Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Pesan Menag Pada Hari Raya Waisak: Teladani Sidharta Gautama hingga Pendidik
13 Mei 2025 8:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Menteri Agama Nasaruddin Umar menghadiri peringatan Hari Tri Suci Waisak 2569 Tahun Buddhis di Wihara Ekayana Arama, Jakarta Barat, Senin (12/5). Dalam sambutannya, ia menyampaikan beberapa pesan penting.
ADVERTISEMENT
Mulai dari pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial, keteladanan Buddha Sidharta Gautama, hingga peran para pendidik.
Seperti apa pesan-pesan itu? Simak rangkuman kumparan.
Jika Umat Menyatu dengan Ajaran Agama, Kita Tak Perlu Polisi
Menag menyampaikan peran agama dalam kehidupan bersosial. Ia menyebut, jika masyarakat sungguh-sungguh menyatu dengan ajaran agamanya, maka potensi kejahatan bisa ditekan hingga tak lagi memerlukan aparat penegak hukum.
“Tapi kalau umat beragama sudah menyatu dengan ajaran agamanya, agama apa pun agamanya, maka mereka bisa berkah sebagai Menteri Agama, dan kalau itu sudah terjadi, mungkin kita tidak perlu polisi? Iya, kan?” kata Nasaruddin yang kemudian disambut riuh tepuk tangan para umat yang hadir.
Menurut Nasaruddin, hal ini yang menjadi pekerjaan utamanya sebagai Menteri Agama. Sebab baginya, keberhasilan kinerja kementeriannya tak bisa hanya diukur dari capaian administratif atau birokrasi, melainkan dari kualitas keberagaman masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Bagi saya yang pribadi sebagai Menteri Agama, target kami, tantangan kami, bagaimana umat beragama itu semakin bersahabat dan semakin menyatu dengan ajaran agamanya,” kata dia.
Bicara Keteladanan Sidharta Gautama di Depan Ribuan Umat Buddha
Ia juga menyampaikan keteladanan sang Buddha Sidharta Gautama. Sidharta Gautama mau meninggalkan kemewahan istana untuk mencari makna hidup yang lebih tinggi.
Baginya, keberanian meninggalkan kenikmatan duniawi ini layak untuk diteladani.
“Kalau Sidharta menikmati istana dan istrinya yang cantik, mungkin namanya tidak akan dikenal sampai sekarang. Tapi karena keberanian meninggalkan kenikmatan sesaat, ia dikenang hingga kini,” katanya.
Nasaruddin mengatakan, Waisak adalah momentum penting untuk menghidupkan kembali kontemplasi, yang menurutnya harus seimbang dengan konsentrasi duniawi. Dengan begitu manusia tidak hanya berlomba-lomba mengejar dunia, namun juga akhirat.
ADVERTISEMENT
Nasaruddin menekankan bahwa perpaduan antara keduanya, konsentrasi dan kontemplasi, akan membentuk pribadi yang utuh, manusia yang paripurna.
“Negeri ini tak hanya butuh konsentrasi, tapi juga kontemplasi. Dari sanalah lahir manusia paripurna,” katanya.
Inilah yang mejadi pedomannya sebagai Menteri Agama. Ia menegaskan bahwa tugas Kementerian Agama bukan sekadar capaian administratif, tapi menjembatani umat agar semakin menyatu dengan ajaran agamanya, memastikan konsentrasi dan kontemplasi berhasil dicapai.
“Selama umat masih berjarak dengan nilai-nilai agama, itu PR buat kami,” tuturnya.
Humanity Is Only One, There Is No Gods
Nasaruddin member petuah panjang tentang toleransi beragama. Ia mengajak semua umat beragama, tak hanya Buddha yang tengah merayakan waisak untuk melihat sesama manusia sebagai satu keluarga besar tanpa batas sekat agama.
Baginya, kemanusiaan jauh lebih penting daripada perbedaan konsep ketuhanan.
“Humanity is only one, there is no gods. Kemanusiaan itu satu, tidak ada bedanya. Maka itu, sama dengan Islam juga dengan agama lain, siapa pun merasa anak cucu Adam, apa pun agamanya, etniknya, warna kulitnya, jenis kelaminnya, itu satu, kita,” kalimat ini menyentuh umat yang hadir, riuh tepuk tangan pun terdengar.
ADVERTISEMENT
Tanpa menghakimi pihak mana pun, ia menekankan kesamaan ajaran Islam dan Buddha yang sama-sama menolak kebencian. Ia menyinggung bagaimana perbedaan harus disyukuri.
“Jangan memaksakan perbedaan kalau memang sesuatu itu sama, tapi juga jangan memaksakan persamaan kalau itu memang berbeda. Toleransi itu bukan memaksakan yang berbeda menjadi sama, atau yang sama menjadi berbeda,” kata Imam Besar Masjid Istiqlal ini.
Di Indonesia Banyak Pengajar tapi Sedikit yang Mampu Jadi Pendidik
Tak hanya bicara soal keagamaan. Nasaruddin juga membahas kondisi pendidikan Indonesia, yang minim pendidik sejati.
Nasaruddin menyoroti, realitasnya kini banyak yang hanya berperan sebagai pengajar, tapi belum mencapai kedalaman makna sebagai pendidik apalagi guru sejati. Lalu apa bedanya?
“Di Indonesia banyak pengajar, tapi sedikit yang mampu menjadi pendidik,” kata Nasaruddin saat memberikan petuahnya saat perayaan Waisak di Jakarta Barat, Senin (12/5).
ADVERTISEMENT
Nasaruddin kemudian membedakan definisi pengajar, pendidik, dan guru. Ia menjelaskan istilah guru berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta yakni gu berarti kegelapan dan ru berarti cahaya atau obor.
“Jadi guru adalah obor yang mengusir kegelapan,” ujar dia.
Ia lalu menjelaskan, seorang pengajar hanya menyampaikan pengetahuan. Sementara pendidik memberi contoh dan menanamkan nilai.
Sedangkan guru, menurutnya, adalah profesi yang berada pada tingkatan lebih tinggi dari pengajar dan pendidik karena mampu mencerahkan hati muridnya.
“Kalau pengajar, mentransformasikan kepintarannya dari otaknya kepada otaknya orang lain, anak-anak murid tidak peduli apakah dia makan atau enggak. Tapi kalau pendidik, bukan hanya transfer of knowledge tapi mencontohkan pada dirinya apa yang diajarkan kepada muridnya. Itu pendidik,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Guru lebih tinggi lagi martabatnya, bukan hanya untuk mencontohkan apa yang diajarkan, tetapi bagaimana betul-betul mengusir kegelapan yang tersarang dalam hati audiensnya, muridnya, sehingga muncul pencerahan. Mencerahkan tidak peduli apa pun yang terjadi pada dirinya. Inilah guru, rela seperti lilin membakar dirinya demi untuk menerangi orang lain,” sambungnya.
Nasaruddin pun menyebut para biksu sebagai contoh nyata dari guru dalam arti spiritual, yang rela meninggalkan kenikmatan pribadi dan duniawi demi membimbing umat Buddha.
“Tidak gampang menjadi seperti Bante. Dia harus menghilangkan kesenangan pribadinya, tapi membutuhkan umatnya, untuk kita semua,” pungkasnya.