentingan atau terhambatnya penanganan perkara di KPK.
Lebih lanjut, Alex pun menyebut bahwa hanya aparat penegak hukum yang tak memahami esensi dari dua pasal yang digugatnya bersama pegawai KPK tersebut.
Sehingga, lanjut dia, justru menilai pertemuan dengan setiap orang yang berurusan dengan lembaga antirasuah sebagai perbuatan pidana.
"Pasal 36 dan 37 merupakan ranah etik untuk menjaga integritas insan KPK dan marwah KPK. Jadi, sebelum ke pidana mestinya dilihat apakah ada pelanggaran kode etik," ucap Alex.
Dalam permohonannya, Alex menilai bahwa penerapan norma Pasal 36 huruf a UU KPK tidak berkepastian hukum. Sehingga, ia meminta MK perlu mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi.
ADVERTISEMENT
"Atau memaknai Pasal 36 dengan 'Pasal 36: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: (a) mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau yang mewakilinya dengan maksud untuk meringankannya'," imbuh dia.
Adapun berikut petitum gugatan Alex dkk dalam permohonan tersebut, yakni: