Peter Carey: Kolera, Salah Satu Petaka Sebelum Perang Diponegoro

1 Juni 2020 13:20 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pangeran Diponogoro. Foto: Dok. Wikimedia
zoom-in-whitePerbesar
Pangeran Diponogoro. Foto: Dok. Wikimedia
Beberapa tahun sebelum Perang Diponegoro berlangsung, wabah kolera menyerang Jawa. Kedatangannya kian memperburuk kemiskinan, musim paceklik, dan gagal panen yang tengah dialami.
“Kedatangan penyakit seperti epidemi kolera pada 1921 dan kesulitan yang nyata di masyarakat seperti naiknya harga makanan, administrasi yang korup, meningkatnya gelandangan dan perampokan serta kekerasan, semua yang terjadi sebelum meletus Perang Jawa dengan mudah dikaitkan terhadap Zaman Edan, sebelum kemunculan Ratu Adil,” tulis sejarawan Peter Carey dalam bukunya berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855.
Persoalan sosial ekonomi dan kesehatan melahirkan pemberontakan-pemberontakan terhadap kolonialisme hingga akhirnya meletus Perang Jawa. “Jadi seiring dengan pemberontakan Diponegoro, sudah ada pergerakan massal dari wong cilik di Jawa Tengah Selatan. Wong cilik digerakkan oleh isu-isu dari kelaparan dan kesengsaraan yang datang langsung dari wabah kolera, paceklik, dan gagal panen,” ucapnya ketika dihubungi kumparan.
Hal tersebut kemudian mempengaruhi masifnya pemberontakan Diponegoro yang berlangsung lima tahun lamanya sejak 1825 hingga 1830. Sementara wabah muncul bergelombang menewaskan ratusan ribu orang, kecamuk perang pun tak kalah banyak menelan korban.
Berikut petikan wawancara kumparan bersama Peter Carey pada 27 Mei 2020.
Sejarawan Peter Carey. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Sebesar apa pengaruh wabah kolera hingga ikut mempengaruhi terjadinya Perang Diponegoro?
Wabah kolera itu yang datang bulan Maret 1821 ke Terboyo, Semarang, adalah wabah kolera asiatik yang pertama, pagebluk pertama yang besar yang itu datang dari India dan dibawa oleh kelasi yang kerja di kapal Arab yang datang dari Malaka ke Semarang. Ini menjadi salah satu dari beberapa malapetaka yang melanda Pulau Jawa sebelum Perang Jawa.
Pertama ada isu dari Belanda yang pulang lagi pada 19 Agustus 1816, ada penyerahan Hindia Belanda dari Inggris. Dan mereka (Belanda) datang dengan salah satu tujuan, yaitu adalah dengan secepat mungkin meraih untung di Pulau Jawa supaya mereka bisa menutupi utang yang mereka punya pasca Perang Napoleon waktu Perancis menduduki Belanda.
Jadi mereka (Belanda) datang dan membangkitkan salah satu sistem perpajakan dan sewa tanah yang memberi tanggung jawab lebih kepada orang-orang Tiongkok yang tidak bisa berbahasa Jawa atau Melayu. Jadi ada isu dari sosial ekonomi.
Masalah sosial ekonomi ini menjadi lebih rancu sebab isu dari beberapa malapetaka alamiah. Salah satu adalah paceklik, salah satu lain adalah kekeringan yang melanda panen dari 1821, 1822, dan 1823. Juga ada meletus gunung merapi pada 28 Desember 1822 dan juga ada pagebluk dari cholera asiatica.
Dan di dalam pandangan orang Jawa, orang Jawa sangat percaya waktu itu kepada ramalan Joyoboyo. Di ramalan Joyoboyo, tanda-tanda alamiah sebelum muncul seorang Ratu Adil untuk membuat seimbang lagi di dalam alam adalah ada beberapa malapetaka, dan malapetaka seperti pagebluk, paceklik, dan meletusnya gunung api adalah salah satu tanda bahwa zaman dari Ratu Adil sangat dekat.
Apakah Pangeran Diponegoro melihat wabah kolera yang terjadi sebagai salah satu pertanda baginya untuk melawan?
Dia tidak bilang itu di dalam babad. Dalam babad, sebagai seorang mistikus, dia ada mendapatkan mimpi dan ada wangsit, ada penampakan. Penampakan dari Ratu Adil, dia dipanggil dari Goa Selarong untuk menghadap dengan Ratu Adil di Gunung Kidul.
Dan juga penampakan dari Wali Songo yang memberi amanah kepada beliau, amanah itu adalah Alquran. Jadi dia diberi beberapa petunjuk bahwa dia sudah dipilih sebagai seorang Ratu Adil dan dia diminta untuk ganti nama.
Tapi kita tahu bahwa isu dari ramalan Joyoboyo cukup hangat, sebab musuh bebuyutan dari Diponegoro, bupati perdana dari Purworejo Tjokro Negoro Pratama, bilang bahwa banyak orang yang kewalahan, banyak wong cilik yang sebenarnya mereka percaya bahwa zaman dari ramalan Joyoboyo sudah datang dan Ratu Adil sudah datang.
Salah satu potret pertempuran diponogoro. Foto: Dok. Wikimedia
Wabah dan petaka lainnya itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo sehingga memperbesar dukungan rakyat terhadap Diponegoro?
Kebanyakan orang mungkin belum bisa mengenal nama dari Diponegoro. Tapi waktu Diponegoro diusir dari Tegalrejo dari kediamannya, beberapa kilometer barat laut dari Keraton Jogja, pada siang hari di hari ke 27 Juli 1825, sudah terjadi pemberontakan massal dari orang petani di Kedhu Selatan, Probolinggo, Kabupaten Purbalingga.
Jadi seiring dengan pemberontakan Diponegoro, sudah ada pergerakan massal dari wong cilik di Jawa Tengah Selatan. Wong cilik digerakkan oleh isu-isu dari kelaparan dan kesengsaraan yang datang langsung dari wabah kolera, paceklik, dan gagal panen.
Gerakan dari wong cilik tersebut membuat Perang Diponegoro sedemikian besar dan masif?
Iya, itu salah satu pergerakan sosial yang massal dan itu mirip dengan apa yang akan terjadi untuk revolusi pada abad 20 terhadap Belanda. Jadi yang terlibat ada orang santri, orang kiyai, ada bangsawan, ada wong cilik, ada anasir-anasir dari dunia hitam, ada orang jago dan lain-lain dari dunia hitam desa-desa di Jawa.
Jadi itu salah satu pergerakan massal dan itu dicerminkan di dalam penduduk sebab pada waktu itu ada kira-kira 6,5 juta orang penghuni di Jawa, dan sepertiganya atau lebih dari 2 juta kena dampak dari perang. Jadi mereka harus mengungsi, harus pergi ke lain tempat. Dan 200 ribu orang meninggal. Jadi itu bukan perang sembarangan, itu perang yang memiliki dampak terhadap sepertiga penduduk Pulau Jawa.
Lukisan Perang Jawa. Foto: Wikipedia
Apakah persoalan kesehatan menjadi salah satu hal yang disadari harus diperjuangkan oleh Diponegoro?
Oh iya, itu adalah sumsum tulang dari seorang Diponegoro. Dia bahu-membahu dengan wong cilik dan dia bisa merasakan situasi yang begitu memilukan. Dan di dalam majelis dari Kerajaan Jogja, dia pernah menegur bangsawan yang menyewakan tanah mereka kepada orang-orang bule yang datang sebagai penyewa tanah dan dia bilang, “apakah kita harus kongkalikong dengan orang yang datang dari luar?” Kapitalis yang datang dari luar itu membuat sengsara bangsa kita, wong cilik.
