PGI hingga PHDI Usul ke DPR: Nama RUU Minol Pengendalian, Bukan Larangan

13 Juli 2021 17:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bir Foto: dok.Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bir Foto: dok.Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sejumlah perwakilan organisasi keagamaan di Indonesia memberikan masukan terkait penyusunan RUU Larangan Minuman Alkohol (RUU Minol) dalam rapat Badan Legislasi DPR yang digelar secara virtual, Selasa (13/7).
ADVERTISEMENT
Perwakilan organisasi keagamaan yang hadir antara lain Philip Widjaja dari Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), H Lokra dari Persatuan Gereja-gereja Seluruh Indonesia (PGI), Nyoman Udayana Sangging dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) hingga Peter Lesmana dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).
Kepada Baleg DPR, empat organisasi keagamaan ini menyatakan bahwa mereka lebih setuju jika RUU Minol tidak menekankan larangan minum alkohol. RUU Minol sebaiknya menekankan pada pengendalian hingga pembinaan minuman alkohol.
"Sebetulnya yang paling tepat untuk nama UU ini adalah menurut kami adalah pengendalian. Jadi kita tak sebut pengetatan, pelarangan dan sebagainya. Kalau pilihan kedua kita memilih peraturan atau penataan begitu," kata Philip dari Permabudhi.
Ilustrasi tuak, minuman alkohol asli Nusantara. Foto: Shutter Stock
PHDI juga berpandangan sama. Nyoman yang merupakan perwakilan PHDI mengatakan, meski ada ajaran agama yang melarang minuman keras namun tetap saja ada kebutuhan di masyarakat. Selain itu, ada juga agama lain yang menggunakan alkohol dalam kegiatan keagamaan.
ADVERTISEMENT
Sehingga, kata Nyoman, yang dibutuhkan saat ini adalah pembinaan agar jangan sampai alkohol digunakan secara berlebihan.
"Kami dari umat Hindu jelas sama dengan apa yang disampaikan Pak Philip dari Permabudhi bahwa dalam ajaran agama Hindu sangat melarang minuman keras. Tadi pertama ya, jelas minuman keras berdampak mabuk dan sebagainya dan itulah yang menjadi larangan bagi umat Hindu dan juga larangan dalam kegiatan lainnya yang disebabkan oleh minuman keras tadi," katanya.
"Namun perlu juga dipahami bahwa minuman keras ada juga dampaknya yang memberikan keuntungan kalau dibuat aturan yang sangat jelas, dilakukan pembinaan dan lain-lain," imbuhnya.
Sehingga, Nyoman menyarankan narasi yang digunakan terkait RUU Minol diganti. Harusnya narasi yang disampaikan adalah pengendalian atau pembinaan, bukan larangan.
Ilustrasi perjamuan kudus. Foto: Shutter Stock
"Untuk kegiatan minol ini maka dari judulnya bukan larangan yang digunakan tapi bisa dilakukan dengan pengendalian. Nah, dengan demikian juga dari pengendalian yang ditetapkan UU tersebut maka dilakukan pengendalian dari yang dibuat, didistribusikan sampai ke yang memakainya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Senada, PGI juga menilai bahwa pendekatan RUU Minol harusnya jangan berupa larangan. Padahal dengan pendekatan yang tepat, masyarakat Indonesia masih bisa diatur.
"Kami melihat bahwa pendekatan dalam RUU Minol ini sangat infantil artinya serba larangan. Apa-apa harus dilarang seolah olah warga kita ini warga yang yang masih tidak teratur. Padahal di basis itu, di lapangan itu, mereka sudah cukup teratur dengan baik," kata perwakilan PGI, Lokra.
Namun, PGI menekankan, pengendalian atau pembinaan harus bisa dilakukan dengan baik agar teratur. Ia pun menyinggung adanya tradisi minum alkohol dalam agama Kristen dan dalam tradisi di Indonesia.
"Minol itu tradisi nusantara. Di beberapa wilayah ada tradisi seperti pergaulan dan juga dalam tradisi agama Kristen ada tradisi perjamuan kudus. Jadi tak mungkin Bapak, Ibu orang pulang dari perjamuan kudus itu orang bikin kekacauan, pelanggaran lalu lintas dan seterusnya, " ujarnya.
Pemilik usaha pembuatan sopi Salomon berpose di Desa Nuruwe, Seram Bagian Barat, Maluku. Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Untuk itu, PGI mengusulkan agar Baleg DPR mempertimbangkan diksi pengendalian, pengaturan, pengawasan atau pembinaan dalam RUU Minol. bukan larangan.
ADVERTISEMENT
"Yang dibutuhkan adalah pembinaan warga oleh semua komponen bangsa untuk makin dewasa dan bertanggung jawab. Karena itu pengendalian, pengaturan, dan pengawasan yang ketat dan juga konsistensi aparat dalam penegakan hukum diperlukan, bukan larangan," jelasnya.
"Tidak semua hal harus diatur dan dilarang dengan UU mengingat beragamnya tradisi nusantara terkait minol," pungkasnya.