Jadi dia punya perasaan jiwa sosial yang sangat tinggi sekali dan dia bisa merasakan sebab dia dibesarkan di tengah-tengah sawah dan tegal dari Tegalrejo. Dia tidak selalu di keraton atau di pesantren. Dia hidup di tengah-tengah salah satu masyarakat yang tiap tahun mereka mampu ekspor 50 ton beras ke wilayah Indonesia timur, dari Jawa Tengah selatan melalui Semarang dan melalui Bima.
Apakah wabah kolera itu masih terjadi di masa Perang Diponegoro?
Wabah itu datang 3 tahun sebelum perang meletus. Jadi dari bulan Maret sampai bulan Desember 1821 dan diperkirakan kira-kira 120 sampai 150 ribu orang meninggal. Dan itu hampir sama dengan korban yang meninggal akibat perang. Akibat perang itu meninggal 200 ribu.
Jadi itu salah satu dampak besar sebab penduduk pulau Jawa pada waktu itu hanya 6,5 juta. Jadi itu adalah wabah besar dan dampaknya itu sempat tidak mau diakui oleh Belanda. Belanda membuat salah satu dongeng bahwa Diponegoro hanya memberontak sebab frustasi tidak menjadi sultan dan menenatang modernisasi, dia berontak karena tidak mau satu pelebaran jalan yang memakan makam dari keluarga di Tegalrejo. Jadi mereka mau menyepelekan latar belakang dari Perang Jawa dan motor dari apa mendorong seorang Diponegoro menjadi pemimpin. Waktu itu yang mendorong dia bukan keinginan sebagai raden atau merebut takhta tapi yang mendorong dia adalah keadilan sosial.
Wabah tersebut selesai dengan sendirinya pada saat itu?
Pandemi sudah tidak ada lagi. Tapi ada beberapa gelombang yang terjadi sesudah perang pada 1833. Jadi kolera menjadi salah satu isu dari kesehatan rakyat pada abad ke 19 dan di seluruh dunia, di Inggris juga. Kolera memicu juga beberapa kebijakan sosial untuk mengelola sistem septic tank dan sistem air di kota besar, kota industri. Dan itu menjadi salah satu rezim baru untuk bagaimana menjaga kesehatan.
Bagaimana pemerintah kolonial menangani wabah kolera yang terjadi pada masa itu?
Sebenarnya Belanda juga kewalahan, mereka tidak punya pengetahuan yang cukup luas mengenai apa sebenarnya bakteri dari kolera, bagaimana mencegah, dan itu kita pelajari terjadi di Covid-19 juga. Waktu bulan ramadan dan hari raya, mereka (Belanda) juga mau menghindari orang untuk mudik dan isu-isu lain itu ada beberapa keadaan yang mirip dengan keadaan sekarang.
Lukisan Raden Saleh yang menggambarkan petaka di Jawa. Foto: Dok. kitlv.nl
Tapi sebenarnya mereka tidak punya kapasitas dan sebenarnya itu dicerminkan dengan lukisan yang sangat terkenal dari Raden Saleh. Dia melukis pada 1862, lukisan yang mencerminkan salah satu situasi di mana bagian dari Banyumas sudah terkena banjir besar dan ada salah satu rakit, di atas rakit ada banyak bangkai, dan ada penduduk yang masih hidup dan di paling atas ada seorang lurah yang sedang memanggil, bukan memanggil orang Belanda karena Belanda tidak muncul sama sekali, tapi memanggil penduduk setempat yang punya rakit untuk membantu. Gambar itu menunjukkan bahwa harus berdikari, orang-orang Jawa harus menolong diri sendiri. Itu salah satu yang dipelajari Diponegoro.
Jadi tak ada hal yang benar-benar dilakukan untuk menangani wabah saat itu tapi wabah itu selesai sendiri?
Nggak, sebab 70 persen dari penduduk akhirnya kena dan itu menjadi ada kekebalan herd immunity. Sebab pandemi tidak bisa merajalela setelah lebih dari 70 persen dari penduduk sudah kena.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.